Imbas Kenaikan Cukai Rokok Ancam Petani Tembakau

Rencana menaikkan cukai rokok sebesar 23% akan berdampak pada petani tembakau di daerah.
Ilustrasi. (Foto: Pixabay/Gerd Altmann)

Jakarta - Pengamat ekonomi Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad mengatakan imbas kebijakan kenaikan cukai rokok yang hendak digulirkan pemerintah akan berimbas langsung pada pendapatan petani tembakau yang berada di daerah.

"Justru yang terdampak dari kenaikan cukai rokok itu petani tembakau di daerah, karena produsen-produsen rokok akan menurunkan jumlah produksi rokok. Pembelian tembakau dari petani akan menurun karena cukai," kata Tauhid kepada Tagar pada Selasa, 17 September 2019.

Dia menjelaskan kenaikan cukai rokok sebesar 23 persen tidak akan berdampak besar pada perekonomian nasional, terutama pada tahun 2020 mendatang.

Dampak lain dari kenaikan cukai rokok itu adalah meningkatkan angka inflasi.

"Cukai rokok itu tidak akan berdampak signifikan pada ekonomi nasional karena trennya sejak 2015 sampai 2018 konsumsi rokok sudah menurun," ujarnya.

Tauhid mengatakan dampak lain dari kenaikan cukai rokok itu adalah meningkatkan angka inflasi. 

Namun, dia mengaku pihaknya belum mengukur secara pasti berapa besaran inflasi yang terjadi dari dampak kebijakan tersebut. 

"Imbas lain dari cukai ini akan mempengaruhi peta garis kemiskinan. Karena rokok itu menyumbang 11-12% dari kalangan masyarakat kelas bawah," tutur Tauhid.

Dia menuturkan upaya pemerintah untuk mengalihkan penerimaan negara dari cukai rokok tidak akan berdampak langsung untuk menutup defisit yang dialami Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Bahkan, upaya menambal defisit dari BPJS dari sumbangan cukai rokok juga akan berdampak besar, karena skema Dana Bagi Hasil (DBH) dari daerah penghasil tembakau.

"Sebenarnya, penerimaan dari cukai bagi BPJS itu hanya berlaku bagi daerah penghasil tembakau melalui DBH, misalnya Malang sebagai kabupaten penghasil tembakau. Itu pun besaran DBHnya berbeda-beda, meski biasanya 50% dari DBH itu dialokasikan ke JKN, tapi secara nasional itu tidak terlalu berdampak," kata Tauhid.

Ia menambahkan pemerintah seharusnya mempertimbangkan skema yang lebih konkret untuk menambal defisit BPJS, yakni menaikkan pajak rokok. 

Namun, mekanisme penerimaan negara dari pajak tidak langsung dapat dialokasikan untuk menambal defisit BPJS, karena penerimaan pajak harus melalui APBN terlebih dahulu.

Tidak Menurunkan Jumlah Perokok Secara Signifikan

Menurut Tauhid, pasar konsumen rokok di Indonesia adalah kelompok yang loyal dan memiliki preferensi rokok sendiri. Sehingga, kenaikan harga kelak hanya akan menurunkan jumlah konsumsi rokok.

"Di Indonesia, penikmat rokok itu agak loyal. Kenaikan harga rokok hanya mempengaruhi jumlah konsumsi, dari 3 jadi 2. Penikmat rokok di Indonesia juga terbagi 3, ada SPM (Sigaret Putih Mesin), SKM (Sigaret Kretek Mesin), dan SKT (Sigaret Kretek Tangan), agak sulit beralih," tutur Tauhid.

Senada dengan Tauhid, Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Dita Indah Sari mengatakan kebijakan menaikkan cukai rokok hingga 23% akan berdampak pada petani tembakau di daerah.

"Kenaikan cukai dan HJE (Harga Jual Eceran) sebesar itu akan membuat volume permintaan turun drastis. Akibatnya pembelian tembakau petani oleh pabrik rokok akan menurun, ya jumlah ya harganya. Lalu industri ini mati pelan-pelan dan orang kehilangan pekerjaan," kata Dita Indah Sari kepada Tagar pada Selasa, 17 September 2019.

Terkait kenaikan cukai rokok ini, dia berharap pemerintah mempertimbangkan kebijakannya itu. 

"Ibu Sri, coba dipertimbangkan lagi. Ada 150 ribu buruh pabrik rokok, 90 ribu karyawan pabrikan, 1,6 juta petani cengkeh, 2,3 juta petani tembakau. Belum pedagang ecerannya 2,9 juta orang. Itu efek dominonya. Lagipula rata-rata pekerja pabrik tembakau adalah perempuan, usia tua dan low skill," ujar Dita. 

Hal ini ditambah lagi dengan langkah pemerintah yang memutuskan untuk tidak menaikkan tarif CHT pada 2018 lalu.Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan bahwa pihaknya telah mempertimbangkan seluruh aspek sebelum akhirnya memutuskan untuk meningkatkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 23% pada 2020 mendatang.

Hal ini ditambah lagi dengan langkah pemerintah yang memutuskan untuk tidak menaikkan tarif CHT pada 2018 lalu.

Untuk diketahui, prevalensi perokok secara global meningkat dari 32,8 persen menjadi 33,8 persen. Perokok usia anak dan remaja juga mengalami peningkatan dari 7,2 persen menjadi 9,1 persen, perokok perempuan juga meningkat dari 1,3 persen menjadi 4,8 persen."Aspek yang sekarang sangat menonjol adalah peningkatan dari jumlah perokok muda, perokok perempuan, dan utamanya dari porsi konsumsi masyarakat miskin," ujar Sri Mulyani, Senin, 16 September 2019.

Untuk diketahui, prevalensi perokok secara global meningkat dari 32,8 persen menjadi 33,8 persen. Perokok usia anak dan remaja juga mengalami peningkatan dari 7,2 persen menjadi 9,1 persen, perokok perempuan juga meningkat dari 1,3 persen menjadi 4,8 persen.

Baca juga:

Berita terkait
Cukai Naik? Pengusaha Rokok Tak Panik
Pengusaha rokok golongan kecil atau golongan tiga di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, tidak begitu mengkhawatirkan dengan dampak kenaikan tarif cukai rokok.
Perokok Berisiko Terserang Kutil Kelamin
Kutil Kelamin dapat menyerang pria dan wanita. Tidak hanya berhubungan seks, kutil kelamin dapat disebabkan karena kebiasaan merokok dan alkohol.
Lima Efek Samping Rokok Elektrik
Penggunaan rokok elektrik ini masih diperdebatkan mengenai efek sampingnya.