Getir Nelayan Aceh, Anak Istri Hilang Disapu Tsunami

Tepat 15 tahun lalu, Provinsi Banda Aceh luluh lantak akibat gempa dan menyebabkan Tsunami. Ratusan ribu warga Aceh meninggal dunia.
Seorang warga menabur bunga di Kuburan Massal Ulee Lheu, Banda Aceh, Selasa 26 Desember 2016 lalu dalam rangka berziarah mengenang gempa bumi dan tsunami di Aceh. (Foto: Tagar/Fahzia Aldevan)

Aceh Barat Daya –  Bencana gempa dan Tsunami yang menerjang Aceh pada 26 Desember 2004 lalu menjadi kenangan pahit bagi warga. Termasuk bagi nelayan Susoh, Kabupaten Aceh Barat Daya, Khairuddin.

Umurnya yang sudah paruh baya belum juga membuat Khairuddin, warga Desa Lam Jamee, Kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh, lupa akan peristiwa pahit 15 tahun lalu saat bencana gempa dan Tsunami menyapu Banda Aceh. 

Istri tercinta dan tiga buah hatinya tersapu gelombang Tsunami tanpa pernah melihat jasad dan kuburannya hingga saat ini.

Saat hendak menaiki kapal di PPI Ujong Seurangga, Kecamatan Susoh, Kabupaten Aceh Barat Daya, Khairuddin dengan senang hati bercerita kepada Tagar tentang kisah sedih yang pernah dialami belasan tahun silam. Kisah itu masih tersimpan rapi diingatan tidak lekang oleh waktu.

“Istri dan tiga anak saya meninggal (disapu) Tsunami. Saat Tsunami saya di laut,” kata Khiruddin, seraya menyapu air mata yang mulai bercucuran dikelopak mata.

Khairuddin menceritakan kenangan tanggal 25 Desember 2004 lalu saat dirinya bercanda dengan dua putri dan satu putranya sesaat sebelum melaut sebagai nelayan

Saat 10 jemari lembut sang istri memasukkan ke dalam sebuah tas jinjing berbagai bahan untuk bekal Khairuddin selama satu minggu dilaut, dirinya selalu menghabiskan waktu dengan putra dan putrinya bercanda dan ketawa bersama. 

Istri dan tiga anak saya meninggal (disapu) Tsunami. Saat Tsunami saya di laut.

Sungguh sempurna hidup yang dijalani keluarga nelayan ini. Putra dan putrinya lahir dan besar dalam keluarga yang penuh cinta dan kasih sayang.

Matahari perlahan mulai tenggelam di ufuk timur. Ini pertanda Khairuddin harus bergegas menuju pelabuhan dekat Masjid Gampong Mulia, Banda Aceh tempat kapal ikan mereka parkirkan. Sejumlah rekan nelayan satu kapal ikan dengannya sudah menunggu untuk berlayar sesuai jadwal yang sudah mereka tentukan.

Sebuah cinta yang tulus ditunjukkan oleh sang istri saat tangan kasar Khairuddin menempel bibir, kening dan dua pipi sang istri kala langkah kakinya hendak keluar dari rumah. Enam tangan lembut putra dan putrinya juga ikut mencium tangan sang ayah. 

Tersirat doa agar sang ayah dimudahkan rezeki dan diberi keselamatan saat berjuang menghadapi ombak, badai dan petir di laut lepas. Lambaian tangan sang istri dan tiga putra-putrinya di pintu depan rumah mengiringi langkah kaki Khairuddin bersama sebuah tas jinjing di tangan. 

Wajah sang ayah dinanti untuk dicium, dipeluk mesra dan bercanda bersama seperti sedia kala oleh sang anak satu minggu ke depan. Dalam sujud saat salat, ke dua tangan sang istri tidak henti-hentinya mendoakan suami agar diberi kemudahan dalam mencari nafkah.

Terjangan ombak dan segala kemungkinan buruk saat menjalankan kewajiban sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab terhadap anak dan istri.

Cangkang kapal mulai ditarik ke atas, mesin kapal menyala, membuat suasana bising. Suara ombak ikut terdengar sesekali saat kapal mulai melaju ke laut lepas. 

Khairuddin saat itu hanya berharap hasil tangkapannya maksimal dan dapat membeli berbagai keperluan anak dan istrinya. Dalam doa dia juga meminta agar keluarganya dijauhkan dari segala kemuzaratan.

Ternyata itu semua adalah pertemuan dan keharmonisan terakhir dengan anak dan istri tercinta. Tepat pada hari Minggu 26 Desember 2004 atau keesokan harinya saat Khairuddin sedang menangkap ikan, gempa dengan kekuatan 9,1 Skala Richter (SR) disusul gelombang Tsunami menerjang wilayah Aceh.

Bermula dari gempa beberapa kali, ombak setinggi kurang lebih 20 meter membuat air laut muntah kedaratan, meluluh lantakan bangunan di beberapa wilayah seputaran provinsi Aceh. Kekuatan gempa yang terjadi berada di Samudra Hindia pada kedalaman sekitar 10 kilometer di dasar laut.

Gempa berlangsung selama kurang lebih 10 menit disertai gelombang tsunami telah menelan korban jiwa mencapai kurang lebih 170.000 orang termasuk rumah, istri dan tiga anak Khairuddin.

“Saat gempa saya sedang di laut. Terasa, cuma oleng-oleng saja. Tidak terfikir kami kalau didaratan gempa besar dan Tsunami,” kenang Khairuddin, kepada Tagar, Rabu 12 Desember 2019.

Itu baru sepenggal dari panjang lebar kisah nyata tentang pengalaman Khairuddin, seorang nelayan di Banda Aceh saat istri dan anaknya meninggal akibat gempa dan Tsunami melanda Aceh tahun 2004 silam.

Nelayan AcehKhairuddin saat berbincang dengan Tagar di PPI Ujong Serangga, Susoh (Foto: Tagar/Syamsurizal).

Tidak ada Firasat Gempa dan Tsunami

Dia berujar, melaut selama satu minggu merupakan aktivitasnya saat itu, tidak ada firasat apa-apa saat minggu itu dia meninggalkan keluarga kecilnya. Semua seperti sedia kala tidak ada yang berbeda. Canda tawa dan kebahagiaan selalu terpancar. Lambaian tangan dan kecupan tangan ternyata itu yang terakhir kalinya.

Empat hari setelah bencana itu menimpa sejumlah wilayah termasuk keluarganya. Khairuddin dan semua ABK kapal menuju daratan. Ikan hasil tangkapan yang dirasa cukup, membuatnya senang. Rindu terhadap canda tawa tiga bocah di rumah seakan membuatnya tidak sabar untuk cepat sampai daratan.

“Saat kami mau sampai daratan, sudah terlihat mayat mengapung. Juga berbagai benda-benda lainnya. Kami saat itu masih tidak sadar bahwa itu akibat Tsunami,” kata Khairuddin seraya mengeluarkan sebungkus rokok untuk dibakar.

Nelayan AcehKhairuddin sedang berada dalam kapal yang hendak berlayar. (Foto: Tagar/Syamsurizal)

Anak dan Istri Hilang Tersapu Tsunami

Kapal diparkir dekat Masjid Gampong Mulia Banda Aceh, dia berjalan kaki melewati reruntuhan bangunan dan mayat yang berserakan. Tidak ada hal lain yang terfikir dibenaknya selain keluarga kecil yang dirindukan.

Lelah berjalan kaki, Khairuddin sempat beristirahat di Gampong Mulia. Sejumlah pria saat itu sedang duduk bercengkrama, sebagian terlihat sedang mengurus mayat-mayat yang berserakan. Ada yang menangis tersedu-sedu di salah satu mayat.

"Saya sempat tanya, bagaimana dengan Gampong Desa Lam Jamee. Mereka bilang rata," kata dia.

Mendengar jawaban itu, Khairuddin mulai merasa sangat sedih dan terpukul. Wajah cantik istri dan anaknya terbesit dipikiran. Hati dan perasaannya luluhlanta. Dia tidak bisa berucap apa-apa saat itu. Batinnya goyang, air mata menetes tidak terbendungkan.

"Otot saya lemas. Saya tidak bisa berjalan lagi saat mendengar jawaban itu," kata Khairuddin, seraya menoleh ke kanan tidak ingin memperlihatkan wajah sedihnya.

Meski demikian, Khairuddin tetap memaksakan diri untuk melihat langsung kondisi rumah dan keluarganya. Dia berusaha terus berjalan ditengah jiwanya yang tergocang. Dia masih belum begitu yakin bahwa keluarganya telah tiada.

Mayat yang berserakan disepanjang jalan pulang belum jua membuat dia yakin bahwa keluarganya telah tiada. Si bocah masih bermain dan bercanda dengan teman-temannya. Tidak ada yang berubah, mereka mananti kepulangan ayahnya.

Namun keyakinan itu luntur. Dalam perjalanan Khairuddin berjumpa dengan seorang polisi. Informasi dari polisi itulah dia baru yakin bahwa desanya dan keluarga telah tiada.

"Mereka telah tiada, hanya doa yang selalu dipanjatkan untuk mereka. Jasadnya sampai saat ini saya tidak tahu di mana," kata Khairuddin, seraya membakar sebatang rokok.

Mencari informasi tentang kondisi di daerahnya terus dilakukan, begitu juga mencari jasad. Saat itu dia berharap semua keluarganya baik-baik saja. Tapi hasilnya nihil, keluarganya itu mungkin terkubur bersama kuburan massal dibeberapa titik wilayah desanya itu.

"Saya tidak tahu harus berbuat apa saat itu. Pikiran tidak karuan, air mata terus mengalir. Semua bersedih karena keluarga mereka hilang," ucapnya.

Gempa dan Tsunami AcehSalah satu korban selamat saat bencana gempa dan Tsunami Aceh, Alamsyah Putra. (Foto:Tagar/Syamsurizal)

Tinggalkan Banda Aceh, Pulang ke Abdya

Hari berganti, tahun pun demikian. Khairuddin masih saja menggeluti aktivitasnya sebagai nelayan. Kapal saat itu dijadikan sebagai rumah. Tidak ada tempat tinggal baginya. Semua sudah hilang diterjang bencana Tsunami yang dahsyat.

"Satu minggu kami tidak makan. Saya tinggal dalam boat (kapal) selama dua tahun lebih," ucap Khairuddin.

Dua tahun berlalu, Khairuddin memutuskan meninggalkan Banda Aceh dan pulang ke kampung halamannya yakni Aceh Barat Daya tepatnya di Kecamatan Susoh. Umurnya yang sudah paruh baya belum juga membuat dia berhenti menjadi seorang nelayan.

Profesi ini masih juga digeluti hingga saat ini. Wara-wiri di perairan laut Aceh belasan tahun sudah dia lakoni untuk menangkap ikan demi kehidupan keluarga barunya kini. Dia kembali menikah dengan warga Susoh.

“Saya asli Abdya. Dulu merantau ke Banda Aceh dan menikah di sana. Setelah Tsunami saya pulang dan menikah lagi di sini,” sebutnya seraya menaiki kapal yang sudah siap melaju.

Meninggalkan PPI Ujong Seurangga di Kecamatan Susoh, Tagar kembali menuju pusat kota Abdya yakni Blangpidie. Sebuah warung kopi bernama AW Kopi tampak ramai hari itu. Dari depan warung terlihat seorang pria berisi dan berjenggot sibuk dengan notebook 10 inci disudut bangunan.

Berpakaian warna abu-abu kotak. Pria ini tampak rapih dan bersih. Sebuah gelas berisi sanger (sebuah jenis kopi) terlihat sudah setengah, lantaran sudah dicicipi. Satu bungkus rokok dan beberapa dokumen miliknya terlihat memenuhi meja warung yang dia duduki.

Sontak saja kedatangan Tagar membuatnya terkaget. Aktivitasnya dengan layar 10 inci berhenti sejenak. Pria ramah ini lalu kemudian menawarkan duduk dan kopi.

"Duduk. Minum kopi apa," begitu awal mula sosok pria bernama Alamsyah Putra 37 tahun, saat dijumpai.

Beralamat di Desa Pasar Blangpidie, dia memiliki satu anak laki-laki dan saat ini berstatus duda. Pria ini pecinta otomotif. Gunung terjal dengan jalan yang berbatu biasa dia lalui saat hobinya disalurkan.

Namun di balik ketegarannya, ternyata tersimpan sebuah kisah yang telah menyadarkanya untuk tidak bersikap sombong dimuka bumi ini. Bahwa apa yang dimiki manusia hanyalah titipan semata.

Peristiwa besar Tsunami yang meluluh lantakan Serambi Mekkah 2004 silam telah membuatnya memetik sebuah pelajaran yang begitu berharga tetang hidup. Peristiwa ini masih tersimpan dipikirannya sampai saat ini.

"Saya salah satu yang selamat dalam peristiwa itu," kata Alamsyah memulai obrolan sore itu.

Saat peristiwa Tsunami, Alamsyah tinggal di Desa Lam Pulo Banda Aceh. Dia tinggal disebuah rumah kontrakan bersama lima kerabat lainnya. Saat itu Alamsyah merupakan mahasiswa Universitas Syah Kuala. Pagi 26 Desember masih kental diingatannya, saat gempa mengguncang permukaan bumi hingga rumah yang dia huni seakan runtuh.

Tidak lama kemudian, air dari laut begitu cepat menganggkut kapal-kapal nelayan yang terparkir di PPI Lam Pulo beserta berbagai barang-barang lainnya. Bergerak begitu cepat, menghantam bangunan rumah-rumah warga hingga runtuh. Teriakan minta tolong terus bergema ditelinganya saat gelombang hitam itu mulai menerjang pemukiman warga.

"Abang keluar rumah. Saya mengarahkan orang lain untuk lari cepat menghindar ke tempat-tempat lebih aman dan tinggi," ujar Alamsyah, seraya meneguk Sanger miliknya.

Dalam kerumunan orang yang sedang panik, pria ini meninggalkan Lam Pulo dan menuju simpang Darma dan selamat setelah menaiki gedung serbaguna Damri di daerah itu. Tidak sendiri, ada puluhan orang lain saat itu.

Rasa takjub bercampur sedih menyelimutinya saat itu. Air bergerak begitu cepat, mayat terlihat mengapung bagai busa-busa kecil dalam air. Teriakan itu terus terdengar dari berbagai arah air.

"Tolong-tolong, suara itu terus bergema. Kami saat itu terus berusaha untuk menolong. Beberapa orang berhasil kami selamatkan saat itu," sebutnya seraya

Alamsyah berujar, saat berada di atas salah satu kapal dia melihat langsung sebuah kejadian aneh. Seorang pria tua berhasil selamat di dalam plafon salah satu rumah warga daerah itu. Tubuhnya tidak sedikitpun basah. Pria tua ini tidak mengenakan baju, hanya mengenakan celana saja.

Kemudian dia mengevakuasi ke atas kapal. Disini dia berjumpa dengan istri dan anaknya. Dia diberikan air, kemudian roti lalu diberikan lagi air. Kemudian lantaran tubuhnya yang sudah sangat lemas anak dan istri membacakan surat yasin.

"Dipangkuan istri, dia meninggal," ujar Alamsyah berkisah.

Menolong orang yang meminta tolong menjadi hal yang dilakukannya saat berada di atas bangunan dengan ketingian 10 meter itu. Bangunan hanya tersisa empat meter saja, sebab air berketinggian enam meter.

"Jam 11 air sudah surut. Saat itu yang terfikir menyelamatkan orang yang selamat dengan mengumpulkan logistik yang bertaburan di jalan dan membagikannya," ujarnya berwajah serius.

Lebih lanjut dia menutur, komunikasi saat itu hanya sepenggal kalimat dengan bunyi, sampaikan pada teman lain bahwa saya selamat, begitu juga sebaliknya. Sampaikan bahwa teman saya selamat.

"Itu komunikasi kami saat itu," sebut dia.

Sebuah hikmah dipetiknya saat itu. Dia berkata, saat menyelamatkan diri dia melihat berbagai karakter orang. Di situ ada orang yang sayang harta, dia hanya menyelamatkan hartanya saja tanpa mempedulikan orang lain.

Ada yang yang sayang keluarga menyelamatkan keluarga, ada yang sayang diri sendiri, hanya menyelamatkan diri sendiri. Ada yang sayang terhadap sesama, dia akan peduli terhadap orang lain. Karakter ini sebisa mungkin berusaha menolong orang lain.

"Hikmah yang saya ambil dari musibah ini adalah, ketika musibah besar datang, di situ kita bisa melihat karakter asli manusia. Dari sini saya belajar bahwa apa yang kita miliki ini adalah sementara, beryukur itu lebih baik dari pada menyesali," tutup Alamsyah. []

Berita terkait
Tisu Eceng Gondok Pelajar Makassar Terbang ke Korea
Tiga pelajar Makassar membuat inovasi tisu berbahan eceng gondok. Inovasinya ini akan dilombakan bertaraf internasional di Korea.
Makna Kehilangan dalam Lukisan Arya di Bali
Setiap kita memiliki pengalaman berbeda dalam menghadapi persoalan yang datang. Demikian pula dengan Arya yang terpantul dalam lukisannya di Bali.
Kisah Berdarah Kuburan Belanda di Bantaeng
Kisah berdarah kuburan Balandayya di Bantaeng ini sering diceritakan mereka yang kesurupan dirasuki arwah tentara Belanda yang bunuh diri.
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.