Kisah Berdarah Kuburan Belanda di Bantaeng

Kisah berdarah kuburan Balandayya di Bantaeng ini sering diceritakan mereka yang kesurupan dirasuki arwah tentara Belanda yang bunuh diri.
Pohon-pohon rindang di pemakaman Balandayya atau kuburan orang-orang Belanda di Jalan Pemuda, Bantaeng, Sulawesi Selatan, Jumat, 29 November 2019. (Foto: Tagar/Fitriani Aulia Rizka)

Bantaeng - Lelaki renta dengan wajah keriput dan berambut putih itu berjalan di antara nisan yang telah kusam di kuburan Balandayya di Bantaeng, Sulawesi Selatan, Jumat sore di penghujung November 2019. Langit murung menggantung di atasnya, menjadi saksi bisu hari-hari yang dingin yang dilewatinya, menyaksikan kematian demi kematian.

Namanya Ribi BP, sehari-hari disapa Daeng Ribi. BP sendiri adalah singkatan dari Baco Pala yang diambil dari nama bapaknya yang bernama Baco dan kakeknya yang bernama Pala. Ia lahir sebelum Indonesia merdeka. Dirinyalah yang hingga kini mengemban amanah sebagai penjaga makam orang-orang Belanda. Bapak enam anak ini walau sudah berusia 77 tahun, ingatannya masih tajam.

Ia mengingat banyak hal, termasuk kisah berdarah yang mencekam.

Sore itu Daeng Ribi mengiringi Tagar, menceritakan satu demi satu yang tersembunyi di balik gundukan tanah.

"Sudah banyak yang rusak kuburannya. Sejak banjir besar tahun 1973, banyak nisan yang roboh. Dulu di sini ada ratusan makam orang Belanda," ujarnya dengan mata melayang ke masa silam.

Di sekelilingnya, beberapa nisan berbentuk tugu dalam keadaan tumbang, ada yang jatuh memeluk tanah. Masih di kawasan sama terdapat area berpagar kayu beratapkan seng, membentuk rumah kecil. Itu adalah pekuburan China.

Banyak tulisan pada nisan cukup sulit dibaca karena buram dimakan zaman. Beberapa yang lain masih terlihat jelas. Di antaranya tertulis A. Goudswaard Zendeling dan P. Goudswaard Z.N berada di satu tugu. Nama Sagongok dan Arthur Gramed, tertulis di nisan dua makam yang membujur berdampingan.

Ia ditemukan bunuh diri. Istrinya bilang sebelum bunuh diri ia mengeluh kepanasan leher dan kepalanya panas sampai ia tidak tahan.

Kuburan BalandayyaNisan yang telah kusam dimakan waktu di kuburan Belanda, Bantaeng. (Foto: Tagar/Fitriani Aulia Rizka)

Sebuah kuburan dengan pondasi sekira 30 sentimeter pada nisannya tertulis Bahasa Belanda Hier Rust yang berarti istirahatlah di sini, dan nama W.F. Van Pamelen yang meninggal pada 21 Juni 1908. Sorongan Simon lahir pada 1894, meninggal pada 1948. Dan yang mencolok dengan tegel berwarna hitam dengan pondasi setinggi kurang lebih 50 sentimeter, di nisannya tertulis G.T.C Bosch lahir 27 Oktober 1880, wafat tahun 1960.

"Ini makam Tuan Bos atau Pak Bos, orangnya baik, kulitnya putih, badannya tambun, pendek-pendek gemuk, baik sekali orangnya," kata Daeng Ribi. Ia menyebut nama Bosch dengan Bos.

Daeng Ribi menceritakan masa kecilnya saat masih hidup berdampingan dengan bangsa Belanda.

"Tuan Bos juga menikahi orang sini," katanya. Seingatnya beberapa orang Belanda beristrikan orang Indonesia dan setelah wafat, mereka dimakamkan di sini. Seperti Sagongok dan Arthur Gramed, ternyata adalah suami istri.

Di depan makam tuan Bosch, terdapat makam Sorongan Simon yang meninggal pada 1948. Menurut Daeng Ribi, pria yang berprofesi sebagai salah satu prajurit atau tentara Belanda di zamannya itu meninggal dalam keadaan tragis. Ia ditemukan di rumahnya dengan kondisi mengenaskan, darah segar mengalir dari kepala dan tertumpah di mulutnya. Kabarnya ia bunuh diri dengan menembak kepala dari lubang mulutnya.

"Tentara ini di sana rumahnya (menunjuk ke arah selatan). Ia ditemukan bunuh diri. Istrinya bilang sebelum bunuh diri ia mengeluh kepanasan leher dan kepalanya panas sampai ia tidak tahan," ujar Daeng Ribi.

Kuburan BalandayyaDaeng Ribi, penjaga kuburan Belanda di Bantaeng. (Foto: Tagar/Fitriani Aulia Rizka)

Kisah berdarah ini ternyata kerap diceritakan mereka yang kesurupan. Konon, arwah tentara yang bunuh diri tersebut suka merasuki orang-orang yang diinginkannya dan bercerita tentang kejadian yang ia alami dulu.

"Kadang kalau ada yang kerasukan itu duduk di sini, minta rokok kemudian berbicara dengan Bahasa Belanda. Tidak ada orang yang paham karena sekarang di sini tidak ada lagi yang tahu Bahasa Belanda," tuturnya.

Sebuah Kepercayaan

Cerita-cerita aneh dan menyeramkan tidak mengganggu Daeng Ribi. Ia dengan ketenangannya yang alamiah, menjalani tradisi sebagai penjaga makam. Kepercayaan yang ia terima dijalaninya dengan penuh tanggung jawab. Bagi dia, di pundaknya ia memikul amanah, tak sekadar untuk menjaga kelestarian makam kuno dari gangguan ilalang semata, tapi juga kenangan dan cerita-cerita yang terbenam di dalamnya.

Sebelum menjaga kuburan Belanda, Daeng Ribi dipercayakan untuk menjaga gereja Protestan. Letaknya berada di Jalan Kartini, Kelurahan Pallantikang, tak jauh dari perempatan lampu merah kedua kota Kecamatan Bantaeng. Dengan upah Rp 50 ribu per bulan sekitar tahun 2008. Namun tak berlangsung lama, tak lebih dari dua tahun ia beroperasi di sana.

Oleh pemerintah pada waktu itu, ia kemudian ditunjuk sebagai penjaga makam Belanda. Masyarakat setempat menyebutnya kuburan Balandayya. Daeng Ribi dipilih melanjutkan tanggung jawab yang telah lebih dulu diemban kakeknya.

"Pertama yang jaga kakekku namanya Daeng Pala, lalu bapakku Daeng Baco, kemudian Daeng Rabai kakakku, mereka semua sudah meninggal, sampai sekarang masih saya yang jaga kuburan," tutur Daeng Ribi di waktu yang semakin menggelinding menuju senja.

Kata dia, di antara semua, bapaknyalah yang sempat menjaga dalam kurun waktu terlama. Seingatnya ayahnya memang menutup usia pada umur sekitar 130 tahun. Daeng Ribi menceritakan sedikit tentang Daeng Baco yang berperawakan mirip orang Belanda.

Kuburan BalandayyaMakam Tuan Bosch, dengan batu nisan berwarna hitam, salah satu orang Belanda yang menetap di Indonesia hingga akhir hayat. (Foto: Tagar/Fitriani Aulia Rizka)

"Bapakku bergaul sama orang Belanda, ikut berlayar di kapalnya orang Belanda, di bawa ke mana-mana sampai dia juga fasih pakai bahasa Belanda," katanya menggali ingatan

Sang Penjaga Makam

Selama bertugas, Daeng Ribi tak pernah mengeluh sedikitpun. Sepanjang hari ia habiskan di sana. Membersihkan rumput-rumput liar, menata beberapa tanaman agar elok dipandang serta menyambut para peziarah yang kadang datang dari negeri kincir angin atau Belanda.

Setiap bulan ia menerima upah sebanyak Rp 850.000. Nominal tersebut tentu tidak sebesar itu pada awalnya. Kata Daeng Ribi, kenaikan gaji ia terima secara bertahap. Mulai dari Rp 200.000, lalu bertambah jadi Rp 350.000, kemudian Rp 450.000 hingga saat ini senilai Rp 850.000.

Menjadi seorang penjaga makam adalah hal turun-temurun di keluarganya. Daeng Ribi dalah turunan terakhir. Hingga lebih dari 10 tahun ia mengemban tugas, tak ada putra atau putrinya yang ditunjuk sebagai penerus penjaga makam. Keenam anaknya memiliki kehidupan masing-masing dengan pekerjaan yang berbeda dari dirinya.

"Sampai sekarang saya yang terakhir, selanjutnya untuk pengelolaan mungkin diambil alih oleh pemerintah daerah karena saya dengar ini akan dijadikan taman purbakala 2," kata Daeng Ribi.

Tak lama kemudian terdengar sayup-sayup azan Magrib berkumandang, Daeng Ribi menyalakan lampu temaram. Embusan angin malam mengubah aura menjadi tidak biasa-biasa saja. []  

Baca cerita lain:

Berita terkait
Berkenalan dengan Penunggu Sumur di Kos Tua Makassar
Kisah nyata bertemu dengan hantu dialami reporter Tagar saat tinggal di rumah kos di Makassar empat tahun lalu.
Misteri Kematian Gadis di Sungai Batu Doli Bantaeng
Kematian dua gadis di aliran Sungai Batu Doli, Kabupaten Bantaeng, Sul-Sel menjadi misteri warga sekitar.
Kenikmatan Kopi Turaya Bantaeng Diakui Jokowi
Brand Turaya Coffe mulai dikenal di Kabupaten Bantaeng setelah Presiden Jokowi mencicipi Kopi Turaya saat APKASI Otonomi Expo 2018.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.