Dinasti Politik Membunuh Demokrasi

Dinasti politik pembunuh demokrasi. 'Sudah pasti merusak demokrasi, merusak aparatur. Semuanya dirusak.'
Jamaah An Nadzir menggunakan hak pilih di salah satu Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Kecamatan Bonto Marannu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Rabu (27/6/2018). Pilkada Serentak 2018 di Sulsel diselenggarakan di 12 Kabupaten dan Kota termasuk Pemilihan Gubernur Sulsel. (Foto: Ant/Abriawan Abhe)

Jakarta, (Tagar 21/7/2018) - Politik dinasti dipastikan bertentangan dengan budaya demokrasi. Pasalnya, politik dinasti mengebiri demokrasi. Gejalanya, politik dinasti mengabaikan kompetensi. Bahkan, mengebiri peran masyarakat dalam menentukan pemimpin.

Pengamat politik dari Universitas Padjajaran (Unpad) Firman Manan meminta masyarakat untuk kritis terhadap dinasti politik. Menurutnya, selain praktik korupsi, politik dinasti yang menutup kesempatan bagi calon kepala daerah yang lain menciptakan ketidaksetaraan berpolitik.

Selama dinasti politik berkuasa di suatu daerah, kesempatan mengalokasikan kekuasaan politik menjadi hilang, bahkan tidak akan pernah terjadi. "Proses rekrutmen tertutup lantaran tidak ada kesetaraan. Kesempatan bagi calon lain menjadi sirna, pendidikan politik juga nggak jalan karena adanya dominasi keluarga dalam politik," jelas Firman.

Baca Juga: Dinasti Politik

Firman mengungkapkan, dulu sebenarnya sudah ada aturan UU Pilkada tentang larangan dinasti politik. Namun peraturan itu gugur melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). Akibatnya praktik politik dinasti yang turun-temurun kembali marak.

Dia menegaskan, aturan membatasi praktik dinasti politik sangat diperlukan. "Problemnya sekarang kita belum punya sistem untuk mengantisipasinya," terang Firman.

Firman menyebutkan, aturan itu bisa saja melalui tenggang waktu atau periode kekuasaan, misalkan satu periode. Setelah satu periode kekuasaan, boleh saja keturunannya, atau istrinya, pamannya, atau anggota keluarga lainnya kembali berkuasa.

"Jadi ada satu periode jeda kekuasaan dipegang bukan oleh keluarga atau dinasti petahana. Setelah itu, baru bisa pegang lagi, tapi melalui mekanisme pemilihan yang fair, ada kesetaraan berpolitik," harapnya.

Sekalipun dinasti politik terjadi dan selalu dikritisi sejak lama, namun fenomena ini terus saja berlangsung seperti yang terjadi dalam Pilkada Serentak 2018. Data dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menyebutkan, pelaksanaan Pilkada 2018 masih diwarnai munculnya para calon dari keluarga-keluarga yang memiliki jejak kekuasaan pada masa lalu.

Fitra melaporkan, calon dari dinasti politik muncul dalam pemilihan gubernur (Pilgub) Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Kalimantan Barat.

Pada tingkat kabupaten/kota berlangsung di Kota Serang, Kabupaten Bojonegoro, dan Kabupaten Purwakarta.

"Kecenderungan politik dinasti yang patut diwaspadai terlihat di beberapa daerah di Indonesia," ujar Sekretaris Jenderal (Sekjen) Fitra, Yenny Sucipto, di Jakarta, Rabu (7/3/2018).

Yenny mengungkapkan, sebelumnya banyak kepala daerah dalam Pilkada 2015 dan 2017 terpilih dari keluarga politisi lokal. Fenomena ini dalam jangka panjang bisa menurunkan kualitas demokrasi di Indonesia.

Menurut Yenny, praktik dinasti politik di daerah cenderung mengabaikan sistem merit. Sistem ini lebih mengutamakan aspek kekerabatan, membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. "Di era modern ini, politik patrimonial masuk melalui jalur legal di mana anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan seperti partai politik atau lembaga publik lainnya," ungkapnya.

Bahkan Yenny menyebutkan, setelah tidak berkuasa pun sistem ini masih bisa menyetir pemerintahan baru, sebab pemerintahan masih diisi kelompok yang sama.

Bacaleg DPR Versi Silon

Selain melalui Pilkada, dinasti politik juga berupaya mengambil ceruk kekuasaan melalui pemilihan calon legislatif (caleg). Usai Pilkada Serentak 2018, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengumumkan jumlah bakal calon anggota legislatif (bacaleg) DPR RI untuk Pemilu Legislatif 2019 berdasarkan data yang masuk sistem informasi pencalonan (Silon).

Bacaleg 2019Bacaleg dari 16 partai politik yang ikut Pemilu 2019 mendatang. Urutan berdasarkan nomor urut peserta pemilu nasional. (Infografis: Rully)

Ketua KPU RI Arief Budiman mengatakan, pihaknya untuk sementara hanya dapat mengumumkan jumlah bacaleg tingkat DPR RI. Jumlah tersebut berdasarkan data yang masuk hingga Rabu (18/7/2018) pukul 14.30 Wib.

Terkait calon legislatif tersebut, juga melibatkan dinasti politik untuk ikut Pileg 2019. Contohnya beberapa dinasti politik berikut ini.

Sulawesi Selatan

Dinasti politik Yasin Limpo di Sulawesi Selatan (Sulsel) juga mewarnai dunia politik, baik tingkat Sulsel maupun nasional. Dinasti kekuasaan ini ikut meramaikan bursa Pileg 2019. Berikut trah Yasin Limpo.

Dinasti Politik Sulawesi SelatanDinasti politik Yasin Limpo di Sulawesi Selatan (Sulsel) juga mewarnai dunia politik, baik tingkat Sulsel maupun nasional. (Infografis: Rully)

Ayah: Kolonel H M Yasin Limpo alias Yasin Daeng Limpo, meninggal pada 4 Agustus 2009. Yasin merupakan orang kuat di Sulsel, penjabat sementara gubernur. Sebelumnya, ia menjabat bupati di tiga kabupaten di Sulsel.

Ibu: Nurhayati, yang berkali-kali menjadi anggota Dewan dari Fraksi Golkar.

Anak:

1. Tanri Olle Yasin Limpo, Ketua DPRD Sulsel. Dia dikabarkan maju sebagai caleg DPR RI dari Partai Nasdem, akan bertarung dengan anggota keluarga sendiri, yaitu keponakannya, Thita.

2. Syahrul Yasin Limpo, Wakil Gubernur Sulsel 2003-2008, Gubernur Sulsel 2008-2018, yang juga siap-siap nyaleg untuk DPR RI.

3. Tenri Angka Yasin Limpo, Anggota DPRD Makassar.

4. Dewie Yasin Limpo, sedang menghuni penjara untuk waktu 8 tahun karena menerima suap saat menjadi anggota DPR. Dia terbukti menerima suap SGD 177 ribu. Dewi merupakan saudara kandung Syahrul Yasin Limpo.

5. Ichsan Yasin Limpo Bupati Gowa.

6. Haris Yasin Limpo Direktur Utama PDAM Kota Makassar.

7. Irman Yasin Limpo, yang pernah jadi Plt Bupatu Luwu Timur. Kini dia duduk sebagai Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulsel.

Cucu:

1. Indira Chunda Thita Syahrul Putri (anak Syahrul). Indira, yang biasa disebut Thita, adalah anak perempuan Syahrul Yasin Limpo. Saat ini dia menjabat anggota DPR RI dari Partai Amanat Nasional (PAN). Namun, pada pendaftaran bacaleg kali ini, Thita memilih 'hengkang' dari PAN dan bergabung dengan Nasdem mengikuti jejak ayahnya.

2. Adnan Purichta (anak Ichsan).

3. Akbar Danu Indarta Marwan, Anggota DPRD Gowa.

Menantu:

1. Habsa Yanti Ponulele (istri Irman).

2. Riska Mulfiati Redindo. Riska adalah menantu Syahrul Yasin Limpo dan anak perempuan Luthfi Halide. Riksa disebut maju sebagai caleg DPRD Sulsel untuk daerah pemilihan Makassar.

Besan: Luthfi Halide, besan Syahrul Yasin Limpo, yang disebut-sebut maju di dapil yang sama dengan mantan Gubernur Sulsel.

Dinasti Politik Banten

Dinasti Ratu Atut di Banten termasuk sebuah inspirasi yang segar dan akurat. Terlihat adik, anak, dan menantu Ratu Atut ramai-ramai melakukan aksi nyaleg. Pada Pileg 2019 di Banten, keluarga Ratu Atut mengirimkan komposisi pemain yang nampaknya andal.

Tengok saja, sang menantu, Ade Rossi Chaerunnisa, istri Wakil Gubernur Banten Andika Hazrumy, dan putri kandung Ratu Atut, Andiara Aptilia akan berlaga di Dapil 1 Pendeglang dan Lebak.

Sebelumnya, pertempuran caleg di Pileg 2019 yang melibatkan dinasti politik juga terlihat pada Pileg 2014. Bahkan, perilaku dinasti politik dilakukan partai oposisi. Kerabat petinggi parpol diletakkan pada nomor urut tertinggi dalam pencalonan, seperti peserta pemilu berikut ini.

Mereka yang berkompetisi pada Pileg 2014 memiliki hubungan kekerabatan.

Partai Demokrat:

1. Edhie Baskoro Yudhoyono (putra bungsu Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, Daerah Pemilihan [Dapil] Jawa Timur VII, nomor urut 1).

2. Hartanto Edhie Prabowo (adik ipar SBY, Dapil Banten III, nomor urut 1).

3. Agus Hermanto (adik ipar SBY, Dapil Jawa Tengah I, nomor urut 1).

4. Syariefuddin Hasan (Ketua Harian Partai Demokrat Dapil Jawa Barat III, nomor urut 1).

5. Inggrid Maria Palupi Kansil (istri Syariefuddin Hasan, Dapil Jawa Barat IV, nomor urut 1).

6. Amir Syamsuddin (Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat, Dapil Sulawesi Tenggara, nomor urut 1).

7. Didi Irawadi Syamsuddin (anak Amir Syamsuddin, Dapil Jawa Barat X, nomor urut 1).

Partai Amanat Nasional (PAN):

1. Hanna Gayatri (kakak Ketua Umum PAN Hatta Rajasa, Dapil Sumatera Selatan II, nomor urut 1).

2. Ahmad Hafidz Tohir (adik Hatta, Dapil Sumatera Selatan I, nomor urut 1).

3. Ahmad Hanafi Rais (putra Amien Rais/Ketua Majelis Pertimbangan Partai, Dapil DI Yogyakarta, nomor urut 1).

Partai Golkar:

1. Taufan Eko Nugroho Tororasiko (menantu Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, Dapil Jawa Tengah VIII, nomor urut 2) .

2. Dave Akbarshah Fikarno Laksono (anak Wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono, Dapil Jawa Barat VIII, nomor urut 1).

3. Andika Harzumy (anak Ketua DPP Golkar Atut Chosiyah, Dapil Banten I, nomor urut 1).

PDI Perjuangan:

1. Puan Maharani (anak Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Dapil Jawa Tengah V, nomor urut 1).

2. Guruh Soekarno Putra (adik Megawati, Dapil Jawa Timur I, nomor urut 1).

3. Nazaruddin Kiemas (adik ipar Megawati, Dapil Sumatera Selatan I, nomor urut 1).

4. Puti Guntur Soekarno (kemenakan Megawati, Dapil Jawa Barat X, nomor urut 2).

Partai Bulan Bintang (PBB):

1. Yustiman Ihza (adik Ketua Majelis Syura PBB Yusril Ihza Mahendra, Dapil Jawa Barat VIII, nomor urut 1).

2. Tri Natalie Read (menantu Yusril, Dapil DKI Jakarta II, nomor urut 2).
Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

1. Wardatul Asriah (istri Ketua Umum PPP Suryadharma Ali, Dapil Jawa Barat VII, nomor urut 1).

2. Kartika Yudhisti (anak Suryadharma, Dapil Banten II, nomor urut 1).

Politik dinasti selain terjadi di level provinsi, juga berlangsung di tingkat kabupaten/kota. Setidaknya 13 persen dari total anggota DPR yang terpilih memiliki tali kekeluargaan dengan elite-elite partai atau keluarga dari kepala daerah yang diusung partai tertentu.

"Fenomena yang terjadi adalah adanya migrasi elite lokal yang sampai 13 persen. Ini yang harus dikritisi apakah mereka masuk untuk mengamankan keluarganya atau tidak," ujar pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Panji Anugrah di Kompleks Parlemen, Jumat (29/8/2014).

Panji menuturkan, para caleg terpilih yang memiliki hubungan keluarga dengan elite lokal adalah bentuk gagalnya rekrutmen dan kaderisasi partai politik.

"Terjadinya kondisi itu menunjukkan gambaran bahwa  pelaksanaan pemilihan legislatif lalu bukan saja stagnan, tapi buruk," ujar Panji.

Hal senada disampaikan pengamat parlemen, Harun Husein. Menurutnya, anggota DPR yang terpilih untuk periode 2014-2019 adalah mereka yang memiliki relasi dengan gubernur dan bupati di tingkat daerah. Mereka masuk menggusur kader-kader berkualitas yang berkantong tipis.

"Sehingga, ruang untuk politisi serius semakin sempit karena kompetisi antara mereka sendiri sudah dikalahkan oleh rekrutmen dari luar," ucap Harun.

Dia menilai, dengan rekrutmen yang belum memuaskan itu jelas berpengaruh pada kinerja DPR.

Berikut nama-nama caleg terpilih 2014-2019 yang sarat politik dinasti.

1. Aliyah Mustika Ilham, istri dari Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin. Aliyah tercatat sebagai caleg nomor urut 3 Partai Demokrat dari Dapil Sulsel I.

2. Fatmawati Russi, istri Bupati Sidrap, Rusdi Masse. Fatmawati merupakan caleg Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dari Dapil Sulsel III.

3. Andi Fauziah Pujiwatie Hatta merupakan putri Bupati Luwu Timur, Hatta Marakarma. Andi Fauziah maju sebagai caleg dari Partai Golkar untuk Dapil Sulsel III.

4. Indira Chunda Thita merupakan putri dari Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo. Berbeda dengan ayahnya yang berasal dari Partai Golkar, Indira maju sebagai caleg nomor urut 1 dari PAN.

5. Andhika Hazrumy, putra kandung Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Andhika maju sebagai caleg Golkar nomor urut 1.

6. Mochamad Hasbi Asyidik, adik kandung Bupati Lebak Iti Oktavia Jayabaya. Berbeda dengan Iti yang berasal dari Partai Demokrat, Hasbi maju dari PDI-P.

Pilkada 2017

Berikutnya, saat Pilkada Serentak 2017, juga ditemukan setidaknya 12 calon kepala daerah di 11 daerah berasal dari dinasti politik.

"Fenomena politik dinasti terjadi dalam pilkada serentak pada 15 Februari 2017. Sebanyak 12 calon kepala daerah di 11 daerah diketahui berasal dari dinasti politik yang telah terbangun di daerahnya masing-masing," kata Almas Sjafrina dalam pernyataan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (14/1/2017).

Seperti disebutkan Antara, kedua belas calon pemimpin daerah itu adalah Andika Hazrumy (calon Wakil Gubernur Banten), Hana Hasanah Fadel (Calon Gubernur Gorontalo), Dodi Reza Alex Noerdin (Calon Bupati Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatra Selatan), Adam Ishak (Calon Wakil Bupati Mesuji, Lampung), Parosil Mabsus (Calon Bupati Lampung Barat).

Dinasti Politik di KendariDinasti politik di Kendari, Sulawesi Tenggara. (Infografis: Rully)

Berikutnya Atty Suharti (Calon Wali Kota Cimahi, Jawa Barat), Siti Rahma (Calon Bupati Pringsewu, Lampung), Dewanti Rumpoko (Calon Wali Kota Batu, Jawa Timur), Karolin Margret Natasa (Calon Bupati Landak, Kalimantan Barat), Noormiliyani AS (Calon Bupati Barito Kuala, Kalimantan Selantan).

Kemudian Rahmadian Noor (Calon Wakil Bupati Barito Kuala) dan Tuasikal Abua (Calon Bupati Maluku Tengah).

"Andika Hazrumy bahkan memiliki hubungan kekerabatan dengan terpidana kasus korupsi yang saat ini masih menjalani masa tahanan, yaitu Atut Chosiyah," ungkap Almas.

Andika sebelumnya menjabat sebagai anggota DPR 2014-2019 dicalonkan oleh DPD Partai Golkar Banten yang diketuai oleh Tatu Chasanah, adik kandung Atut Chosiyah.

Di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, pasangan Noormiliyani dan Rahmadian Noor merupakan kerabat dari Hassanudin Murad, Bupati Barito Kuala yang sudah tidak dapat mencalonkan diri kembali karena telah menjabat dua periode jabatan.

Noormiliyani merupakan istri Hasanuddin Murad yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua DPRD Kalimantan Selatan, sedangkan Rahmadian Noor merupakan keponakan Hasanuddin Murad yang sebelumnya menjabat sebagai anggota DPRD Barito Kuala. Keduanya dicalonkan Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Selanjutnya Atty Suharti adalah petahana calon Wali Kota Cimahi yang saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas kasus penerimaan suap sebesar Rp 500 juta terkait proyek pembangunan tahap dua Pasar Atas Baru Cimahi.

Atty merupakan istri dari Wali Kota Cimahi 2002-2007 itu dicalonkan oleh Partai Nasdem, Golkar, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Pengamat Komunikasi Politik Tjipta Lesmana menegaskan, apa pun alasannya politik dinasti merusak dan mematikan demokrasi.

"Politik dinasti sudah pasti merusak demokrasi, merusak aparatur. Semuanya dirusak. Mau tidak mau, politik dinasti sudah pasti akan mengotori birokrasi dan aparatur sipil negara (ASN)," tandas Tjipta Lesmana dalam sebuah kesempatan. (yps)

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.