Cerita di Balik Video Maki-maki Petugas Medis Aceh

Rumah sakit hanya mengambil bagian mengantar jenazah dengan mobil ambulans, mengenakan APD lengkap tidak ikut banyak membantu.
Ruangan Laboratorium di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cut Nyak Dhien Meulaboh di tutup untuk sementara waktu pasca adanya seorang doter yang terkonfirmasi C-19, Jumat 21 Agustus 2020. (Foto: Tagar/Vinda Eka Saputra)

Aceh Barat – Dua hari setelah pemakaman ayahnya, rumah M. Irham Wahyudi cenderung sepi dari pelayat. Tetamu yang datang hanya sebagian kecil dari tetangga dekatnya saja.

Irham yakin hal ini berkaitan dengan kecemasan warga atas penyakit yang ayahnya derita. Cerita ini pun berkilas balik pada insiden yang terjadi beberapa hari lalu.

Sebelumnya, sebuah video menampilkan dua petugas medis yang sedang kena damprat beredar luas di media sosial. Video berdurasi 03.51 menit itu awalnya berlangsung dengan adegan pisuhan yang berasal dari beberapa orang kepada petugas medis yang saat itu sedang bergegas mengenakan Alat Pelindung Diri (APD).

Suara paling dominan berasal dari seorang lelaki yang mendesak keduanya agar bersicepat mengenakan kostum pencegah paparan virus korona itu. Lelaki yang berada di belakang kamera ini menghardik dengan kata-kata kasar dan menuding kedua petugas medis tersebut lamban.

"Udah jam berapa tadi kalian masuk ke sini, APD saja belum kalian pakai!" pekiknya. Bersamaan dengan itu, sebuah kardus beserta kursi plastik melayang rendah lantas terbanting ke lantai.

Lelaki ini semakin tidak sabaran dan terus mendesak. Beberapa saat kemudian layar berpindah menampilkan seorang remaja mengenakan baju berwarna hijau medium aquamarine yang berkata-kata sambil menunjuk-nunjuk petugas medis dari mulut pintu.

Sementara itu, seorang perempuan berteriak mengancam akan melaporkan semua orang yang ada di tempat itu. Muncul pula adegan adu mulut antara lelaki yang pertama dengan salah seorang petugas medis.

Bagian selanjutnya ketika lelaki itu tiba-tiba berlari mengikuti yang berbaju hijau aquamarine menuju ke dalam ruangan pasien. Ruangan itu tampak sepi, hanya terlihat seorang pria yang sudah berumur tergeletak di atas brankar dengan menggunakan alat bantu pernapasan.

Tiba-tiba lelaki pemegang kamera menangis histeris dan berteriak memanggil "ayah" beberapa kali. Sementara, mata pria yang terbaring terkatup rapat dan tidak berkutik sama sekali.

Saya bergerak dari rumah ke rumah sakit, dalam kondisi ayah saya sudah mengembuskan napas terakhir saat itu.

Ia pun kembali meluapkan amarahnya kepada seorang petugas medis yang baru tiba. Di saat yang sama, perempuan yang ikut marah-marah tadi telah berada di kamar pasien tersebut.

Salah satu petugas medis mencoba memeriksa kondisi pasien beberapa saat sebelum ia dan sejawatnya memutuskan mencabut infus set dari botol cairannya lalu menyorong brankar ke luar. Suara isak tangis masih terdengar hingga tayangan dalam video tersebut berakhir.

Video Viral Aceh BaratTangkapan Video yang viral saat petugas medis memakai APD di Ruang Penyakit Infeksi New Emerging dan Re-Emerging (Pinere) Rumah Sakit Umum Daerah Cut Nyak Dhien (RSUDCND) Meulaboh, Rabu, 26 Agustus 2020, malam. (Foto: Tagar/Istimewa)

Punca (Akar) Masalah

Orang yang merekam video tersebut adalah Irham sendiri. Insiden tersebut terjadi di Ruang Penyakit Infeksi New Emerging dan Re-Emerging (Pinere) Rumah Sakit Umum Daerah Cut Nyak Dhien (RSUDCND) Meulaboh, Rabu, 26 Agustus 2020, malam.

Sebelum mencak-mencak kepada dua petugas medis tersebut, Irham sedang berada di rumahnya serta melakukan panggilan video dengan keluarga yang berjaga di rumah sakit. Ibunya saat itu duduk di sisi sang ayah, Burhanuddin, yang sedang terbaring sakit di atas brankar.

Burhanuddin masuk rumah sakit pada Rabu, 26 Agustus 2020, dini hari. Pihak medis mendiagnosisnya sebagai pasien yang pantas mendapat perawatan di ruang Pinere yang selama ini merupakan ruangan khusus bagi pasien C-19.

"Di saat video call, mama saya teriak panik, kami pun di sini panik juga, maksudnya, mama teriak kenapa itu?" tutur Irham kepada Tagar, Jumat, 28 Agustus 2020, sore. Mendengar ibunya berteriak minta tolong, Irham pun segera bergegas menuju ke rumah sakit yang berjarak sekitar dua kilometer lebih dari rumahnya.

"Saya bergerak dari rumah ke rumah sakit, dalam kondisi ayah saya sudah mengembuskan napas terakhir saat itu," kata Irham.

Irham pun berang alang kepalang demi melihat dua petugas medis yang menurutnya terdiri dari satu dokter dan satu perawat masih dalam kondisi bersiap-siap mengenakan APD, sementara, ayahnya telah meninggal dunia beberapa menit yang lalu. Baginya, tidak masuk akal jika petugas medis masih dalam kondisi mengenakan APD begitu mengingat jarak antara waktu ketibaannya ke rumah sakit dengan waktu kepergian ayahnya cukup jauh.

"Di situlah saya keluarkan handphone," lanjut dia.

Irham mengaku kecewa. Mestinya sejak awal telah ada petugas medis yang bersiaga dengan APD lengkap, apalagi, menurutnya, saat itu merupakan waktu di mana petugas medis telah melakukan pergantian sif malam.

"Orang itu pergantian sif jam 20.30 WIB, itu saya tanya langsung ke dokter yang menangani ayah saya, dan, kejadian saya sampai ke rumah sakit jam 22.00 WIB. Petugas yang mau masuk ke Pinere, itu, kan, memakai baju APD lengkap, pergantian sif jam 20.30 WIB, kenapa enggak satu orang standby saja memakai baju itu ketika ada pasien sekarat seperti ayah saya," kesah Irham.

Harapan kami, atas nama pasien Bahruddin keluar dari ruangan isolasi Pinere, meninggal bukan karena dugaan C-19. Karena, rapid test belum, swab belum, rontgen paru-paru pun belum.

Vonis Tanpa Tes?

Menurut Irham, sebelum ke rumah sakit, ibunya mengalami demam setelah pulang bekerja dari ladang bersama ayahnya. Setelah ibunya sembuh, giliran ayahnya yang terserang demam.

Merasa tidak berani membawa ke klinik langganan karena suatu alasan, Irham dan keluarga memutuskan membawa Burhanuddin yang memiliki riwayat penyakit asam lambung itu ke seorang mantri. Karena kemungkinan dosis obat yang tinggi, jantung ayahnya mulai berdegup kencang tidak seperti biasa serta sesak napas beberapa saat setelah mereka membawanya ke manteri.

Keluarga akhirnya membawa Burhanuddin ke rumah sakit. Yang menjadi tanda tanya bagi Irham ketika petugas medis yang menurutnya tanpa ba-bi-bu dan hanya berdasarkan indikasi awal memutuskan untuk membawa ayahnya ke ruang isolasi atau Pinere, padahal, pasien sama sekali belum menjalani tes yang secara gamblang bisa menunjukkan hasil diagnosis.

Tarik-Ulur Mobil Ambulans

Irham bercerita sempat terjadi tarik-ulur ketika ayahnya masih berada di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) sebelum pindah ke ruang Pinere. Ketika itu, jarak antara kedua ruangan lumayan jauh, di mana seorang petugas medis meminta Irham untuk membawa sendiri ayahnya dengan mobil pribadi karena suatu alasan.

"Langsung saja, bang, naik mobil pribadi ke ruangan belakang. Terus, saya bilang, bang, itu, kan, mobil ambulans ada, saya bukan tidak mau membawa pasien dengan mobil pribadi, tapi, kondisi pasien sudah tidak berdaya, antara sadar dan tidak sadar, tumpuan badannya sudah berat, sedangkan yang angkat pasien, saya ibu, dan adik, pihak rumah sakit enggak ada yang membantu, bantu angkat, gendong, atau apa," ulangnya.

Petugas medis itu pun meminta waktu masuk ke dalam untuk berbicara dengan sopir ambulans sebentar. Beberapa saat kemudian ia kembali lagi lalu menjelaskan bahwa sopir ambulans tidak berani membawa pasien karena tidak memakai APD lengkap.

Sekali lagi, Irham menegaskan bahwa dirinya tidak mungkin membawa ayahnya yang sudah tidak berdaya ke ruang Pinere dengan mobil pribadi sedangkan di dalam mobil ambulans terdapat brankar yang dapat mempermudah proses pemindahan pasien.

"Yang ada nanti, gotong sana, gotong sini, pasien sudah kayak gitu, jatuh nanti, siapa coba yang bertanggung jawab?" tanya Irham. Lagi-lagi petugas medis tersebut meminta waktu untuk berbicara dengan sopir ambulans.

Sesaat kemudian petugas medis tersebut kembali lagi dengan jawaban yang sama. Bahwa sopir ambulans tidak berani alias takut membawa pasien karena dirinya tidak memakai APD lengkap.

"Ini yang bermasalah, ambulansnya enggak ada, apa sopirnya yang enggak ada? Kalau abang bilang ambulans enggak ada, itu mobil ambulans, tapi, kalau sopirnya yang enggak ada, sini kunci biar saya yang bawa," tegas Irham kepada petugas medis tersebut dengan penuh rasa kesal.

Beberapa saat kemudian, sopir ambulans tersebut sekonyong-konyong muncul dengan APD lengkap lalu membawa Burhanuddin ke ruang Pinere. Menurut Irham, dari sini sudah terlihat bahwa pelayanan yang kelak ayahnya dapat akan sangat mengecewakan.

Berimbas kepada Jumlah Pelayat

Burhanuddin berkubur di salah satu kompleks pemakaman di Dusun Cot Kandeh, Gampong Lapang, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat. Pemulasaraan terhadap jenazah berlangsung secara normal bahkan pihak keluarga turut memandikan.

Menurut Irham, ini mestinya menepis isu yang beredar bahwa seluruh proses pemulasaraan mulai pengurusan jenazah hingga tahap penguburan ayahnya melalui tahapan protokol kesehatan laiknya pasien C-19. Bahkan, sejumlah warga pun turut serta membantu proses pemakaman pada malam itu.

Rumah sakit hanya mengambil bagian mengantar jenazah dengan mobil ambulans. Selama pemakaman pun sang sopir yang saat itu mengenakan APD lengkap tidak ikut banyak membantu.

Jika mengikuti protokol kesehatan, jenazah biasanya tidak berbalut kain kafan, namun, plastik, kata Irham. Karena itu, ia ingin pihak rumah sakit mengklarifikasi sehingga status pasien terkait C-19 tidak melekat kepada mendiang ayahnya karena hal ini telah berimbas kepada minimnya jumlah pelayat yang datang.

"Harapan kami, atas nama pasien Bahruddin keluar dari ruangan isolasi Pinere, meninggal bukan karena dugaan C-19. Karena, rapid test belum, swab belum, rontgen paru-paru pun belum," pinta Irham.

Keluarga menuding, tidak ada petugas, padahal, kan, petugas, sedang mengambil, eh, sedang memakai APD. Ya, butuh waktulah.

Advokasi Lembaga Non-Pemerintah dan Tanggapan Gugus Tugas C-19

Kasus ini tengah menjadi sorotan salah satu organisasi nonpemerintah bernama GeRAK. Selain mendesak lembaga legislatif memanggil manajemen RSUDCND, lembaga ini meminta manajemen rumah sakit memperjelas status Burhanuddin kepada publik agar tidak berakibat kepada kehidupan keluarga almarhum di lingkungan tempat tinggal mereka.

Jika pasien berstatus positif, sudah barang tentu rumah sakit melalui tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan C-19 telah menetapkan prosedur standar terhadap semua orang yang selama ini bersinggungan dengan pasien. Namun, hal ini tidak berlaku sama sekali hingga dua hari setelah pemakaman, dan boleh jadi, ini mengarah pada indikasi bahwa pasien atas nama Burhanuddin hanya sakit biasa.

"Kami menduga ada pengabaian pelayanan medis terhadap pasien yang kemudian diindikasi atau dicurigai terkena C-19," ujar Koordinator lembaga tersebut, Edy Syahputra, kepada Tagar, Jumat, 28 Agustus 2020, siang.

Menurut Edy, sebagai pasien mestinya Burhanuddin mendapat pelayanan maksimal sedari awal, karena hak memperoleh layanan kesehatan merupakan sesuatu yang tidak terpisah dari peruntukannya terhadap penghormatan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM). Penjelasan tentang hak ini termaktub dalam UUD 1945, pasal 28H ayat 1.

Lebih jauh, pasien merupakan konsumen dan secara otomatis memiliki hak sebagai konsumen sesuai ketetapan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Seperti hak mendapat pelayanan secara benar dan jujur tanpa diskriminasi, selain mendapat informasi yang benar, jelas, dan jujur pula.

Dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, pasien pun punya hak, antara lain, mendapat penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis, serta pelayanan sesuai kebutuhan medis. Selain itu, dalam UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, pasien berhak memperoleh pelayanan, antara lain, yang manusiawi, bermutu sesuai standar profesi dan prosedur operasional, termasuk layanan yang efektif dan efisien, sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi.

"Apalagi, mereka terikat dengan sumpah," pungkas Edy.

Sementara itu, Tagar telah menghubungi Tim Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan C-19 Aceh Barat terkait status pasien bernama Burhanuddin. Menurut petugas sekretariatnya, Irsadi Aristora, hingga saat ini pihaknya belum memasukkan nama pasien tersebut dalam klaster pasien C-19 di Aceh Barat.

"Kasus yang kemarin, itu tidak masuk data pasiennya ke kita, masih dalam data pasien rumah sakit, makanya, kita tidak terlibat dalam kejadian itu," jawab Irsadi, Jumat, 28 Agustus 2020, malam.

Ia menambahkan, dalam menentukan status positif atau negatif C-19, selama ini pihaknya berpedoman pada hasil uji laboratorium (rapid test dan swab) serta diagnosis dokter. Untuk saat ini, yang paling afirmatif menurutnya hanya hasil tes melalui metode PCR (Polymerase Chain Reaction) atau swab.

Tanggapan Direktur RSUD CND

Sementara itu, Direktur RSUD Cut nyak Dhien Meulaboh, dr. Putri Fathiya, menepis tudingan bahwa petugas medis rumah sakit pimpinannya itu lamban dalam menangani pasien. Ia berdalih, saat insiden keluarga Burhanuddin melabrak petugas medis itu terjadi, anak buahnya sedang bersiap-siap mengenakan APD.

"Keluarga menuding, tidak ada petugas, padahal, kan, petugas, sedang mengambil, eh, sedang memakai APD. Ya, butuh waktulah. Dia maunya, saat itu dipanggil, saat itu juga berhadir. Pakai APD, kan, tunggu dulu berapa lama,” ujar Putri, menjawab awak media, Kamis, 27 Agustus 2020.

Putri sendiri mengakui jika Burhanuddin belum sempat menjalani rapid test ataupun swab. Namun, dirinya yakin bahwa pasien tersebut menunjukkan indikasi terpapar C-19 berdasarkan dignosis dokter yang menanganinya.

"Rapid test, kan, sudah enggak perlu. Suspek, itu, kan, sudah pernyataan dokter parunya, suspek. Kalau rapid, kan, memang tidak perlu lagi sekarang, kalau swab, kita rencanakan untuk swab sudah, cuma petugas yang mengambil swab kita, kan, lagi isolasi, begitu juga, rontgen itu, petugas kita semua isolasi," jelasnya.

Sebagai informasi, saat ini seratusan tenaga medis di rumah sakit tersebut memang sedang menjalani isolasi mandiri sejak beberapa waktu lalu. Pemicu isolasi massal ini ialah seorang dokter spesialis yang terkonfirmasi terpapar C-19.

Selanjutnya, Putri juga menggarisbawahi jika perilaku keluarga pasien yang mondar-mandir di ruangan isolasi sebagai perbuatan yang salah. Menanggapi pertanyaan dari seorang awak media tentang apa yang akan pihak rumah sakit lakukan untuk menghindari insiden keluarga pasien marah-marah kepada petugas medis, Putri menginginkan adanya penempatan aparat keamanan.

"Standby, kan aparat, karena kita tidak bisa melawan keluarga pasien," tegas Putri. []

Baca juga:

Berita terkait
Bangunan Kantor Dinas di Aceh Tamiang Memprihatinkan
Pembangunan kantor dinas DPMKPPKB Aceh Tamiang terhenti prosenya akibat tidak adanya anggaran tahun 2019.
Kisah Masjid Keramat Dicurigai Belanda di Aceh
Sekali waktu, warga hendak menghancurkan sebagian bangunan masjid untuk perombakan, katanya, gagal. Konon, beton masjid tidak hancur sama sekali.
Miris, Sekolah Reot Daerah Penghasil Gas di Aceh
Kondisi Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Darussalam, di Desa Abeuk Reuling, Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Utara, Aceh, sangat memprihatinkan.