Jakarta - Sistem Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang selama ini menggunakan sistem klas telah menguntungkan orang kaya. Golongan ini memilih klas satu dan begitu masuk rumah sakit pindah ke VVIP. Dengan kondisi seperti sekarang, menurut Ketua Departemen Ilmu Ekonomi UGM, Rimawan Pradiptyo, semestinya fokus BPJS lebih baik ke kelompok orang miskis.
Rimawan mengatakan hal ini dalam diskusi tentang BPJS yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) secara virtual, Jumat 29 Mei 2020. Menurut Rimawan salah satu unsur terpenting dalam sistem jaminan sosial seperti BPJS ini adalah adanya data kependudukan -yakni single indetification number yang lengkap. “Kita belum punya ini, padahal ini penting sekali,” ujarnya. Jumlah peserta BPJS, menurut lembaga ini, tercatat sekitar 200 juta.
Covid-19 ini telah memperlihatkan rapuhnya sistem kesehatan kita...
BPJS kini menjadi sorotan karena, antara lain, pemerintah menaikkan lagi nilai iuran yang sebelumnya oleh Mahkamah Agung sudah diibatalkan. Pemerintah sendiri berkali-kali menyatakan BPJS defisit sehingga diperlukan antara lain kenaikan iuran untuk menambal defisit itu. Iuran dengan “harga baru” itu mulai berlaku Juli mendatang.
Pola Superhero
Rimawan juga menyoroti “ambisi” BPJS yang demikian besar mengkover kesehatan masyarakat Indonesia, sementara perangkat-fasilitas kesehatan dan SDM-nya jauh dari siap. Ia membandingkan Korea Selatan yang memerlukan waktu 26 tahun untuk membangun sistem kesehatan masyarakat dan Jepang yang 36 tahun, sementara Indonesia baru lima tahun. “Ini semacam pola superman, pola superhero,” ujarnya.
Menurut Rimawan sistem klas tidak tepat untuk sistem kesehatan seperti BPJS. “Seperti di luar negeri harusnya tidak ada klas-klas,” ujarnya. Menurut dia yang juga harus dibenahi adalah fasilitas puskesmas sehingga tidak semua peserta BPJS harus ke rumah sakit. Jika tak dibenahi, ujarnya, masalah keuangan BPJS tak akan selesai. “Terjadi subsidi BBM jilid dua,” ujarnya.
Retna Hanani, dosen FISIP Universitas Diponegoro juga melihat hal sama perihal fasilitas yang ada di puskesmas berkaitan dengan BPJS. Menurut dia, Covid-19 ini telah memperlihatkan rapuhnya sistem kesehatan kita. “Fasilitas puskesmas kita di daerah itu minim,” ujarnya. Ia membandingkan betapa jauhnya sistem kesehatan Indonesia dibanding, antara lain, Thailand. Menurut Retna, untuk membenahi BPJS mesti ada perubahan struktural. “Di Thailand anggaran untuk kesehatan mencapai 15 persen dari anggaran pemerintah, kita lima persen, itu pun baru beberapa tahun terakhir,” ujarnya.
Ketua Dewan Pengurus LP3S, Didik J. Rachbini menyebut lahirnya BPJS ini tak lepas dari situasi dan suasana politik waktu itu sehingga membuat Pemerintah SBY akhirnya mengesahkannya, padahal dari sisi keuangan, sebenarnya berat. Didik juga menyoroti gaji direksi BPJS yang mencapai Rp 100 juta di tengah pelayanan dan defisit BPJS yang menjadi perbincangan publik. []