BPJS, Bisanya Pakai Jurus Sontoloyo

Pemerintah akhirnya memakai jurus paling mudah untuk mengatasi keruwetan defisit BPJS Kesehatan, yakni dengan menaikkan iuran. Tulisan LR Baskoro.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengikuti rapat kerja bersama komisi XI DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Rabu, 21 Agustus 2019. Rapat kerja membahas pengesahan DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) RUU Bea Materai dan BPJS Kesehatan. (Foto: Antara/Fakhri Hermansyah)

Oleh: Lestantya R. Baskoro*

Pemerintah akhirnya memakai jurus paling mudah untuk mengatasi keruwetan defisit dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, yakni, dengan menaikkan iuran. Dengan menaikkan iuran itu --artinya menambah beban pengeluaran masyarakat- diharapkan masalah keuangan badan ini pun kelar.

Jurus itu, ibarat pesilat menghadapi “musuh,” bukan mempelajari kelemahan musuh atau membenahi kelemahan diri untuk kemudian bisa menaklukkan lawan, tapi mencari cara paling aman untuk selamat: langkah seribu. Tindakan yang sebenarnya tak sepenuhnya memecahkan akar masalah, sebuah “jurus” instan.

Pemerintah menaikkan iuran karena menilai selama ini terlalu rendah, sementara defisit BPJS diperkirakan tahun ini Rp 28 triliun. Rencana kenaikan tersebut telah dipaparkan di depan para anggota DPR dan langsung diterima para wakil rakyat yang semestinya kritis terhadap hal-hal yang berdampak menambah beban pengeluaran rakyat. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani dengan sigap menyebut kenaikan itu akan dilakukan per 1 September 2019.

Jika kenaikan itu menimbulkan reaksi, itu wajar. Apalagi besarnya mencapai seratus persen. Dengan kenaikan itu, maka, untuk peserta umum atau non PBI (penerima bantuan iuran) kelas 3, naik dari Rp 25.000 menjadi Rp 42.000; untuk kelas 2 dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000, dan untuk kelas 1, yang sebelumnya Rp 80 000 menjadi Rp 160.000. Jika seorang suami-istri memiliki 2 anak dan ia memilih kelas 2, maka setiap bulan ia harus mengeluarkan Rp 440.000. Angka yang besar jika ia, misalnya, seorang pensiunan pegawai kecil.

Tujuan BPJS sesungguhnya bagus –sangat mulia. Untuk membantu rakyat kecil dan ada “subsidi silang” dari para pembayar kelas menengah atas. Pemerintah memang menggratiskan iuran untuk mereka yang tidak mampu. Ini tepat karena selama ini, kita tahu, biaya pengobatan di rumah sakit, apalagi swasta, sangat tinggi. Adanya BPJS membantu rakyat kecil, misalnya, untuk operasi atau cuci darah –hal yang bisa membuat mereka pontang-panting mencari utangan atau bahkan sampai menjual rumah jika berobat ke rumah sakit swasta. Pemerintah kemudian membuat sejumlah skema agar mereka yang berobat terlayani dengan “tertib dan cepat,”: berobat ke Puskesmas dan, jika sangat perlu, baru dirujuk ke rumah sakit.

Untuk “menjaring” peserta, pemerintah membuat ketentuan mereka yang mendaftar harus satu keluarga. Tidak boleh hanya bapak atau ibu. Perusahaan harus mendaftarkan karyawannya ikut BJPS. Bagi mereka yang bekerja di sebuah perusahaan dan iuran itu ditanggung perusahaan, tentu tak memberatkan. Tapi, bagi mereka yang membayar sendiri jelas lain masalahnya. Prinsip kepesertaan yang mestinya diserahkan kepada masing-masing orang, apakah mereka sendiri atau mengikutsertakan anggota keluarganya, ditutup. Mestinya BPJS tak memaksakan sistem “menjaring” peserta dengan cara semacam itu.

Pembenahan total, dari pelayanan dan pengawasan ketat atas klaim rumah sakit, itulah yang harus dilakukan. Jika tidak, maka kenaikan iuran itu akan sia-sia.

Kendati “ideal” di atas meja para direksi BPJS, kita tahu pelayanan BPJS di lapangan banyak masalah. Tidak hanya menyangkut pelayanan sejak pendaftaran -yang untuk menanyakan cara mengganti kartu saja harus mengambil nomor dan mengantre- tapi juga saat berobat. Pasien kadang harus datang jam lima pagi untuk mengambil nomor dan kemudian jam 14.00 untuk antre diperiksa, yang itu pun acapkali harus menunggu dokter yang baru muncul karena praktik di rumah sakit lain.

Kita tahu pasien BPJS sesungguhnya sudah menjadi “warga klas dua.” Bahkan untuk peserta “BPJS mandiri,” yang membayar iuran klas 1, klas 2 sekalipun. Tak ada bedanya mereka dengan peserta gratis yang ditanggung pemerintah. Tak heran “pelayanan ala BPJS” semacam itu membuat para peserta BPJS jenis ini kapok –yang pada akhirnya bisa jadi tak membayar lagi iuran BPJS dan memilih berobat dengan cara lain. Kita tak tahu apakah para direksi BPJS, yang beberapa bulan lalu menuntut sejumlah tunjangan dan fasilitas -antara lain tunjangan perumahan, peningkatan tunjangan komunikasi, fasilitas kesehatan, dan fasilitas olahraga dan ditolak Menteri Keuangan Sri Mulyani- mengetahui dan pernah melihat hal-hal ini –pelayanan BPJS yang bisa membuat “orang sakit tambah sakit.”

Potensi defisit yang demikian besar itu juga memunculkan pertanyaan: apa yang terjadi sesungguhnya dengan dana BPJS. Benarkah murni untuk sebuah harga pengobatan atau ada ”penggelembungan?” Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah menyatakan ada indikasi kecurangan berasal dari klaim yang berlebihan (overclaim) pada layanan BPJS Kesehatan. Menurut Sri, itu dari data kepesertaan, sistem rujukan antara Puskesmas dengan rumah sakit, hingga sistem tagihan.

Karena menyangkut uang negara, semestinya kejaksaan atau bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi turun tangan menelisik dugaan korupsi di balik klaim-klaim tagihan itu. Kita tak ingin anggaran BPJS menjadi target untuk dikorupsi dengan dalih biaya obat, biaya perawatan, biaya dokter dan lain-lain. BPJS tak perlu ragu untuk meminta kejaksaan atau KPK memeriksa rumah sakit yang diduga melakukan manipulasi klaim-klaim untuk mengeruk dana BPJS –uang negara. Pelaku kejahatan seperti ini mesti dikirim ke dalam bui.

Di luar itu BPJS Kesehatan harusnya menerapkan aturan ketat penyakit apa yang biayanya ditanggung. Penyakit yang timbul karena merokok mestinya tak perlu ditanggung. BPJS semestinya punya “peta” penyakit apa, obat, dan biaya apa yang paling besar memakan anggaran. Jika menyangkut obat, mesti dicari jalan keluarnya. Misalnya pemerintah kemudian memberi keringanan pajak untuk komponen obat tersebut agar harganya turun. Jika ditengarai harga dan klaim rumah sakit tak wajar, sekali lagi, tak perlu ragu untuk meminta Badan Pemeriksan Keuangan, KPK atau kejaksaan melakukan pemeriksaan.

Pembenahan total, dari pelayanan dan pengawasan ketat atas klaim rumah sakit, itulah yang harus dilakukan. Jika tidak, maka kenaikan iuran itu akan sia-sia. BPJS Kesehatan akan kembali seok-seok dan kemudian, lagi-lagi, menaikkan besarnya iuran sebagai jalan keluar. Kalau itu terjadi tak mustahil publik menyebut pemerintah bisanya hanya memakai jurus -meminjam istilah Presiden Joko Widodo yang kesal terhadap perilaku sejumlah politikus- sontoloyo untuk mengatasi amburadul keuangan BPJS.

*Wartawan senior dan pengamat hukum

Berita terkait
Bamsoet Sebut Kenaikan Iuran BPJS Bebani Rakyat
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo meminta agar rencana kenaikan biaya iuran BPJS Kesehatan dapat dipertimbangkan.
Metamorfosis SJSN Hingga Menjelma BPJS
Ternyata jaminan kesehatan sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Kemudian dilanjutkan pemerintah Indonesia.
Usulan Sri Mulyani Tentang BPJS Kesehatan
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengusulkan kenaikan setoran BPJS Kesehatan kelas I dan II bengkak dua kali lipat. Rencananya dimulai Januari 2020.