Andingingi, Ritual Meminta Keselamatan ala Suku Kajang

Andingingi, adalah sebuah ritual meminta keselamatan ala suku Kajang Sulawesi Selatan.
Ritual Andingingi suku Kajang Sulawesi Selaqtan. (Foto: Tagar/ Aan Febriansyah)

Bulukumba - Pagi cerah disertai dengan udara yang sejuk membuat suasana didalam kawasan adat Suku Kajang di Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan terasa hangat.

Sejumlah masyarakat Kajang Dalam maupun Kajang Luar kompak mengenakan pakaian serba hitam tanpa menggunakan alas kaki terlihat berkumpul, pakaian hitam ini bukan sebagai pertanda duka, tapi pakaian hitam adalah ciri khas masyarakat Suku Kajang sebagai warna kesempurnaan yang melambangkan kesederhanaan.

Sejumlah masyarakat Suku Kajang ini berkumpul tidak jauh dari gerbang masuk Tana Toa, dimana akan digelar prosesi Andingingi,  yakni ritual mendinginkan alam dan isinya serta memohon keselamatan.

Disekitar masyarakat Suku Kajang yang berkumpul itu, terdapat sebuah pohon besar berdiri tegak di sekitar tempat itu. Di bawahnya dipenuhi sesajian makanan yang telah didoakan. Kegiatan sekali  setahun ini digelar pada 15 September lalu sebagai bagian dari Festival Pinisi.

Sebelum memulai upacara, warga Kajang berkumpul tepat digerbang masuk tanah adat Kajang. Bak pagar, lelaki dan kaum perempuan berbaur dan berbaris membentuk saf. Mereka membentuk lorong sepanjang 10 meter dari gerbang. Ini adalah bentuk penyambutan masyarakat Kajang terhadap tamu yang hadir.

Andingingi adalah sebuah prosesi yang sakral di mana banyak laku yang harus dilakukan sebelum pelaksanaannya. Semua orang yang datang ke lokasi acara diwajibkan berpakaian hitam dan harus melepas alas kaki.

Peserta ritual juga dilarang meludah sembarang tempat, tidak berbicara dan bergerak yang banyak, yang bisa mengalihkan perhatian pemangku adat yang sedang menyelenggarakan ritual. Pengambilan gambar untuk foto dan video hanya diperkenankan setelah pelaksanaan ritual inti.

Dilokasi lokasi upacara Andingingi terdapat dua barung-barung atau pondok dibangun di sebelah kiri jalan. Satu barung-barung dipakai untuk para tamu dari luar. Sedangkan  barung-barung satu lagi ditempati oleh warga suku Kajang asli, termasuk pemimpin suku (Ammatoa).

Barung-barung ini tergolong rendah jika dibandingkan ukuran barung-barung yang normal. Orang dewasa harus merunduk, dan hanya bisa berdiri jika berada tepatnya.

Di dalam barung-barung sudah duduk Ammatoa, didampingi permaisurinya dan para pejabat perangkat adat Kajang. Pemimpin dan rakyatnya duduk bersama dalam satu atap, bedanya, tempat Ammatoa lebih longgar. Di bagian tengah,  ada perangkat upacara, yakni air suci yang telah didinginkan semalaman, dikenal sebagai prosesi appalentenge ere.

Seikat besar tumbuh-tumbuhan terdiri dari 40 jenis dikenal raung kayu patang pulo. Dan seperangkat kapur sirih di atas talam anyaman daun kelapa. Perangkat upacara ini dijaga oleh permaisuri Ammatoa dan dua perempuan kepercayaannya.

Persiapan Ritual

Salah seorang pemuda Adat Suku Kajang, Alkaisar Jainar Ikrar mengatakan, sebelum pelaksanaan andingingi ini, malam sebelumnya telah dilakukan ritual yang disebut appalenteng ere’ sebagai ritual persiapan andingingi. Ritual ini dipimpin langsung oleh Ammatoa. Lokasinya sama dengan lokasi pelaksanaan ritual andingingi.

"Selama acara berlangsung tidak diperkenankan untuk mengambil gambar foto dan video. Penerangan pun hanya menggunakan obor. Prosesi Adingingi tahun ini dipimpin oleh dua orang yakni Galla Puto, Bolong dan Galla Lombo, Salam" kata Alkaisar.

Persiapan RitualBedak cair yang terbuat dari tepung beras dicampur kunyit.(Foto: Tagar/Aan Febriansyah)

Menurut pria yang akrab disapa Ical ini, ritual appalenteng ere’ ini sebenarnya merupakan acara inti dari pelaksanaan andingingi, karena dipimpin langsung oleh Ammatoa yang melakukan pemberkatan. Semua bahan-bahan atau kelengkapan ritual andingingi disiapkan pada ritual ini.

"Kehidmatan acara ini bisa dilihat dari kondisi langit yang cerah dan suasana yang tiba-tiba terasa damai dan menenangkan. Biasanya setelah pelaksanaan andingingi ini akan disertai dengan hujan deras, cuma untuk saat ini kita minta agar tak ada hujan karena adanya atraksi ritual attunu panroli dan tarian pabitte passapu setelahnya,” tambahnya.

Alumni Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin ini menjelaskan bahwa andingingi bagi masyarakat kajang semacam ritual ruwat bumi dan kehidupan, di mana dalam ritual ini dipanjatkan doa-doa agar dalam setahun ke depan senantiasa diberikan keselamatan dan kesehatan dari Tu Rie’ Ara’na atau Tuhan yang Maha Kuasa.

“Tujuan dari ritual ini adalah meminta kepada Tu Rie’ Ara’na agar dimudahkan rezeki, dipanjangkan umur dan senantiasa diberikan kedamaian dan dijauhkan dari mara bahaya,” ujarnya.

Ritual andingingi ini dimulai dengan pembacaan doa dari perwakilan adat. Setelah itu dua orang mengitari tempat kegiatan sambil memerciki peserta dengan air yang telah diberkati menggunakan tangkai buah pinang dan sejumlah dedaunan yang diikat jadi satu, yang disebut pabbe’bese.

Sejumlah orang terlihat sengaja menengadahlan wajahnya agar terperciki air tersebut. Setelahnya, beberapa orang memoleskan bacca ke jidat dan leher peserta ritual. Bacca ini adalah sejenis bedak cair yang terbuat dari tepung beras dicampur kunyit.

Di akhir acara disajikan makanan berupa nasi dan daging kerbau menggunakan piring yang terbuat dari daun lontar yang disebut tide. Ada juga sayuran yang disajikan menggunakan wadah yang terbuat dari tempurung kelapa.

Attunu Panroli

Tidak jauh dari lokasi andingingi dilakukan atraksi ritual attunu panroli atau membakar linggis hingga merah karena panas. Ritual ini dimulai dengan pengumpulan ranting pohon dan dedaunan, yang kemudian dibakar hingga apinya membesar. Setelah apinya dirasa cukup, linggis pun dipanaskan di tumpukan dedaunan terbakar tersebut hingga warnanya memerah.

Salah seorang pemangku adat kemudian mengambil linggis panas tersebut dengan tangan tanpa pelapis. Untuk membuktikan bahwa linggis itu benar-benar panas maka sejumput daun diletakkan di atas linggis yang segera terbakar. Berkali-kali ia mengusap-usapkan telapak kakinya ke linggis tersebut dari atas ke bawah, dan ia tak terluka sedikit pun.

Attunu PanroliPembakaran linggis. (Foto: Tagar/Aan Febriansyah)

Attunu panroli ini adalah salah satu mekanisme penyelesaian perkara di Kajang jika terjadi keraguan siapa pelaku dari pelanggaran tersebut. Kepada pihak berperkara disuruh memegang linggis panas tersebut.

"Jika tangannya melepuh ketika memegang linggis itu, maka dialah pelakunya. Sedangkan bagi yang bukan pelaku, tidak akan merasakan panasnya linggis tersebut. Meski pada umumnya pelaku tidak mau mengikuti upacara tersebut, sehingga kadang dilanjutkan dengan ritual attunu Passau, yang tingkatannya lebih tinggi," ujar pria yang juga Anggota DPRD Bulukumba ini.

Setelah atraksi attunu panrili tersebut dilanjutkan dengan pementasan tarian pabitte passapu, yang merupakan tarian penyambutan dalam tradisi Kajang. Dalam tarian ini digambarkan terjadinya sabung ayam dengan menggunakan passapu atau kain penutup kepala bagi orang Kajang. Di lokasi yang sama juga terdapat pertunjukan tenun dari perempuan Kajang.

Rangkaian Promosi Wisata Adat

Pelaksanaan andingingi yang dilaksanakan secara terbuka dan bisa diikuti oleh orang luar Kajang ini lanjut Ical, merupakan bagian dari upaya mengenalkan tradisi Kajang secara lebih luas dan bisa menjadi objek wisata budaya di masa yang akan datang.

“Kita berharap ini bisa memberi pendapatan bagi masyarakat Kajang, meski tetap hati-hati juga karena banyaknya pantangan-pantangan yang harus dipenuhi bagi pendatang,” jelasnya.

Ritual bebas di ikuti siapa sajaRitual ini bisa di ikuti oleh orang di luar Kajang. (Foto: Tagar/Aan Febriansyah)

Komunitas adat Kajang hingga saat ini masih sangat ketat dalam menjaga tradisi, termasuk dalam kaitannya dengan menjaga hutan. Kawasan hutan yang disakralkan tak boleh sama sekali dimanfaatkan kecuali sebagai tempat pelaksanaan ritual.

Dalam kawasan rambang seppang berlaku banyak larangan-larangan, misalnya tak boleh menggunakan peralatan modern dan tak bisa menggunakan alas kaki ketika berada dalam kawasan yang terdiri dari 8 dusun ini.

Andingingi sendiri memiliki beberapa macam bentuk, antara lain andingingi kampong (kampung), andingingi borong (hutan) dan andingingi bola (rumah). Tujuannya sama, yang berbeda hanya pada skalanya.

Komunitas adat Kajang di Tana Toa dipimpin oleh seorang disebut Ammatoa yang sangat dipatuhi oleh warganya. Ammatoa ini memegang tampuk kepemimpinan di Tana Toa sepanjang hidupnya terhitung sejak dia dinobatkan hingga meninggal.

Proses pemilihan Ammatoa tidak gampang dan bukan suatu hal yang dicita-citakan karena proses pemlihannya bukan melalui pemilihan warga tetapi ditunjuk langsung oleh Tu Rie’ A’ra’na melalui serangkaian ritual yang rumit.

Upacara selesai, warga Kajang Dalam meninggalkan lokasi barung-barung dan menuju ke barat daya menuju Benteng, yang tak lain adalah kediaman Ammatoa.Sementara para undangan dan warga Kajang Luar meninggalkan Desa Tana Toa Kajang.

Perda Khusus Warga Suku Kajang

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bulukumba telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pengukuhan, Pengakuan Hak, dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang.

Perda tersebut adalah aturan pertama di Indonesia yang diperuntukkan kepada masyarakat adat. Salah satu alasan dibentuknya Perda ini adalah bentuk apresiasi Pemda karena telah melindungi kawasan hutan yang berada di sekitaran Desa Kajang. Perda Nomor 9 Tahun 2015, ini merupakan aturan pertama untuk masyarakat adat bahkan RUU Masyarakat Adat belum disahkan.

Perda khususPemda Bulukumba telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pengukuhan, Pengakuan Hak, dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang. (Foto: Tagar/Aan Febriansyah)

Dengan adanya perda ini, posisi kelembagaan masyarakat adat Ammatoa Kajang semakin menguat dan menjadi kepastian hukum bagi masyarakat adat. Lalu juga memastikan batas wilayah adat yang tidak akan diganggu gugat oleh pemerintah.

Perda Nomor 9 Tahun 2015 telah ditetapkan oleh Bupati Bulukumba. Perda ini terdiri dari 13 bab dan 28 pasal. Tujuannya adalah mengakui dan menghormati hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). []

Baca juga:

Berita terkait
ACC Sulawesi Kecam Kejati Sulsel Soal Dugaan Suap Jaksa
ACC Sulawesi mengecam Kejati Sulawesi Selatan terkait adanya oknum Jaksa yang diduga sebagai makelar kasus.
Meity, Orang Sunda di Kursi DPRD Sulawesi Selatan
Pengusaha perjalanan wisata umrah dan haji Meity Rahmatia Caleg terpilih DPRD Sulsel, asal Sunda tapi terpilih jadi anggota DRPD Sulsel
Kuntilanak Penculik dari Bantaeng Sulawesi Bernama Anja
Menjadi cerita turun-temurun Anja sosok kuntilanak menakutkan di Banteang, Sulawesi Selatan, karena kerap menculik anak kecil selepas magrib.