Untuk Indonesia

Usman Hamid Amnesty International Dangkal dalam Kasus 6 Laskar FPI

Usman Hamid Amnesty International itu dangkal dalam kasus tewasnya 6 laskar FPI, tidak memberikan bukti lain untuk membantah polisi dan Komnas HAM.
Usman Hamid - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia. (Foto: Tagar/Media Indonesia/Andry Widyanto)

Oleh: Ade Armando*

Saya benar-benar heran dengan pernyataan Amnesty International Indonesia tentang tewasnya enam anggota laskar FPI, setelah pengumuman hasil penyelidikan Komnas HAM. Direktur Amnesty International Usman Hamid mengeluarkan pernyataan resmi yang seolah membantah kesimpulan Komnas HAM. 

Sekadar catatan, menurut Komnas HAM, penembakan polisi terhadap empat, ingat empat ya, anggota FPI pada 7 Desember 2020 adalah tindakan yang masuk dalam 'kategori pelanggaran HAM'. Menurut Komnas pula, penembakan tersebut tergolong dalam unlawful killing. Unlawful killing itu adalah semacam tipe 'pembunuhan' yang meski berada di luar jalur hukum, pelakunya mungkin sekali tidak dihukum pidana oleh pengadilan karena adanya konteks dan kondisi tertentu. Jadi terlihat Komnas HAM berhati-hati dalam merumuskan kesimpulannya.

Saya sendiri, sebagaimana banyak orang lain, sebenarnya tidak sependapat dengan kesimpulan Komnas HAM itu. Menyebut penembakan yang menewaskan para anggota FPI sebagai 'pelanggaran HAM' itu sangat mengganggu. Sejauh ini bukti yang ada menunjukkan polisi menembak karena harus membela diri, tatkala diserang oleh para anggota FPI yang mereka tahan di mobil. Nyawa para polisi itu terancam dan karenanya menjadi masuk akal kalau reaksi pertama polisi adalah menembak mereka yang mengancam nyawa mereka. Masa sih itu disebut 'kategori pelanggaran HAM' dan unlawful killing?

Tapi terlepas dari kontroversi itu, setidaknya Komnas HAM hanya menyebut insiden tewasnya empat anggota FPI dan tidak mempersoalkan terbunuhnya dua anggota FPI yang lain. Bagi Komnas HAM, terbunuhnya dua anggota FPI yang lain itu terjadi akibat baku tembak setelah mobil polisi diserang. Juga setidaknya Komnas HAM tidak menuduh penembakan itu sebagai 'pembunuhan extra-judicial' yang masuk dalam pelanggaran HAM berat yang ancaman hukumannya bisa sampai hukum mati.

Kesimpulan Komnas HAM itulah yang di-challenge Usman Hamid. Melalui siaran pers resmi pada 8 Januari, Usman menyatakan bahwa 6 anggota laskar FPI yang tewas adalah korban pembunuhan di luar proses hukum oleh pihak kepolisian. Jadi yang dipersoalkan Usman bukan empat, tapi seluruh enam anggota FPI yang tewas tertembak. Bahkan dua orang FPI yang tewas saat terjadi baku tembak pun dianggap sebagai korban pelanggaran HAM oleh polisi.

Masalahnya, Usman sama sekali tidak memberikan bukti lain yang bisa membantah kronologi versi polisi dan Komnas HAM.

Gedung Komnas HAMGedung Komnas HAM. (Foto: Dok Tagar)

Menurut Usman, enam anggota laskar FPI itu tidak seharusnya diperlakukan demikian. Menurut Usman, enam anggota laskar FPI itu tetap memiliki hak ditangkap dan dibawa ke persidangan untuk mendapat peradilan yang adil. "Aparat keamanan tidak berhak menjadi hakim dan memutuskan untuk mengambil nyawa begitu saja. Karena itu kami menilai kasus ini adalah tindakan extrajudicial killings," ucap Usman.

Menurut Usman pula, harus ada penjelasan tentang apakah petugas yang terlibat dalam insiden penembakan itu telah secara jelas mengidentifikasi diri mereka sebagai aparat penegak hukum sebelum melepaskan tembakan, dan apakah penggunaan senjata api itu dibenarkan. Menurut Usman, polisi seharusnya hanya dibolehkan menggunakan kekuatan atau kekerasan, terutama dengan senjata api, sebagai upaya terakhir. Itu pun harus merupakan situasi luar biasa untuk melindungi keselamatan dirinya dan atau orang lain.

Argumen Usman itu sangat mengherankan. Seperti diungkapkan polisi dan dikonfirmasi Komnas HAM, harus dibedakan antara dua anggota FPI yang tewas ditembak saat baku tembak terjadi dan empat anggota FPI yang tewas kemudian saat berada di mobil polisi yang akan membawa mereka ke tahanan di kantor polisi.

Baku tembak antara polisi dan FPI terjadi karena FPI menyerang mobil polisi. Laskar FPI dengan sengaja menunggu mobil polisi lewat untuk kemudian diserang, ditabrak, dan ditembaki. Polisi balas menembak. Dan saat itulah dua korban pertama jatuh. Dengan kata lain, dua anggota FPI itu tewas dalam baku tembak yang diakibatkan oleh serangan yang dimulai FPI. 

Empat yang berikutnya tewas karena dalam mobil polisi mereka berusaha membunuh anggota polisi. Mereka sebenarnya sudah berposisi sebagai tahanan, tapi tanpa diduga, di dalam mobil mereka menyerang polisi sehingga polisi menembak meeka dalam jarak dekat.

Tentu saja semua anggota FPI itu punya hak untuk ditangkap dan diadili. Tentu saja polisi tidak berhak mengambil nyawa orang secara semena-mena. Tentu saja polisi hanya bisa menembak sebagai pilihan terakhir. Tapi kalau kita mendengar penjelasan polisi dan Komnas HAM, apa yang dilakukan polisi adalah hal yang sangat masuk akal.

Para anggota FPI tersebut terbunuh karena mereka mengancam nyawa polisi. Pada awalnya bahkan polisi tidak sedang ingin menangkap. Mereka hanya ingin membuntuti rombongan FPI. Saat mereka menguntit itulah, mereka diserang. Dan kalau bicara soal hak untuk ditangkap, bukankah empat anggota FPI yang tersisa sebenarnya hendak dibawa polisi untuk menjalani proses hukum? Tapi karena mereka menyerang, mereka ditembak.

Saya khawatir kalau pernyataan Usman sedemikian serampangan, publik akan kehilangan kepercayaan terhadap posisi masyarakat sipil.

Rekonstruksi FPIRekonstruksi kejadian penembakan 6 laskar FPI di jalan tol Jakarta-Cikampek. (Foto: Tagar/Antara/Ali Khumaini)

Jadi bagaimana mungkin itu dianggap kejahatan HAM yang luar biasa? Ini tentu berbeda kalau Usman memiliki bukti bahwa sebenarnya polisi tidak pernah terancam, tidak pernah ditembaki, dan sekadar menembak karena merasa berkuasa punya senjata api untuk menghabisi anggota FPI.

Masalahnya, Usman sama sekali tidak memberikan bukti lain yang bisa membantah kronologi versi polisi dan Komnas HAM. Usman seperti ringan saja mengatakan bahwa polisi seharusnya tidak boleh membunuh orang lain, terlepas dari konteks dan situasi. Ini yang saya katakan mengherankan. Pokoknya polisi bersalah karena telah menewaskan enam anggota FPI. Titik.

Amnesty International adalah lembaga yang seharusnya bisa memandu masyarakat dalam menilai kondisi HAM di Indonesia. Saya khawatir kalau pernyataan Usman sedemikian serampangan, publik akan kehilangan kepercayaan terhadap posisi masyarakat sipil. Kalau Amnesty Inernational bisa sedemikian dangkal, ya apalagi Refly Harun.

Refly misalnya bikin pernyataan di videonya bahwa seharusnya diuji apakah tembak-menembak berlangsung seimbang. Katanya lagi, mengapa polisi menembak langsung ke sasaran. Kenapa tidak melumpuhkan saja, katanya. Refly juga mempertanyakan apakah baku tembak antara polisi dan FPI ini terjadi secara natural, alamiah, ataukah di belakangnya ada kekuatan-kekuatan yang merancangnya. "Apakah by accident, atau by design?" kata Refly.

Kata Refly lagi, kenapa polisi harus membuntuti rombongan FPI, dan apa perlu dibuntuti sampai keluar kota? Refly bahkan berspekulasi bahwa mungkin sekali di belakang insiden ini ada keterlibatan lingkaran Istana. "Karena FPI adalah kelompok yang tidak disukai Istana," ujar Refly.

Argumen yang dikemukakan Usman Hamid dan Refly Harun ini jelas mengada-ada. Karena saya percaya mereka dua orang pintar di Indonesia, mencengangkan bahwa argumen mengada-ada itu bisa keluar dari mulut mereka.

Kita tentu tidak ingin di Indonesia tidak ada kritikus pemerintah yang layak didengar. Indonesia butuh masayarakat sipil yang secara aktif mencerahkan masyarakat dengan pandangan-pandangan kritisnya. Adalah berbahaya kalau sampai pemerintah merasa bahwa publik akan diam saja, apa pun yang mereka lakukan.

Pemerintah yang tidak dikritik berpotensi menjadi pemerintah korup. Seperti dikatakan Lord Action: Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely. Masalahnya kalau pernyataan Usman dan Refly yang kita gunakan sebagai contoh, saya khawatir pihak pengontrol pemerintah berada dalam titik rendah.

Para pegiat masyarakat sipil harus lebih menjaga legitimasi mereka. Mudah-mudahan mereka masih mau menggunakan akal sehat. Karena hanya dengan akal sehat, masyarakat sipil bisa bermanfaat.

*Akademisi Universitas Indonesia

Berita terkait
Didik Mukrianto Minta Pemerintah Tindaklanjuti Temuan Komnas HAM
Didik Mukrianto menilai temuan Komnas HAM terkait penembakan 6 anggota FPI harus ditindaklanjuti secara transparan.
Tindaklanjuti Temuan Komnas HAM, Kapolri Bentuk Tim Khusus
Kapolri Jendral IdhamAziz akan membentuk tim khusus untuk menindaklanjuti temuan Komnas HAM.
Komisi III DPR Desak Polri Jalankan Rekomendasi Komnas HAM
DPR pimpinan Polri akan menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM terkait kasus kematian enam anggota laskar FPI.
0
Penduduk Asli Pertama Amerika Jadi Bendahara Negara AS
Niat Presiden Joe Biden untuk menunjuk Marilynn “Lynn” Malerba sebagai bendahara negara, yang pertama dalam sejarah Amerika Serikat (AS)