Tradisi Makan dan Tahlil di Kuburan Madura

Tradisi bawa makanan sambil tahlil melafalkan ayat-ayat suci Alquran di kuburan, masih lazim terpelihara baik di Madura. Seperti terjadi sore itu.
Jemaah laki-laki dan wanita menghadiri tradisi sarwaan di kompleks pemakaman di Dusun Karang Tengah, Desa Dempo Barat, Kecamatan Pasean, Kabupaten Pamekasan, Minggu, 10 November 2019. (Foto: Tagar/Nurus Solehen)

Pamekasan - Terpal biru terhampar di sebuah kuburan, di antara nisan-nisan yang pudar. Para lelaki sarungan dan berkopiah, duduk bersila, membaca ayat-ayat suci Alquran. Sementara para ibu jongkok di antara bangunan makam, menyiapkan makanan. Semua tampak biasa. Tak ada wajah ketakutan.

Pemandangan itu terlihat di Dusun Karang Tengah, Desa Dempo Barat, Kecamatan Pasean, Kabupaten Pamekasan, Pulau Madura, Jawa Timur, Minggu, 10 November 2019.

Mereka sedang melakukan 'Tradisi Sarwaan', membawa makanan sambil tahlilan di kuburan. Kebiasaan turun-temurun yang terpelihara baik hingga kini.

Minggu sore itu usai salat asar cuaca panas, tapi tidak menyurutkan semangat orang-orang, warga desa, berduyun-duyun ke kuburan. Melakukan hajatan yang digelar rutin per tahun. Tepat waktu jelang musim kemarau atau sehabis warga menikmati hasil panen tembakau, jagung, dan singkong.

Warga yang bekerja sebagai pedagang, menyumbang air mineral dan rokok untuk disuguhkan kepada tamu sarwaan.

Dalam sarwaan, warga sebagai jemaah bebas untuk hadir. Tapi biasanya dihadiri warga yang punya garis keturunan dengan leluhur di pemakaman tersebut. Mulai dari seorang kakek dan nenek, orang dewasa, dan anak muda.

Uniknya, mereka hadir membawa makanan seadanya yang bisa dinikmati tamu undangan. Seperti nasi beras dan jagung yang dilengkapi telur dadar, mie rebus dengan sebongkah telur ayam, dan sejumlah makanan tradisional lain.

Makanan yang dibawa dikemas dengan alas daun pisang. Pada makanan tertentu, diberi daun pandan. Sementara minuman berupa kopi dan teh disediakan khusus pakai gelas.

Jumhana, 55 tahun, seorang warga yang hadir, mengatakan, makanan yang dibawa ke tradisi sarwaan merupakan makanan yang sudah jadi ciri warga setempat. Seperti nasi jagung, wuduk, makanan umbi, dan singkong.

"Misalkan punya kacang, ya bawa kacang saja. Bisa kacang yang sudah direbus, digoreng, atau mau dibuat camilan lain," kata Jumhana kepada Tagar.

Menurutnya, makanan yang dibawa warga hanya sebagai pelengkap. Substansi tradisi sarwaan adalah tahlian meminta keselamatan dan perlindungan Tuhan. Doa diterima dan segala hajatan terkabul.

"Tapi sebagian ada yang hadir tidak bawa apa-apa juga tidak apa-apa. Ikut menyumbangkan doa justru itu munajat asli tradisi sarwaan," tutur Jumhana.

Misalkan punya kacang, ya bawa kacang saja.

Sarwaan MaduraJemaah laki-laki khusyuk membaca ayat suci Alquran dalam tradisi Sarwaan Madura di kompleks pemakaman di Dusun Karang Tengah, Desa Dempo Barat, Kecamatan Pasean, Kabupaten Pamekasan, Minggu, 10 November 2019. (Foto: Tagar/Nurus Solehen)

Mitos Tradisi Sarwaan

Tradisi sarwaan tidak hanya jadi acara seremonial belaka bagi masyarakat Madura pada umumnya. Ada sebuah mitos kepercayaan dalam tradisi tersebut, yakni selain bertawasul kepada Tuhan, tujuan lain untuk meminta barokah arwah para leluhur agar dijauhkan dari malapetaka kehidupan.

Bagi masyarakat Madura kuno, kepercayaan tentang arwah leluhur dipercaya ada dan bisa mengawasi manusia yang hidup. Khususnya yang ada pekarangan lingkungan setempat.

Mitos dan latar belakang kepercayaan itu merupakan warisan para leluhur. Tradisi sarwaan sudah berjalan secara turun-temurun dan banyak dikenal masyarakat. Sebagaimana yang disampaikan juru kunci makam, Muniwa 49 tahun.

Menurut Muniwa, tradisi sarwaan sudah lumrah dilakukan tiap tahun. Tujuannya untuk keselamatan lingkungan dari ancaman berbagai macam musibah.

"Bertawasul tujuan semata karena Tuhan. Lalu menyampaikan khususan kepada para leluhur demi kita dan lingkungan," tutur Muniwa.

Arwah leluhur bagi Muniwa bukan sekadar mitos, ia percaya orang meninggal akan memantau orang hidup. Sehingga bagi yang hidup perlu lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dan bertawasul mendoakan yang sudah mati.

"Artinya sarwaan ini sama seperti tahlilan di rumah-rumah dan musala. Hanya tempat dan hidangan dilakukan di kuburan," ungkap Muniwa.

Bertawasul tujuan semata karena Tuhan.

Sarwaan MaduraTiga nenek mempersiapkan hidangan untuk jemaah laki-laki pada tradisi sarwaan Madura di kompleks pemakaman di Dusun Karang Tengah, Desa Dempo Barat, Kecamatan Pasean, Kabupaten Pamekasan, Minggu, 10 November 2019. (Foto: Tagar/Nurus Solehen)

Dapat Wasilah Arwah Leluhur

Tahlilan sarwaan bila dihayati dengan khusyuk, bakal dapat wasilah dari arwah leluhur. Orang ini tak sadarkan diri layaknya orang kesurupan, dan berbicara tak terstruktur. Konteks pembicaraan biasanya seputar syariat agama.

"Lakukan dengan khusyuk, orang tertentu yang ikut tahlilan sarwaan pasti dirasuki arwah leluhur. Ia bukan setan dari bangsa jin. Saya meyakini arwah para leluhur," tutur Muniwa.

Pernah suatu ketika, cerita Muniwa, sebelum sarwaan pada waktunya digelar, sumber mata air di sekitar kuburan tidak terawat alias kotor dipenuhi rumput. Warga hanya seenaknya memakai tanpa merawat dan membersihkan.

"Tempat sumber mata air ini konon dibuat oleh para sesepuh yang sudah meninggal dan dimakamkan di kuburan itu. Sesepuh ini diyakini juga leluhurnya para warga penduduk setempat," ujar Muniwa.

Sesepuh tersebut bernama Kiai Miari. Versi Muniwa, Kiai ini yang membabat alas pertama hingga jadi kompleks wilayah pemukiman warga di Desa Dempo Barat. Kiai Miari bisa disebut sebagai kiai yang mashur pada masanya.

"Jadi kalau ada peziarah atau penduduk warga mau nyekar, nama Kiai Miari jadi khususan tawasul pertama," tuturnya.

Singkat cerita, saat sarwaan tiba digelar, sedikitnya ada tiga orang kesurupan yang dipercaya dirasuki arwah leluhur. Ketiganya memaksa warga membersihkan tempat sumber mata air yang kotor itu.

Tak berselang lama, keesokan harinya Muniwa mengajak warga bergotong-royong membersihkan sumber air tersebut. Hingga bersih dan tidak dikerumuni tumbuhan banyak rumput.

Sarwaan MaduraJemaah laki-laki menikmati hidangan dalam tradisi sarwaan di kompleks pemakaman di Dusun Karang Tengah, Desa Dempo Barat, Kecamatan Pasean, Kabupaten Pamekasan, Minggu, 10 November 2019. (Foto: Tagar/Nurus Solehen)

Sarwaan Mulai Tak Diminati

Meski dibilang terlalu konservatif tradisi membawa makanan dengan bertahlil di kuburan, namun tidak membuat sejumlah masyarakat pupus. Terutama kalangan kelompok yang masih mempercayai tradisi sarwaan.

Tokoh masyarakat Ahmad Marul Saleh mengatakan tradisi sarwaan kian tahun makin menyusut. Bahkan mulai tak diminati masyarakat. Hal tersebut bisa dilihat dari jumlah orang yang hadir.

"Kalau dulu, sarwaan bisa dilakukan pada malam hari sebahis salat isya. Warga yang datang jumlahnya tak dapat dihitung. Bahkan bisa memadati kompleks pemakaman," kata Ahmad Marul.

Ia ingat pada masanya belum ada lampu listrik, warga bergotong-royong membuat damar menggunakan bambu kemudian dibuat jadi obor. Obor diletakkan di setiap sudut atau per pojok kuburan. Ketika dinyalakan, terangnya kuburan dipenuhi pelita api.

"Jika sudah diketahui sarwaan bakal digelar pada malam hari, siangnya warga sudah mempersiapkan alat penerang. Kalau belum ada lampu listrik, bisa menggunakan obor," ujarnya.

Akan tetapi, kata dia, seiring bergesernya waktu, sarwaan pernah dilakukan malam hari dengan menggunakan lampu listrik. Tahun tersebut diperkirakan antara 2001-2005.

Meski demikian, ia memaklumi makin berkurang jumlah warga yang hadir pada tradisi sarwaan. Penyebabnya bisa jadi kerabat leluhurnya tidak menetap di lingkungan, merantau ke daerah lain.

Sarwaan MaduraJemaah wanita bersiap pulang setelah acara tradisi sarwaan di Dusun Karang Tengah, Desa Dempo Barat, Kecamatan Pasean, Kabupaten Pamekasan, Minggu, 10 November 2019. (Foto: Tagar/Nurus Solehen)

Hikmah Tahlilan di Kuburan

Tahlilan di kuburan atau sarwaan bagi orang Madura, memiliki banyak hikmah. Meski tradisi ini kerap menimbulkan polemik hukum yang berseberangan, namun ada sisi lain yang dapat dipahami masyarakat.

Tokoh masyarakat sekaligus seorang ustaz, Abdul Munif Rosadi, mengatakan tahlilan di kuburan, pertama akan mengingatkan akhirat dan kematian. Sehingga dapat memberikan pelajaran dan ibrah bagi orang yang berziarah.

"Dan itu semua tentu akan memberikan dampak positif dalam kehidupan, mewariskan sikap zuhud terhadap dunia dan materi," kata Abdul Munif.

Kedua, mendoakan keselamatan orang-orang yang telah meninggal dunia dan memohonkan ampunan untuk mereka.

"Termasuk mengamalkan dan menghidupkan sunnah yang telah diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya," tuturnya.

Keempat, untuk mendapatkan pahala dan balasan kebaikan dari Allah dengan ziarah kubur yang dilakukan.

Menurutnya, hikmah ziarah kubur ini juga tertuang dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, Rasulullah SAW, dalam sabdanya yang artinya, ”Dulu aku melarang kalian semua berziarah kubur, maka sekarang ziarahilah ia.”

Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Karena sesungguhnya ia mengingatkan kepada kematian." Dan dalam riwayat At-Tirmidzi, “Karena sesungguhnya ia mengingatkan kepada akhirat." [] 

Baca cerita lain:

Berita terkait
Misteri Makam Keramat Syeh Rako di Pandeglang Banten
Makam itu berada di antara dua pohon besar berusia lebih dari 300 tahun di Desa Pagerbatu, Kecamatan Majasari, Kabupaten Pandeglang, Banten.
Masjid di Atas Kuburan
Masjid itu konon dibangun di atas kuburan, sangat ramai dikunjungi hingga saat ini, dan tidak banyak yang tahu ternyata ada banyak misteri di sana.
Menara Saidah dan Cerita Kuburan di Bawahnya
Menara Saidah, yang disebut-sebut berhantu itu, menurut warga sekitar dibangun di atas kuburan. Pengakuan bekas satpam dan ketua RT setempat.
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.