Jakarta - Deklarator Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Gatot Nurmantyo mengatakan di samping niat mulia Presiden Joko Widodo atau Jokowi membuat Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja, masih ada tata cara pelaksanaan yang masih kurang baik.
Gatot menerangkan, yang menjadi permasalahan, kata dia, di mana sekitar 79 UU dijadikan satu, kemudian 1244 pasal terdiri dalam dari 812 halaman, hingga proses pensahannya yang dilakukan secara terburu-buru.
Justru inilah yang membuat kegaduhan berdasarkan analisa dari berbagai guru-guru besar di perguruan
"Imajinasi saya waktu itu, yang dijadikan satu ini bukan UU. Karena UU yang 79 itu dijadikan satu, pasti akan ada masalah baru. Prosesnya seperti siluman. Tengah malam diadakan. Yang dikatakan siluman itu tidak transparan, tidak jelas gitu kan. Kalau manusia kan kelihatan jelas. Ini menimbulkan pertanyaan," kata Gatot di kanal YouTube Refly Harun, dikutip Tagar, Kamis, 15 Oktober 2020.
Dia menjelaskan, Presiden Jokowi sempat menyebut agar tidak ada kegaduhan di perihal Omnibus Law. Sementara menurutnya, DPR sendiri membuat masyarakat marah lantaran mensahkan UU Ciptaker secara diam-diam.
"Presiden sehari atau dua hari sebelumnya mengatakan dalam kondisi seperti ini jangan buat kegaduhan, tapi DPR sendiri (mensahkan UU Ciptaker diam-diam). Justru inilah yang membuat kegaduhan berdasarkan analisa dari berbagai guru-guru besar di perguruan," kata dia.
Dia menegaskan, munculnya UU Ciptaker tidak boleh menjadi berat sebelah antara pengusaha dan buruh. Pendapatnya, UU ini harus berjalan dengan seimbang.
"Inilah yang harus arif dan bijaksana dalam UU yang ada ini mengakomodasi semuanya berjalan seimbang. Tetapi intinya, semua ini akan menjadi ada kepastian dan menjadi efisien," kata dia.
- Baca juga: Gatot Nurmantyo Akui Tujuan Mulia Jokowi Buat UU Cipta Kerja
- Baca juga: Fahri Hamzah Sempat Sarankan Jokowi Tak Buat UU Cipta Kerja
"Jadikan buruh itu adalah representatif dari rakyat Indonesia, dan mayoritas, dan gajinya rendah. Janganlah dibuat susah lagi. Inilah yang menjadi persepsi, belum yang lain-lainnya lagi," ucap Gatot menambahkan.[]