Shalfa Avrila Siani dan Mereka yang Didiskualifikasi

Dalam pelukan ibunda, air mata Shalfa Avrila Siani mengalir deras. Tuduhan tidak perawan terlalu menyakitkan. Ini kisah mereka serupa Shalfa.
Shalfa Avrila Siani (kanan) bersama ibunda, Ayu Kurniawati. (Foto: Radar Cirebon)

Jakarta - Shalfa Avrila Siani tak kuasa menahan air mata saat bertemu sang ibu, Ayu Kurniawati, di kediamannya di kawasan Lirboyo, Kota Kediri, Jawa Timur. Cucurannya makin deras saat sang ibu memeluknya. Sesekali Ayu menghapus air mata yang membasahi wajah anak sulungnya itu.

Siang itu, Sabtu, 30 November 2019, kepada sang ibu, Shalfa meminta maaf karena tidak bisa membela tim nasional senam Indonesia dalam ajang SEA Games 2019. 

“Saya meminta maaf kepada orang tua saya karena merasa sangat terpukul dengan adanya berita seperti itu,” ucap Shalfa.

Shalfa dipulangkan secara paksa, didiskualifikasi karena isu keperawanan dan indisipliner. 

Mendengar permohonan maaf anaknya itu, Ayu kembali menangis. Impian Shalfa tampil dalam ajang olahraga ASEAN itu harus dikubur dalam-dalam. Tuduhan itu tak hanya membuatnya terkejut dan terpukul, tapi juga membuat malu keluarga besar.

“Saya masih perawan. Saya tidak pernah berbuat hal yang dilarang agama," kata Shalfa dalam pelukan sang ibu.

Tak terima tudingan itu, orang tua Shalfa melakukan visum atau tes keperawanan di Rumah Sakit Bhayangkara, Kediri, Jawa Timur. Hasil medis membuktikan Shalfa masih virgin alias perawan. Selaput darahnya masih utuh dan tidak mengalami sobek sedikit pun. Keluarga berencana membawa kasus ini ke jalur hukum.

Saya merasa sangat terpukul dengan adanya berita seperti itu.

Kasus keperwanan ini bermula saat keluarga atlet peraih 49 medali itu dihubungi pelatih Shalfa pada tengah malam. Mereka meminta agar pihak keluarga segera menjemput Shalfa. Alasannya, siswi kelas 12 SMA Kobomas, Gresik, kerap pulang malam dan berpacaran. Bahkan Shalfa disebut tak perawan. Namun, ketika pemulangan Shalfa, tim pelatih tak menyerahkan surat keterangan atau hasil tim medis apa pun.

Soal keperawanan ini diketahui setelah Shalfa diinterogasi dua pelatihnya, Retno dan Irma. Ketika itu, Shalfa tengah menjalani vaksinasi polio bagi para atlet senam di Pusdiklat Persani, Gresik, Jawa Timur. Ia ditanyai tentang hubungan asmaranya dengan seorang pria. Shalfa tak mengingkari hal itu.

Akan tetapi, Shalfa mengaku hubungan itu masih dalam batas normal. Kemudian Irma melaporkan persoalan itu ke pelatih kepala, Indra Sibarani. Irma menjelaskan, Shalfa sudah memiliki kekasih dan tak perawan. 

Gubernur JatimAtlet senam artistik Shalfa Avrila Siani mendapat simpati dari Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa di Gedung Grahadi Surabaya, Senin 2 Desember 2019. (Foto: Dok Tagar/)

“Dia ngomong SA sudah dites, tidak perawan. Padahal anaknya belum dites, cuma diinterogasi, dia menyimpulkan begitu,” kata Ayu seperti diberitakan Antara.

Sebetulnya, tidak ada standar nasional maupun internasional terkait keperawanan atlet. Seorang atlet masih perawan atau tidak bukan menjadi sebuah standar. Sebab, jika dilihat beberapa atlet dari Indonesia sudah ada yang menikah. Bahkan, di level internasional, banyak atlet yang sudah memiliki anak.

Karena itu, keperawanan tak bisa digunakan untuk mendiskualifikasi atlet, bahkan dijadikan sebagai standar. Apalagi, untuk menilai seseorang masih perawan atau tidak, tidak bisa hanya dilihat dari bentuk tubuh atau tampilan fisik semata.

Akan tetapi, ada beberapa hal yang dapat membuat atlet didiskualifikasi atau mendapat sanksi. Mulai dari masalah indisipliner meliputi kerap pulang malam saat di asrama, terlibat obat-obaan terlarang atau minuman keras, dan perbuatan asusila, melakukan doping, bermain curang, hingga atribut atau pakaian yang dikenakan saat bertanding.

Shalfa bukan satu-satunya atlet yang pernah mengalami hal pahit didiskualifikasi. Sebelum Shalfa, beberapa atlet wanita Indonesia maupun luar negeri pernah mengalaminya. Hanya saja kasusnya berbeda. 

Voni Noviana

Voni NovianaOrang tua atlet Voni Noviana, Suwarto (47), menunjukkan kartu keluarga (KK) menunjukkan anaknya terlahir sebagai perempuan. (Foto: Antara/Syaiful Arif)

Voni Noviana, atlet lari asal Jombang, Jawa Timur, pada 2011 gagal meraih medali emas karena jenis kelaminnya sebagai wanita diragukan.

Keraguan mengenai status gender Voni bermula saat dirinya berhasil lari lebih cepat dibanding atlet lari wanita lain. Ditambah lagi, penampilan fisiknya yang berbeda dengan wanita pada umumnya. Ia memiliki ciri-ciri fisik pria, seperti memiliki jakun, bersuara besar atau ngebass, serta berdada rata. Namun, di sisi lain, Voni tampak seperti wanita.

Misalnya, memiliki rambut yang panjang hingga sebahu dan sikapnya yang pemalu. Voni didiskualifikasi karena menolak pemeriksaan kelamin oleh pihak medis. Ia lebih memilih keluar lapangan sambil menangis ketimbang menuruti permintaan pihak panitia.

Hanya berselang tiga jam, medali emas yang sempat dikalungkan di leher Voni mau tak mau beralih ke Abreilla Jayanti yang semula duduk di posisi runner up. Hingga saat ini, belum diketahui pasti status gender Voni. Sejak peristiwa memilukan itu, Voni kabarnya sangat terpukul dan malu. Akibatnya, ia lebih memilih mengurung diri di kamarnya.

Aprilia Manganang

Aprilia ManganangAprilia Manganang. (Foto: klikdokter.com)

Soal keraguan gender, atlet voli Aprilia Manganang juga pernah mengalaminya. Sama dengan Voni, status gender Manganang sempat diragukan karena dirinya memiliki kemampuan bermain lebih dibanding atlet voli wanita lain. Ia memiliki pukulan smash dan lompatan yang sangat kuat.

Tak hanya itu, perawakan atlet berusia 27 tahun itu juga lebih mirip pria dibandingkan wanita, seperti bertubuh kekar dan berotot, berdada rata, serta berwajah ganteng layaknya laki-laki. Lantaran ciri-ciri fisik ini, Manganang kerap mendapat penolakan. Salah satunya, dari tim voli putri Filipina.

Tim voli Negeri Gajah Putih itu enggan bertanding melawan tim voli putri Indonesia sebelum Manganang melakukan tes gender. Atlet asal Sulawesi Utara itu pun tak terhindar dari tes medis demi membuktikan dirinya wanita asli. Beruntung, hasil tes membuktikan dirinya seorang wanita. Manganang pun masih aktif menjadi altet voli putri Indonesia.

Caster Semenya

Caster SemenyaCaster Semenya. (Foto: Los Angeles Times)

Di luar negeri, ada pelari asal Afrika Selatan, Caster Semenya, juga mengalami hal serupa. Status gendernya diragukan. Semenya berhasil meraih medali emas di cabang lari 800 meter putri dalam World Championship 2009 di Berlin, Jerman, dengan catatan waktu 1:55,45. Sayangnya, catatan waktu yang mengagumkan itu menimbulkan kontroversi tentang jenis kelaminnya. Akan tetapi, The International Association of Athletics Federations menegaskan Semenya adalah wanita walau hasil tes itu tak pernah dipublikasikan karena alasan privasi.

Kondisi yang dialami Voni, Manganang, dan Semenya merupakan kondisi fisik alamiah yang dapat terjadi pada setiap wanita. Hanya saja, kondisi yang muncul bisa berbeda satu sama lain. Kondisi ini juga dipengaruhi banyak faktor, antara lain hormon testosteron atau hormon pria yang lebih besar dibanding hormon esterogen atau hormon wanita. Selain itu, latihan fisik yang kerap dilakukan para atlet dan sudah dijalani selama bertahun-tahun. Tak heran, bentuk tubuh atau perawakannya tampak seperti pria.

Miftahul Jannah

Atlet Judo DidiskualifikasiPejudo putri Indonesia Miftahul Jannah meninggalkan arena usai didiskualifikasi dari pertandingan kelas 52 kg blind judo Asian Para Games 2018 di Jiexpo Kemayoran, Jakarta, Senin (8/10). Pejudo asal Aceh itu didiskualifikasi karena tidak mau melepas jilbabnya saat bertanding. (Foto: Antara/Bola.com/M Iqbal Ichsan)

Selain isu keperawanan dan gender, isu atribut atau pakaian juga pernah membuat atlet didiskualifikasi. Seperti dialami Atlet judo tunanetra Indonesia, Miftahul Jannah, dalam ajang Asian Para Games 2018. Ia didiskualifikasi wasit karena enggan mengikuti peraturan melepas hijab saat pertandingan.

Wasit beralasan penggunaan jilbab ini mengacu pada Federasi Judo internasional (IJF) yang melarang pemakaian penutup kepala seperti jilbab. Sebab, hal ini dinilai bisa membahayakan atlet judo, seperti dapat mengakibatkan leher tercekik atau cedera lainnya di bagian kepala.

Kondisi ini juga berpotensi dapat dimanfaatkan pihak lawan untuk mencekik leher yang dapat berakibat fatal bagi sang atlet. Meski demikian, atlet kelahiran Aceh Besar, Aceh, itu tak kecewa dengan keputusan wasit. Sebab, ia sudah mengetahui regulasi tersebut, tapi berusaha mendobraknya.

“Rasa menyesal tidak ada karena itu pendirian Miftah. Dari awal, Miftah sudah tahu,” ujar atlet judo kelas 52 kilogram tersebut dalam konferensi pers di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, tak lama setelah kejadian tersebut. [] 

*Diolah dari berbagai sumber

Baca cerita lain:

Berita terkait
KONI Jatim Kirim Psikolog Dampingi Psikologi Shalfa
Psikolog Badan Sport Science (BSS) KONI Jatim, Rahardian pendampingan psikis terhadap Shalfa diberikan untuk memberikan sugesti positif.
Khofifah: Shalfa Trauma Berat Butuh Terapi Psikologi
Tuduhan terhadap Shalfa Avrila Siani dicoret karena tidak perawan memberikan tekanan psikis dan trauma berat.
Wali Kota Kediri Dukung Keluarga Shalfa Lapor Hukum
Wali Kota Kediri Abdullah Abu Bakar mendukung langkah orang tua Shalfa untuk menempuh jalur hukum karena isu tidak perawan.
0
Penduduk Asli Pertama Amerika Jadi Bendahara Negara AS
Niat Presiden Joe Biden untuk menunjuk Marilynn “Lynn” Malerba sebagai bendahara negara, yang pertama dalam sejarah Amerika Serikat (AS)