Seandainya FPI Dibubarkan

Manajer Program Wahid Foundation Alamsyah M. Dja'far berandai-andai Front Pembela Islam (FPI) dibubarkan.
Ilustrasi FPI. (foto: dok. Tagar)

Jakarta - Manajer Program Wahid Foundation Alamsyah M. Dja'far mengatakan, seandainya Front Pembela Islam (FPI) dibubarkan, pemerintah harus bisa membuktikan pelanggaran organisasi kemasyarakatan (ormas) ini di dalam Undang-Undang.

Sementara itu, Peneliti LIPI Wasisto Raharjo Jati memandang pemerintah Jokowi perlu bersikap hati-hati dalam membubarkan ormas FPI, yang menurutnya jadi segi dilematis.

Tidak sedikit dari masyarakat mencap ormas yang bermarkas di Petamburan itu acap kali berbuat onar, radikal, bahkan kentara ribut mencampuri politik.

"Satu sisi FPI itu digunakan sebagai tukang gebuk. Tetapi satu sisi menyebarkan virus intoleran," kata Wasisto melalui pesan singkat kepada Tagar, Jumat, 21 Juni 2019.

Menurut Wasis, sapaannya, ormas yang dipimpin oleh Rizieq Shihab itu masih dibutuhkan sebagai kaki tangan aparat dalam upaya melaksanakan ketertiban umum. 

Namun di saat bersamaan FPI juga harus dikurangi intensitasnya karena menyebarkan intoleransi umat muslim.

Terdapat sejumlah organisasi Islam besar di Indonesia. Sebut saja Nadhlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan FPI termasuk di dalamnya. Meski nama terakhir baru mendeklarasikan kelahiran pasca Orde Baru, namun militansi serta jumlah anggotanya untuk saat ini tergolong tidak sedikit.

Pria kelahiran Yogyakarta, 29 tahun silam ini menegaskan, secara prinsip FPI sangat berbeda dengan NU maupun Muhammadiyah. 

"FPI lebih pada gerakan salafi yang tujuannya pemurnian agama," kata Sarjana Ilmu Politik Jurusan Politik dan Pemerintahan Universitas Gajah Mada (UGM) itu.

Dalam catatan Wasis, ormas terbesar Islam itu didirikan berdasar prinsip amar ma'ruf nahi munkar yang maksudnya ialah sebuah perintah untuk mengajak atau menganjurkan hal-hal yang baik dan mencegah hal-hal yang buruk bagi masyarakat, namun bisa berkamuflase.

Pasca orde baru runtuh. Tapi lama-lama jadi gerakan Islam politik. Saya pikir FPI ini cerdik dalam melihat posisinya yang abu abu.

Sebagaimana diketahui, izin ormas FPI sudah kedaluwarsa. Masa berlaku Surat Keterangan Terdaftar (SKT) terhitung sejak 20 Juni 2014 hingga 20 Juni 2019.

Wasis menjelaskan, di dalam salah satu syarat perpanjangan SKT terdapat poin Anggaran Dasar (AD) atau peraturan dasar ormas dan Anggaran Rumah Tangga (ART). Tentu saja ormas yang dikomandoi oleh Rizieq Shihab itu tidak boleh membangkang pada ketetapan Pancasila dan UUD 1945.

"Namun kemudian berbeda di level implementasinya," kata dia.

Bilamana pemerintah mengambil keputusan tegas dengan membubarkannya, Wasis menyatakan, saat ini bukanlah waktu yang tepat. "Responsnya akan langsung meledak," ucap dia.

Wasis melanjutkan, sebaiknya diakomodir terlebih dahulu oleh pemerintah. Seperti halnya Jokowi mengangkat Ali Mochtar Ngabalin dan Yusril Ihza Mahendra di dalam pemerintahan.

"Karena lebih baik dirangkul dan dikendalikan, apabila dibiarkan saja tetap membuat onar," ucapnya.

Keberanian Merujuk pada Ketentuan Undang-undang

Secara terpisah, Manajer Program Wahid Foundation Alamsyah M. Dja'far mengatakan, di Indonesia terdapat regulasi untuk membubarkan hak berkumpul dan berserikat yang telah diatur dalam Undang-undang (UU).

Dalam pantauan Tagar, DPR lewat paripurna sudah mengesahkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang ormas menjadi UU. Ketentuan yang diatur dalam Perppu ormas yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tahun 2017 lalu, memperluas larangan untuk ormas bertindak di luar UU.

Ketentuan Pasal 59 poin 3 huruf (c) disebutkan, ormas dilarang melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial.

Kemudian, dalam poin 4 huruf (c) secara jelas berbunyi, ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.

Seandainya FPI dibubarkan, Alamsyah melanjutkan, maka pemerintah harus bisa membuktikan ormas yang dimaksud apakah telah melanggar prinsip dan ketentuan yang termaktub di dalam UU tersebut.

"Kalau merujuk undang-undang berdasarkan perubahan yang baru, kan berarti pemerintah kemudian dapat mengajukan pembubaran melalui pengadilan. Jadi itu mekanisme yang ada," jelasnya.

Memang pada prinsipnya, menurut Alamsyah, hak untuk berorganisasi adalah hak dasar yang sudah dijamin oleh UUD.

"Kalau orang ingin membubarkan. Dia (pemerintah) harus bisa membuktikan. Apakah FPI secara organisatoris melanggar undang-undang atau tidak," ujar dia saat dikonfirmasi Tagar, Minggu 23 Juni 2019.

Alamsyah memandang, petisi pembubaran FPI yang terdapat dalam laman change.org, guna mendorong Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo untuk membubarkan ormas yang bermasalah adalah hal yang wajar. Menurutnya, yang terpenting adalah pembuktian pada persidangan.

"Sebagai satu pernyataan sikap atau aspirasi masyarakat boleh saja mengatakan pembubaran. Tetapi yang harus dilakukan adalah pengadilan bisa membuktikan apakah suatu organisasi itu melanggar atau tidak kalau pembubaran," tuturnya.

Alamsyah menyatakan, apabila ormas yang bermarkas di Petamburan, Jakarta, dibubarkan tanpa alasan yang jelas, bisa menimbulkan kemarahan dari para anggotanya. Namun apabila anggota FPI tak menerima keputusan pemerintah kemudian bertindak anarkis, langkah terbaik adalah menjerat dengan ketentuan pidana yang berlaku pada UU.

"Bisa terjadi (rusuh). Tetapi hukum harus ditegakkan. Kalau orang-orang FPI marah, melakukan tindakan kekerasan, maka pemerintah harus ambil tindakan. Itu dua hal yang terpisah," jelasnya.

"Yang menjadi ujian pemerintah adalah, apakah pemerintah dapat memiliki bukti yang cukup. Sehingga dapat memutuskan FPI diperpanjang atau tidak. Jadi bukan karena tekanan massa. Tetapi harus berdasarkan bukti dan undang-undang ormas yang sudah diterapkan," papar dia.

Alamsyah tak memungkiri, FPI masih memiliki harapan untuk memperpanjang izin berorganisasi asalkan tidak menolak Pancasila dan secara organisatoris tidak melakukan tindakan kekerasan.

"Kalau tidak punya bukti yang kuat, pemerintah harus siap-siap mengadu argumen di pengadilan tata usaha (PTUN), itu semisal pemerintah tidak memperpanjang pasti FPI bisa mengajukan proses hukum minimal ke PTUN mengapa ormasnya tidak diperpanjang," jelas dia.

"Seandainya pemerintah kalah di PTUN, akan memalukan pemerintah sendiri. Semestinya saat ini pemerintah sudah punya bukti-bukti yang cukup," kata Alamsyah. []

Baca juga:

Berita terkait
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.