Jember - Orang tua murid di Jember mengungkap adanya dugaan manipulasi data dalam pembuatan surat keterangan domisili (SKD) di proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tingkat SMA. Ada SKD yang mengklaim ruko, rumah makan dan indekos sebagai tempat tinggal calon siswa baru.
Belasan orang tua dan wali murid yang menamakan Komunitas Peduli Pendidikan Anak (KPPA), Kamis, 2 Juli 2020, mendatangi gedung DPRD Jember. Mereka mengadukan dugaan manipulasi data domisili dalam PPDB SMA.
Maksud dan tujuan dari sistem zonasi ini kan untuk pemerataan akses pendidikan.
Dalam hearing atau dengar pendapat dengan Komisi D DPRD Jember, mereka mendesak agar anggota Dewan mendorong Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur cabang Jember, untuk membuka data zonasi PPDB terkait SKD.
Transparansi ini juga menyangkut keterbukaan pihak RT/RW hingga kelurahan sekitar SMA yang telah mengeluarkan SKD.
“Sebenarnya kami sudah punya bukti kuat tentang manipulasi data domisili tersebut, tetapi apakah Dinas Pendidikan dan Bakorwil serta pihak sekolah berani membuka hal tersebut," kata Ketua KPPA David K Susilo.
Jika ditemukan bukti adanya manipulasi SKD, para wali murid tersebut mendesak agar dilakukan penindakan tegas melalui jalur hukum. Sebab, KPPA menilai modus manipulasi SKD yang diduga dilakukan sebagian wali murid tersebut telah mencederai tujuan dari diberlakukannya sistem zonasi PPDB.
“Maksud dan tujuan dari sistem zonasi ini kan untuk pemerataan akses pendidikan. Bukan yang jauh mendekat, yang dekat dijauhkan,” ujar pria yang juga dosen di Unej dan IKIP PGRI Jember ini.
Dalam penelusurannya, David menemukan indikasi adanya sejumlah wali murid yang mengurus SKD ke RT/RW dan Kelurahan. Tujuannya agar anaknya tercatat berdomisili lebih dekat dengan sekolah negeri yang dituju. Padahal, setelah dicek, alamat yang digunakan dalam SKD tersebut ternyata adalah ruko, rumah makan ataupun indekos.
Modus manipulasi SKD ini telah membuat sejumlah wali murid yang sebenarnya berdomisili lebih dekat dengan sekolah negeri yang dituju, menjadi tergeser.
Mereka yang tergeser tersebut, mendaftar ke sekolah negeri yang dituju menggunakan dokumen Kartu Keluarga (KK). Padahal, anak yang tergeser tersebut, sudah bertahun-tahun tinggal di dekat sekolah negeri yang ingin dituju.
“Saya sendiri mengalami, anak saya menjadi korban. Kalau saya mau, saya bisa dengan mudah menggunakan SKD, karena rumah dinas saya hanya berjarak 10 meter dari sekolah negeri yang akan anak saya tuju. Tetapi saya tidak mau melakukan itu. Saya ingin menanamkan praktik kejujuran kepada anak saya,” ucap David.
Penelusuran yang dilakukan oleh KPPA tersebut juga menemukan, modus pemalsuan SKD ini telah berdampak buruk pada psikologis anak. Selain mengajarkan ketidakjujuran, KPPA menemukan beberapa kasus praktik bullying serta kecemburuan sosial akibat manipulasi SKD demi diterima di sekolah negeri.
“Bullying terjadi antaranak yang menggunakan SKD dengan yang menggunakan KK. Para orang tua yang yang merasa terpojok karena manipulasi juga terlibat bullying,” tuturnya.
Selain merampas hak anak yang sebenarnya tinggal lebih dekat dengan sekolah, David juga khawatir karut marutnya PPDB akibat manipulasi data domisili ini bisa berdampak panjang terhadap psikologis anak yang menjadi korban.
“Dampak sakit hati kepada anak ini bisa berkepanjangan. Mereka yang merasa tergeser, akan selalu ingat. Bahwa tahun ini, haknya dirampas oleh anak lain yang menggunakan SKD. Anak yang terlempar ini padahal domisilinya lebih dekat dengan sekolah yang akan dituju,” kata dia.
Ketua Komisi D DPRD Jember Hafidi berjanji akan segera menindaklanjuti aduan KPPA. “Kami akan rapatkan dengan Komisi A dan berkoordinasi dengan instansi terkait,” ujar politikus PKB tersebut. []
Baca juga:
- PPDB Jawa Tengah, Ribuan SKD Diduga Palsu Dicabut
- Pendaftar Gelap Usai PPDB SMP Semarang Ditutup
- PPDB TK Janggal, Disdik Semarang: Salah Ketik SK