Profil Cak Nun, Sang Budayawan dan Intelektual Islam

Cak Nun salah satu budayawan dan intelektual muslim asal Jombang, Jawa Timur.
Cak Nun salah satu budayawan dan intelektual muslim asal Jombang, Jawa Timur. (Foto: Instagram/santricaknun)

Jakarta - Cak Nun salah satu budayawan dan intelektual muslim asal Jombang, Jawa Timur. Namanya menjadi perbincangan setelah hadir dalam program Cak Nun antara KPK dan Teror, Catatan Najwa di YouTube channel Mata Najwa.

Sosok Cak Nun tak asing lagi bagi para penggiat dunia seni dan budaya. Karena suami dari Novia Kolopaking itu selalu aktif menghasilkan berbagai karya mulai dari puisi, buku, hingga pementasan teater.

Kehidupan dan Pendidikan

Cak Nun bernama lengkap Emha Ainun Nadjib. Pria yang lahir 27 Mei 1953 itu merupakan anak keempat dari 15 bersaudara. 

Awalnya, orangtua Cak Nun tidak memberikan pendidikan agama Islam melalui lembaga pendidikan, karena sekolah dasarnya di SD di Jombang pada 1965.

Mulailah pada sekolah tingkat pertama bersekolah di SMP Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1968. Menginjak SMA, orangtuanya memasukannya ke Pondok Modern Gontor Ponorogo. 

Hanya saja Cak Nun dikeluarkan, karena melakukan demo melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga. Kemudian menamatkan pendidikan di SMA Muhammadiyah I Yogyakarta. 

Setelah lulus, Cak Nun sempat satu semester mencicipi bangku kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM).

Minatnya dalam bidang seni dan budaya tak terbendung. Cak Nun mulai belajar sastra pada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius, di Malioboro, Yogyakarta antara 1970-1975.

Perjalanan Karir

Sambil menyelam minum air, pada 1970 Cak Nun belajar sastra sambil menjadi Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta. Kemudian sempat menekuni profesi Wartawan di harian Masa Kini, Yogyakarta pada 1973-1976, sebelum akhirnya mejadi pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta).

Cak Nun aktif ikut berbagai festival dan lokakarya puisi dan teater. Di antaranya lokakarya teater di Filipina pada 1980, International Writing Program di Universitas Iowa AS pada 1984, Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman pada 1985.

Selain aktif di dunia teater, juga aktif menulis, menjadi narasumber pengajian bulanan dengan komunitas Masyarakat Padang Bulan di berbagai daerah, dan memimpin kelompok musik arahannya, Musik KiaiKanjeng. Kelompok musik yang membawakan lagu-lagu sholawat nabi dan syair-syair religius yang bertema dakwah.

Bukan hanya di Indonesia, Cak Nun dan KiaiKanjeng sudah menginjakkan kaki di Inggris, Skotlandia, Jerman, Italia, Belanda. 

Berbalut busana serba putih, Cak Nun dan KiaiKanjeng berhasil menyihir penonton dari berbagai belahan dunia dengan salawat yang diiringi musik gamelan kontemporer.

"Tidak ada lagu Kristen, tidak ada lagu Islam. Saya bukan bernyanyi, saya bersalawat," ujarnya usai Pagelaran Al Quran dan Merah Putih Cinta Negeriku di Masjid Cut Meutia, Jakarta, Sabtu 14 November 2006.

Kajian Islam

Cak Nun memadukan kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi ekonomi untuk menumbuhkan potensi rakyat. Di samping aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padhang Bulan, ada agenda berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, rata-rata 10 sampai 15 kali per bulan bersama Gamelan Kiai Kanjeng.

Salah satu forum silaturahmi budaya dan kemanusiaan yang dikemas sangat terbuka, nonpartisan, ringan dan dibalut dalam gelar kesenian lintas gender adalah Kenduri Cinta. Forum yang diadakan sejak 1990 itu dilaksanakan secara rutin sebulan sekali di Taman Ismail Marzuki.

Teater

Sebagai Budayawan, Cak Nun aktif dalam dunia teater. Pertama kali, Teater Dinasti dipilihnya untuk berkarya. Disana, Cak Nun menghasilkan repertoar serta pementasan drama dari 1989 di antaranya Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan 'Raja' Soeharto), Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan), Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern), dan Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).

Kemudian, di Teater Salahudin, Cak Nun mementaskan karya Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun), Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar), Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).

Pada 1992,  pria yang dikenal sebagai budayawan itu mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, serta Duta Dari Masa Depan.

Lalu, pada 2012 Cak Nun mementaskan teater Tikungan Iblis yang diadakan di Yogyakarta dan Jakarta bersama Teater Dinasti, Teater Nabi Darurat Rasul AdHoc, bersama Teater Perdikan dan Letto yang menggambarkan betapa rusaknya manusia Indonesia sehingga hanya manusia sekelas Nabi yang bisa membenahinya.

Penghargaan

Pada Maret 2011, Penghargaan Satyalancana Kebudayaan 2010 diberikan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhyonono pada Cak Nun. Penghargaan yang diberikan kepada seseorang yang memiliki jasa besar di bidang kebudayaan dan mampu melestarikan kebudayaan daerah atau nasional serta hasil karyanya berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara.

Kehidupan Keluarga

Kisah sukses Cak Nun di bidang seni dan budaya tak lepas dari kehidupan percintaannya. Ia diketahui pernah menikah dengan Neneng Suryaningsih dan memiliki seorang putra bernama Sabrang Mowo Damar Panuluh atau akrab disapa Noe, vokalis band Letto.

Kandas pada pernikahan pertama, Cak Nun kemudian menikah lagi secara resmi, dengan Novia Sanganingrum Saptarea Kolopaking pada 22 Maret 1997, didampingi Kepala KUA Tambelang, Bapak Djazuli, di rumah Kades Tampingmojo, Jombang. 

Karya Puisi

"M" Frustasi (1976)

Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978)

Sajak-Sajak Cinta (1978)

Nyanyian Gelandangan (1982)

99 Untuk Tuhanku (1983)

Suluk Pesisiran (1989)

Lautan Jilbab (1989)

Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990)

Cahaya Maha Cahaya (1991)

Sesobek Buku Harian Indonesia (1993)

Abacadabra (1994)

Syair-syair Asmaul Husna (1994)

Baca juga:

Berita terkait
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.