Profil Emha Ainun Nadjib, Penyair Berbahasa Universal

Muhammad Ainun Nadjib akrab disapa Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun. Pada 27 Mei 2020 ini ia genap berusia 67 tahun. Ini profil perjalanan hidupnya.
Budayawan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun. (Foto: Instagram/santricaknun)

Jakarta - Muhammad Ainun Nadjib akrab disapa Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun. Pada 27 Mei 2020 ini ia genap berusia 67 tahun. Ia terkenal sebagai penyair Indonesia. Bahasa spiritualnya universial hingga bisa diterima semua kalangan. Satu ucapannya yang terkenal adalah, “Tidak apa-apa kalau ilmu agamamu masih pas-pasan, itu malah membuatmu menjadi rendah hati. Banyak orang yang sudah merasa tahu ilmu agama, malah menjadikannya tinggi hati.”

Pada awal kepenyairan, Cak Nun menuliskan namanya dengan MH Ainun Nadjib. Nama tersebut yang kemudian melekat di publik hingga akhirnya ejaannya diubah menjadi Emha, Emha Ainun Nadjib. 

Profil Emha Ainun Nadjib

Ia putra keempat dari 15 bersaudara, lahir di Menturo, Sumobito, Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953 dari pasangan M.A. Lathief dan Halimah. Namanya dikenal sebagai penyair, dramawan, cerpenis, budayawan, mantan pelukis kaligrafi, dan penulis lagu. 

Ayahnya, Muhammad Lathief, merupakan pemimpin lembaga pendidikan yang mengelola TK sampai SMP, namun ia memilih masuk sekolah dasar negeri di desa tetangga karena malu belajar di rumah sendiri. Usai lulus SD, ia melanjutkan pendidikan ke Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo namun tidak sampai lulus.

Tidak apa-apa kalau ilmu agamamu masih pas-pasan, itu malah membuatmu menjadi rendah hati. Banyak orang yang sudah merasa tahu ilmu agama, malah menjadikannya tinggi hati.

Cak NunCak Nun salah satu budayawan dan intelektual muslim asal Jombang, Jawa Timur. (Foto: Instagram/santricaknun)

Emha dikeluarkan dari pesantren karena dituduh menjadi penggerak aksi santri untuk berdemonstrasi menentang para guru. Setelah dikeluarkan dari pesantren, ia terpaksa harus belajar kepada ayahnya sampai memperoleh ijazah SMP, ia melanjutkan pendidikan ke SMA jurusan Paspal (ilmu pasti dan pengetahuan alam) Muhammadiyah I, Yogyakarta

Emha menempuh bangku kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tetapi hanya bertahan selama empat bulan karena pada pertengahan 1974 ayahnya mengalami kecelakaan lalu lintas hingga meninggal. 

Kariernya di dunia profesional yaitu pernah menjadi redaktur kebudayaan harian Masa Kini (sampai 1 Januari 1977) dan memimpin Teater Dinasti, Yogyakarta. Ia juga pernah menjabat Sekretaris Dewan Kesenian Yogyakarta. Selain itu, Emha ikut menangani Yayasan Pengembangan Masyarakat Al-Muhammady di Jombang yang bergerak di bidang pendidikan, sosial ekonomi, dan sosial budaya. 

Dari sinilah ia membentuk "Komunitas Padhang Mbulan" pada awal tahun 1995 sebagai kelompok pengajar. Ia juga berkiprah dalam Yayasan Ababil di Yogyakarta yang menyediakan tenaga advokasi pengembangan masyarakat dan penciptaan tenaga kerja. 

Pada tahun 1978 ia menikah dengan Neneng Suryaningsih, seorang penari berasal dari Lampung. Keduanya saling menganal ketika sama-sama terjun di Teater Dinasti, Yogyakarta. Tahun 1979 mereka dikaruniai anak laki-laki yang dinamai Sabrang Mawa Damar Panuluh. Namun perkawinan mereka akhirnya bercerai. Tahun 1995 Emha menikah dengan Novia Kolopaking. 

Fokus di Dunia Penulisan

Ketertarikannya pada dunia penulisan, terutama puisi dan esai, dimulai sejak meninggalkan pondok pesantren Gontor dan melanjutkan pendidikan di SMA Muhammadiyah I. Tulisannya tersebar di majalah Tempo, Basis, Horison, Tifa Sastra, Mimbar, Pandji Masjarakat, Budaja Djaja, Dewan Sastera (Malaysia), dan Zaman. Selain itu, karyanya juga tersebar di surat kabar Republika, Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana, Kedaulatan Rakyat, Berita Nasional, Masa Kini, Berita Yudha, Haluan, Suara Karya, Suara Pembaharuan, dan Surabaya Post. 

Cak Nun keluargaPada 22 Maret 1997 Cak Nun menikah dengan Novia Sanganingrum Saptarea Kolopaking dan dikaruniai empat anak yaitu Ainayya Al-Fatihah (Alm.), Aqiela Fadia Haya, Jembar Tahta Aunillah, Anayallah Rampak Mayesha. (Foto: caknun.com)

Telah banyak tulisannya menghiasi rubrik kolom di berbagai koran dan majalah yang kemudian melahirkan buku kumpulan esai tentang budaya dan sosial. Tahun 1975 ia ikut Festival Puisi 1975 di Jakarta dan diundang dalam Festival Puisi Asean 1978. 

Tidak hanya itu, Emha juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Lowa University, Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984), Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman Barat (1985), serta sejumlah pertemuan sastra dan kebudayaan lain. 

Terakhir ia aktif dalam komunitas Kiai Kanjeng yang mementaskan sejumlah drama di berbagai kota. Pembacaan puisi dan pementasannya pernah dicekal penguasa Orde Baru di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebagai penyair muda, ia bergabung dengan kelompok diskusi dan studi sastra yang dipimpin Umbu Landu Paranggi, Persada Studi Klub (PSK), di bawah Mingguan Pelopor Yogyakarta tahun 1970. 

Awalnya, Emha menulis puisi di harian Masa Kini dan Berita Nasional serta di majalah Muhibbah (terbitan UII Yogyakarta) dan menulis cerpen di Minggu Pagi dan MIDI. Setelah beberapa puisinya dimuat dalam Basis, ia banyak menerbitkan puisinya di media massa terbitan Jakarta, seperti Horison

Karena tidak puas hanya menghasilkan sajak dan cerpen ringan, ia mulai menulis esai, kritik drama, resensi film, dan pembicaraan mengenai pameran lukisan. Dalam tulisan-tulisannya ia menggunakan nama samaran Joko Umbaran atau Kusuma Tedja. []

Penghargaan Emha Ainun Nadjib

Pada Maret 2011, Penghargaan Satyalancana Kebudayaan 2010 diberikan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhyonono kepada Cak Nun. Penghargaan yang diberikan kepada seseorang yang memiliki jasa besar di bidang kebudayaan dan mampu melestarikan kebudayaan daerah atau nasional serta hasil karyanya berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara.

Puisi Karya Emha Ainun Nadjib

  1. "M" Frustasi (1976)
  2. Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978)
  3. Sajak-Sajak Cinta (1978)
  4. Nyanyian Gelandangan (1982)
  5. 99 Untuk Tuhanku (1983)
  6. Suluk Pesisiran (1989)
  7. Lautan Jilbab (1989)
  8. Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990)
  9. Cahaya Maha Cahaya (1991)
  10. Sesobek Buku Harian Indonesia (1993)
  11. Abacadabra (1994)
  12. Syair-syair Asmaul Husna (1994). []

Baca juga:

Berita terkait
Doa Cak Nun untuk Kiai Ma'ruf: Ya Allah Jadikan Malaikat Temani Beliau
Dalam pertemuan di Rumah Maiyah Yogyakarta, Cak Nun mendoakan Kiai Ma'ruf. Berikut ini doa selengkapnya Cak Nun.
Kiai Ma'ruf-Cak Nun, Pelukan Hangat di Rumah Maiyah Minggu Petang
Kiai Ma'ruf - Cak Nun di Rumah Maiyah Yogyakarta, Minggu Petang. Keduanya berpelukan hangat kemudian berbincang tentang pluralisme.
Video: Bershalawat bersama Cak Nun
Merdunya lantunan shalawat dari Cak Nun, diiringi berbagai macam alat musik membuat irama menyentuh hati.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.