Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme dan Overdosis HAM

Langkah Rancangan Peraturan Presiden mengenai pelibatan TNI menatasi terorisme dianggap overdosis HAM oleh aktivis gabungan.
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kiri), Menko Polhukam Mahfud MD (kedua kiri) dan Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto (kanan) di Kantor Kemhan, Jakarta, Kamis 23 Januari 2020. (foto: Antara/M Risyal Hidayat/pras).

Jakarta - Staf Pembelaan Hak Asasi Manusia (HAM) di Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Andi Muhammad Rezaldy mengecam pembahasan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai Pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam Mengatasi Aksi Terorisme. 

Andi mengaku mendapati beberapa berita dan video, yang menerangkan bahwa Komandan Korps Pasukan Khas TNI AU, Komandan Korps Marinir TNI AL, dan Komandan Komando Pasukan Khusus TNI AD menilai rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme sangat penting untuk dibuat.

Langkah-langkah tersebut mengesankan betapa bersikerasnya TNI untuk kembali ikut campur dalam kehidupan sipil

Bahkan, kata dia, TNI juga diduga secara aktif melakukan lobi-lobi di DPR untuk mendukung rancangan Perpres tersebut. Andi memandang langkah politik tersebut menjadi bentuk fait accompli TNI terhadap otoritas sipil. Ia mengingatkan, sebagai alat pertahanan negara, TNI merupakan pelaksana kebijakan negara, bukan membuat kebijakan negara. 

Baca juga: Mahfud Dorong TNI Terlibat Tangani Terorisme

"Sehingga TNI tidak seharusnya menunjukkan sikap politik kepada publik, bahkan diduga melakukan lobi-lobi kepada DPR untuk mengesahkan rancangan Perpres tersebut. Langkah-langkah TNI itu terkesan memaksakan otoritas sipil untuk segera mengesahkan rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme," kata Andi dalam keterangan tertulis yang diterima Tagar, Rabu sore, 3 September 2020.

Padahal, menurut dia, rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme yang telah diserahkan pemerintah kepada DPR masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang berpotensi mengancam hak asasi manusia dan kehidupan berdemokrasi. 

Sementara, Peneliti HAM dan Sektor Keamanan Setara Institute Ikhsan Yosarie menilai Rancangan Perpres tersebut banyak memuat substansi pasal yang bertentangan dengan undang-undang (UU), seperti UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Dia mengkhawatirkan, rancangan Perpres tersebut nantinya memberikan kewenangan yang terlalu luas dan berlebihan kepada TNI, sehingga berpotensi terjadi pelanggaran HAM di kemudian hari. 

"Di tengah urungnya pemerintah merevisi UU Peradilan Militer, tugas TNI yang terlalu luas dan berlebihan berpotensi menimbulkan problem impunitas dan akuntabilitas, mengingat TNI memiliki sistem peradilan sendiri dan tidak tunduk pada sistem peradilan umum," kata Ikhsan.

Baca juga: Jokowi Teken PP Perlindungan WNI, HAM Hingga Terorisme

Dia menekankan, dalam negara demokrasi yang menghormati prinsip supremasi sipil ini, semestinya pembentukan Perpres dan UU sepenuhnya berada di tangan otoritas sipil. Oleh karena itu, kata Ikhsan, sepatutnya TNI tunduk pada kebijakan otoritas sipil dan melaksanakan kebijakan tersebut. 

"TNI tidak seharusnya melakukan langkah-langkah politik yang berupaya mendorong proses pengesahan Perpres. Jika TNI memiliki pandangan terkait Perpres, seharusnya padangan tersebut disampaikan ke dalam pemerintahan, dalam hal ini adalah Kementerian Pertahanan dan bukan disampaikan kepada publik, apalagi diduga sampai melobi ke DPR," ucapnya.

Ikhsan menyebut, fait accompli TNI terhadap pembahasan Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme merupakan bentuk lain dari upaya memengaruhi dan memaksa otoritas sipil untuk mengesahkan rancangan Perpres tersebut. Padahal, kata dia, rancangan Perpres itu masih dalam proses pembahasan antara pemerintah dan DPR. 

"Langkah-langkah politik TNI dalam memengaruhi rancangan Perpres sangat berbahaya bagi kehidupan demokrasi, mengingat TNI memiliki monopoli atas penggunaan senjata dan kekuatan koersif," ujarnya.

Kendati demikian, ia tidak memungkiri pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme memang dimungkinkan, akan tetapi akuntabilitas hukumnya pun harus tunduk pada sistem peradilan pidana umum. 

"Pelibatan militer dimungkinkan untuk menghadapi ancaman terorisme yang sifatnya nyata (imminent threat) di mana ancaman terorisme mengancam kedaulatan negara yang kapasitas penegak hukum sudah tidak bisa lagi mengatasi aksi terorisme (last resort) dengan dasar keputusan politik negara bukan perintah presiden," kata dia.

"Langkah-langkah tersebut mengesankan betapa bersikerasnya TNI untuk kembali ikut campur dalam kehidupan sipil," ucapnya menambahkan.

Dia menegaskan, pelbagai kritikan dalam Rancangan Perpres ini semata, berkaitan dengan upaya menjaga reformasi TNI untuk tetap berada di jalurnya, bukan berbasis overdosis HAM ataupun over supremasi sipil. 

Selain itu, kata dia, kritikan ini juga berkaitan dengan tata kelola yang konstitusional, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta prinsip demokrasi dan HAM.

"Kami meminta kepada otoritas sipil dalam hal ini Presiden dan DPR untuk melakukan kontrol sipil demokratik terhadap TNI dan mengendalikan TNI agar tidak melakukan sikap dan langkah politik dalam mendorong pengesahan Perpres TNI mengatasi aksi terorisme. Sudah semestinya tugas dan fungsi TNI melaksanakan kebijakan pertahanan negara dan bukan membuat kebijakan pertahanan negara," kata Koalisi Aksi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Kontras, Setara, Imparsial, LBH Jakarta, dan HRWG. []

Berita terkait
Keterlibatan TNI Tangani Terorisme dalam UU TNI
Masyarakat Koalisi Sipil harus pahami UU TNI dalam keterlibatan TNI tangani terorisme di Indonesia
Bamsoet Minta Jaringan Terorisme JAD - Islamiyah Diusut
Bamsoet minta Tim Densus 88 Antiteror dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk mengusut tuntas jaringan teroris JAD - Islamiyah.
Kejagung Terbakar, Pakar: Menebar Teror Kena UU Terorisme
Fachrizal Afandi mengatakan, jika terbakarnya gedung Kejaksaan Agung sengaja dilakukan untuk meneror, maka dapat dikenakan UU Terorisme.
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.