Pencetus People Power Bisa Dihukum Pidana?

Wakapolri menyebut gerakan people power tidak sesuai dengan konstitusi dan termasuk dalam gerakan makar.
Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais (tengah) menunjukkan buku berjudul Jokowi People Power saat jeda pemeriksaan untuk Shalat Jumat di Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat 24 Mei 2019. Amien Rais diperiksa sebagai saksi atas kasus dugaan makar dengan tersangka Eggi Sudjana. (Foto: Antara/Aprillio Akbar)

Jakarta - Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Krishnadwipayana Dimas Arya Aziza menanggapi pernyataan Wakapolri Komjen Pol Ari Dono Sukmanto yang menyebut gerakan people power tidak sesuai dengan konstitusi dan termasuk dalam gerakan makar.

Menurut Dimas, telah terjadi pergeseran arti dalam kata people power. Sehingga semua pihak musti menyamakan persepsi terlebih dahulu untuk menilai ada yang salah atau tidak dari  pernyataan Wakapolri.

"People Power secara pengertian kan kekuatan rakyat. Jadi semisal pemilu, atau petisi-petisi online yang selama ini ada, itu bisa disebut sebagai pergerakan kekuatan rakyat atau people power," kata dia kepada Tagar, Kamis 30 Mei 2019.

"Tapi belakangan kan istilah people power kan dipakai untuk pergerakan-pergerakan yang memiliki potensi melanggar hukum. Bahkan menyerempet kepada dugaan percobaan makar, misalnya. Jadi kita mau pakai pengertian people power yang mana?" ujarnya.

Dimas melanjutkan, jika menggunakan pengertian baik, belum ada satupun pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang bisa menjerat pelaku yang menggunakan istilah people power.

Hal tersebut jelas berbeda jika istilah people power yang dimaksud adalah pengertian mengenai usaha membuat kerusuhan di masyarakat, bahkan sebuah usaha penggulingan pemerintahan yang sah, secara inkonstitusional.

yang tepat," kata Dimas."Misalnya, ada ajakan people power untuk tidak percaya kepada pemerintahan yang sah, atau ajakan menolak percaya kepada proses pemilu yang diadakan oleh KPU, nah itu sudah bukan dalam penggunaan kalimat people power yang tepat," kata Dimas.

"Kalau sudah menjurus ke fitnah, penggiringan opini untuk menggulingkan pemerintahan dengan cara di luar konstitusi, ya tentu bisa dijerat dengan KUHP, " ucapnya.

Akademisi yang gemar bermain musik itu mengaku menyayangkan penggunaan istilah baik semisal people power sebagai sebutan untuk hal-hal yang memiliki potensi melanggar hukum. Hal tersebut pada akhirnya hanya membuat masyarakat bingung.

Terjadinya pemerkosaan arti, kata Dimas, juga dikhawatirkan bakal  membunuh sisi kritis dan ekspresif di masyarakat, dan berdampak buruk bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.

"Saya sangat menyayangkan ya, pernyataan-pernyataan dari pihak kepolisian tentang istilah people power ini. Jadi seolah menakut-nakuti kan, bahwa people power bisa dipidana. Harusnya dijelaskan pemaknaan people power yang bagaimana?" katanya.

"Jika tidak, saya khawatir masyarakat jadi takut untuk berekspresi lagi, karena people power pada dasarnya kan hal yang positif," kata Dimas menegaskan.

Diberitakan sebelumnya, Wakapolri Komjen Pol Ari Dono Sukmanto menyebut gerakan people power tidak sesuai dengan konstitusi dan termasuk dalam gerakan makar.

"Jadi Pak Kapolri juga menyampaikan pesan-pesan, bahwa gerakan people power inkonstitusional yang bisa dikategorikan sebagai tindakan makar," kata dia saat menggelar audiensi bersama advokat di Gedung Rupatama Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu 29 Mei 2019.

Gerakan people power yang dimaksud, diduga dalam pengertian sebuah upaya pengerahan massa untuk menggulingkan pemerintahan yang sah, dengan cara yang tidak sesuai dengan konstitusi.

Upaya-upaya tersebut diketahui dapat dijerat dengan Undang-Undang Hukum Pidana pasal 87 KUHP. Terduga pelaku dapat ditangkap atas dugaan kegiatan makar, meski baru berniat maupun baru melaksanakan permulaan seperti tertuang pada pasal 53 KUHP.

Pada pasal 104 KUHP disebut, jenis makar yang bertujuan untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan presiden atau wakil presiden memerintah, terduga pelaku terancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Baca Juga:

Berita terkait