Jakarta - Dalam membahas nasib revisi UU Pemilu, Ihsan Maulana yang merupakan anggota Peneliti Lembaga Konstitusi dan Demokrasi (Kode) meminta DPR RI untuk melibatkan penyelenggara pemilu seperti KPU, Bawaslu, maupun DKPP.
Hal itu kata Ihsan Maulana, agar perdebatan revisi UU Pemilu bukan hanya berkutat pada suara fraksi partai politik di DPR maupun pendapat pemerintah saja.
"Seharusnya DPR tidak hanya bersepakat secara politis saja untuk mereka melanjutkan atau tidak terkait dengan revisi Undang-Undang Pemilu, tetapi juga beban penyelenggara, aspirasi penyelenggara pemilu untuk pelaksanaan pemilu serentak 2024 seharusnya juga diikutsertakan, mereka didengar," ujar Ihsan dalam diskusi daring Maju Mundur Revisi UU Pemilu, Minggu, 7 Februari 2021.
Isu Rancangan Undang (RUU) Pemilu saat ini terjebak pada persoalan klasik, yakni sistem pemilihan, ambang batas, dan jadwal pilkada.
Menurutnya, revisi UU Pemilu bukan hanya mempermasalahkan hal-hal dimaksud. Banyak persoalan lain yang belum dibenahi dan jarang diperhatikan, misalnya kewenangan yang harus dipenuhi para pemangku kebijakan untuk merumuskan badan peradilan khusus.
Apalagi, kata Ihsan Maulana, penyelenggara pemilu menjadi pihak yang sangat terdampak atas pemberlakuan UU Pemilu, di mana beban penyelenggara dalam pelaksanaan pemilu sangat bergantung pada revisi UU Pemilu ini.
Peneliti Lembaga Konstitusi dan Demokrasi Muhammad Ihsan Maulana. (Foto: Tagar/YouTube/Perludem)
Dan juga banyak persoalan terkait penyelenggaraan pemilu yang seharusnya bisa diakomodasi melalui revisi UU Pemilu.
Ihsan Maulana pun meminta agar DPR secara cermat menginventarisasi pasal-pasal yang bermasalah dalam UU Pemilu saat ini dan keputusan mengenai revisi UU Pemilu harus benar-benar tepat.
Baca juga:
- Denny Siregar: UU Pemilu dan Ambyarnya Mimpi Anies Baswedan
- Negrit: Ini Saat Tepat Revisi, UU Pemilu Belum Komprehensif
Dia juga mengingatkan agar alasan merevisi UU Pemilu seharusnya tidak hanya berdasarkan pada alasan politis saja. Dikhawatirkan akan ada banyak masalah terkait penegakan hukum kepemiluan bila badan peradilan khusus, misalnya tidak segera dirumuskan akibat DPR RI enggan merevisi UU Pemilu.
"Nah, ini kan model seperti ini bisa diminimalisir dengan menginventarisir dulu pasal-pasal mana atau hal-hal apa yang berdampak secara langsung ketika mereka tidak akan lakukan RUU Pemilu," ujar Ihsan.
Sebagaimana diketahui, mayoritas fraksi di DPR RI menolak direvisinya UU Pemilu. Sikap mereka ini seturut dengan pemerintah yang juga menyebut belum perlu melakukan revisi UU Pemilu dan menolak Pilkada 2022 dan 2023
Ketujuh fraksi dari sembilan fraksi di DPR RI yang memilih sikap menolak revisi UU Pemilu, yakni F-PDIP, F-Golkar, F-Gerindra, F-NasDem, F-PPP, F-PAN, dan F-PKB.
Sedangkan dua parpol yang setuju dengan revisi UU Pemilu termasuk mendorong Pilkada Serentak 2022 dan 2023 adalah F-Demokrat dan F-PKS.
Diketahui, RUU Pemilu sudah masuk dalam 33 daftar Prolegnas Prioritas di Badan Legislatif DPR RI. Hanya saja RUU Pemilu belum dibawa dalam rapat paripurna apakah akan dibahas selanjutnya atau tidak sama sekali.[Anita]