Negrit: Ini Saat Tepat Revisi, UU Pemilu Belum Komprehensif

Direktur Eksekutif Negrit Ferry Kurnia Rizkiyansyah menilai saat ini merupakan situasi tepat untuk merevisi Undang-Undang Pemilu.
Direktur Eksekutif Network For Democracy and Electoral Integrity (Negrit) Ferry Kurnia Rizkiyansyah. (Foto: Tagar/YouTube Perludem)

Jakarta - Direktur Eksekutif Network For Democracy and Electoral Integrity (Negrit) Ferry Kurnia Rizkiyansyah menilai bahwa saat ini merupakan situasi yang tepat untuk merevisi Undang-Undang Pemilu. UU yang ada saat ini masih menyimpan banyak persoalan.

Menurut Ferry Kurnia Rizkiyansyah yang merupakan eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), revisi terhadap UU Pemilu dilakukan karena belum ditemukannya UU Pemilu yang komprehensif yang mampu menjawab semua tantangan atas berbagai hal terkait kepemiluan.

“Seringnya UU Pemilu mengalami proses perbaikan karena mekanisme yang sudah ditentukan sebelumnya tidak tuntas. Sebab, dalam UU Pemilu sebelumnya hanya berdimensi pada kepentingan saat itu saja,” ujarnya.

Ia menilai dikarenakan mekanisme yang tidak tuntas akan menyebabkan UU Pemilu mengalami kegagalan yang berakibat tidak mampunya mengkoordinasi dan mengakomodasi semua elemen yang berkepentingan dalam pemilu, termasuk banyaknya catatan dari pelaksanaan.

"Jadi tidak mampu mengakomodasi berbagai hal terkait insentif elektoral, baik itu pemilih, penyelenggara, peserta pemilunya, ini menjadi poin penting sekali," kata Ferry saat menjadi pembicara dalam diskusi virtual bertema Maju Mundur Revisi Undang-Undang Pemilu yang difasilitasi Perludem pada Minggu, 7 Februari 2021.

Ferry Kurnia Rizkiyansyah menyarankan agar ke depannya tidak terjadi revisi UU Pemilu lagi, maka UU Pemilu harus dirombak secara keseluruhan dalam berbagai dimensi, baik itu soal sistem, aktor, elektoral prosesnya, electoral justice, dan mekanisme yang muncul di dalamnya dibahas secara tuntas.

Fadli Ramadhanil dari Perludem sebagai pembicara lainnya mengatakan, salah satu munculnya gagasan untuk memperbaiki kerangka hukum kepemiluan ternyata dengan pemilu serentak seperti pada 2019 ada banyak persoalan yang dihadapi, baik oleh penyelenggara, peserta pemilu dan pemilih.

Dia menyebut, karena tiga aktor kunci dalam proses pemilu itu menghadapi tantangan tidak mudah dan ada persoalan-persoalan krusial yang muncul.

Mulai dari penyelenggara, seperti tantangan memenej pemilu dengan lima kotak sangat berat dan juga beban kerja yang sangat luar biasa KPPS, serta bagi pemilih merasakan kebingungan memilih dengan lima kotak. Dan ini terkonfirmasi oleh survei sejumlah lembaga penelitian.

"Salah satu hasil survei yang mengkonfirmasi kebingungan itu adalah tingginya suara tidak sah Pemilu 2019," ungkapnya.

Apakah UU Pemilu yang ada sekarang sudah memadai untuk digunakan dalam waktu yang panjang. Menurut saya jawabannya tidak

Atas dasar kesadaran itu kemudian, kata Fadli, di awal tahun 2020 atau akhir 2019 muncul inisiatif untuk men-tune kerangka hukum kepemiluan yang diinisiasi oleh Komisi II DPR RI.

Komisi II kemudian meminta masukan banyak pihak, melakukan kajian sangat mendalam dan serius berkaitan dengan refleksi penyelenggaraan Pemilu 2019, serta semua parpol ikut membahas.

Kesadaran terhadap adanya persoalan Pemilu 2019 menjadi dasar utama betapa penting untuk memperbaiki kerangka hukum kepemiluan.

Namun ketika draf revisi UU Pemilu sudah selesai dan masuk dalam RUU Prolegnas Prioritas di Baleg DPR RI dan disetujui pemerintah pada 14 Januari 2021 serta melalui proses yang panjang, tiba-tiba pemerintah menyebutkan revisi UU Pemilu tidak diperlukan dengan berbagai alasan.

Baca juga: 

"Menurut saya ini patut sangat dipertanyakan. Dan menjadi aneh, baik parpol maupun pemerintah merasa tidak perlu melakukan revisi UU Pemilu apalagi dengan menggunakan pendekatan alasan kerangka hukum pemilu itu tidak perlu diperbaharui setiap sekali lima tahun atau setiap menjelang penyelenggaraan pemilu," kata Fadli.

Namun menurut dia, pandangan pemerintah tersebut semestinya dikritisi secara mendalam. Benar diharapkan sebuah regulasi memiliki daya jangkau yang panjang terutama untuk penyelenggaraan pemilu, misalnya bisa berlaku untuk dua, tiga atau lima kali pemilu.

Hanya saja ungkap Fadli, kerangka hukum seperti apa yang bisa digunakan untuk proses penyelenggaraan pemilu yang panjang itu. 

Jika kemudian saat ini semua pihak merasa ada persoalan dalam kerangka hukum pemilu yang ada sekarang, baik UU Pemilu atau UU Pilkada, kenapa harus dipaksakan dilakukan untuk tiga empat kali pemilu.

"Saya sepakat, pembuatan semua regulasi diniatkan untuk jangka panjang. Ada banyak UU berlaku puluhan tahun. Kalau mau menggunakan alasan itu tentu, pertanyaannya apakah UU Pemilu yang ada sekarang sudah memadai untuk digunakan dalam waktu yang panjang. Menurut saya jawabannya tidak," tukasnya.

Menurut Fadli, ada banyak aspek yang harus diperbaiki dan itu disadari semua pihak yang menginisiasi perubahan UU Pemilu. [Anita] 

Berita terkait
Buru-buru Revisi RUU Pemilu, Jangan demi Kepentingan Pilkada 2022
TePi meminta pembahasan RUU Pemilu jangan dilakukan secara terburu-buru apalagi ditunggangi agenda Pilkada 2022 dan 2023.
Jimly Asshiddiqie Sayangkan Pemerintah Enggan Bahas RUU Pemilu
Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie menyayangkan sikap pemerintah dan sebagian besar parpol cenderung menolak direvisinya UU Pemilu.
Denny Siregar: Siapa Pun Punya Rekam Jejak HTI Tak Boleh Ikut Pemilu
Undang-Undang Pemilu sedang direvisi. Nantinya siapa pun punya rekam jejak terlibat HTI tidak punya hak untuk mengikuti Pemilu. Denny Siregar.