MA versus MK, Mana Derajatnya Lebih Tinggi?

Mari memahami kewenangan dan kedudukan dua lembaga hukum tertinggi ini (MK dan MA) terkait Pilpres 2019.
Foto: Gedung Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang sama-sama menolak gugatan Prabowo-Sandi (Sumber: Istimewa)

Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) menjadi perbincangan publik seusai penetapan hasil Pemilu (pemilihan Umum) 2019. Peserta Pemilu, baik pilpres dan pileg, beramai-ramai mengajukan gugatan hasil kontestasi politik itu kepada dua lembaga peradilan tinggi negara tersebut. 

Tidak jarang, persidangan penyelesaian gugatan itu diikuti dengan aksi massa pendukung yang berharap majelis hakim dapat mengabulkan gugatan kandidat yang mereka dukung. Menarik untuk ditelisik apa sebenarnya fungsi, tujuan, dan kedudukan dari kedua mahkamah tersebut.

Sejarah dan Fungsi Mahkamah Agung

Mahkamah Agung memiliki sejarah panjang dalam perjalanan peradilan di Indonesia. MA didirikan tanggal 18 Agustus 1945 bersamaan dengan pengesahan UUD 1945 dan kabinet presidensial pertama Indonesia. Landasan hukum MA sendiri dimasukkan dalam Pasal 24 UUD 1945 sebagai badan peradilan tertinggi di Indonesia. 

Awalnya, Mahkamah Agung berkedudukan di Yogyakarta, seiring pemindahan ibukota RI dari Jakarta ke Yogyakarta akibat agresi militer Belanda yang terjadi dari tahun 1946 sampai tahun 1950. Memasukki masa Republik Indonesia Serikat (RIS), MA kembali ke Jakarta dengan menempati gedung dan mengambil alih personel serta pekerjaan Hoogerechtschof (lembaga peradilan tertinggi buatan Kerajaan Belanda untuk Hindia Belanda). Kegiatan operasional MA kemudian dituangkan dalam UU No. 1 Tahun 1950. MA memiliki fungsi pengawasan terhadap pengadilan-pengadilan tinggi di daerah. 

Dengan demikian MA tidak berwenang mengadili perkara tersebut, dan dinyatakan tidak diterima.

Memasuki masa Orde Baru, fungsi dan wewenang MA mengalami perubahan seiring perubahan kebutuhan pada waktu itu. Setidaknya terjadi dua kali pembaruan terhadap tugas dan kewenangan MA. Pertama, melalui UU No. 14 Tahun 1970, fungsi Mahkamah Agung diperluas dengan kewenangan untuk memutus perkara dari 4 pengadilan, yakni Pengadilan Umum, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer, dan Pengadilan Tata Usaha Negara.

Undang-Undang MA kembali diperbarui pada UU No. 14 Tahun 1985 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menambah kewenangan MA sehingga tidak sebatas sebagai pengawas dan pemutus terakhir suatu perkara. Melalui UU tersebut MA memiliki 5 fungsi, yakni fungsi peradilan, fungsi pengawasan, fungsi pengaturan, fungsi memberi nasihat, dan fungsi administrasi. Posisi MA juga masih berada di bawah naungan Kementerian Kehakiman (saat ini bernama Kementeriman Hukum dan HAM).

Pasca Orde Baru runtuh dan memasuki masa Reformasi, Mahkamah Agung kembali mengalami perubahan teknis dalam fungsi, tugas dan kewenangannya. Konsep peradilan MA menjadi lebih independen setelah terpisah dari eksekutif melalui TAP MPR No. X/MPR/1998. Tugas, fungsi dan wewenang MA terakhir kali diperbarui pada tahun 2004 melalui UU No. 5 Tahun 2004. Dalam UU tersebut, diatur kewenangan MA ke dalam 3, yaitu: memutus permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding atau tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan, menguji peraturan secara materiil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang dan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. 

Pada tahun 2013, mulai diterapkan sistem peradilan kamar di MA yang membuat perubahan nomenklatur dalam beberapa bidang peradilan yang diurus di MA. Dengan sistem ini, hakim agung dikelompokkan ke dalam lima kamar, yaitu perdata, pidana, agama, tata usaha negara, dan militer. Hakim agung masing-masing kamar pada dasarnya hanya mengadili perkara-perkara yang termasuk dalam lingkup kewenangan masing-masing kamar. 

Sejarah dan Fungsi Mahkamah Konstitusi

Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia diawali dengan diadopsinya ide pengadilan konstitusional (constitutional court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001.

Setelah disahkannya amandemen ketiga UUD 1945, dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung menjalankan fungsi MK untuk sementara .DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003. Presiden saat itu, Megawati Soekarnoputri melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya melantik para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003. 

Sesuai UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dalam perkara menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. MK juga memiliki kewajiban untuk memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran (impeachment). 

Kedudukan MA dan MK Dalam Struktur Kenegaraan

Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan yang sama dengan MA, berdasarkan UUD 1945 pasca Amandemen Keempat Tahun 2002. Dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia terdapat 9 lembaga negara yang menerima kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar. Lembaga-lembaga tersebut adalah DPR, DPD, MPR, BPK, Presiden, Wakil Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. 

Penyelesaian Perkara Pemilu

Berdasarkan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjelaskan MK berwenang untuk mengadili sengketa terkait hasil Pemilu, baik Pemilihan Presiden, Pemilihan Kepala Daerah, dan Pemilihan Legislatif di pusat maupun daerah pada tingkat pertama dan terakhir. Sementara Mahkamah Agung berwenang untuk memutus perkara administrasi terkait penyelenggaraan pemilu di tingkat akhir. 

Hal ini yang kemudian dalam amar putusan Prabowo-Sandi dalam gugatannya di Mahkamah Agung ditolak karena dianggap tidak relevan. Hal ini disampaikan Humas Mahkamah Agung, Abdullah kepada Antara yang menyebut objek yang dimohonkan pihak Prabowo-Sandi tidak relevan dengan perkara yang menjadi kewenangan MA.

"Dengan demikian MA tidak berwenang mengadili perkara tersebut, dan dinyatakan tidak diterima," ujar Abdullah. []

Baca juga:

Berita terkait