Legenda Genderuwo Ki Poleng dan Nyi Poleng di Sleman

Gunung Gamping yang angker di Sleman, dijaga dua genderuwo yaitu Ki Poleng dan Nyi Poleng. Mereka yang menyebabkan kematian Kyai dan Nyai Wirosuto.
Patung atau ogoh-ogoh genderuwo dalam ritual Saparan Bekakak di Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Sleman, Jumat, 18 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Sleman - Bekakak atau sepasang 'pengantin' yang terbuat dari tepung ketan, disembelih sore itu, Jumat, 18 Oktober 2019, di Gunung Gamping, Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Darah yang terbuat dari gula merah cair, meleleh saat leher kedua 'pengantin' itu dipotong. Tak hanya sampai di situ. Bagian tubuh dari bekakak itu pun dipotong-potong kemudian dilemparkan kepada masyarakat yang menonton.

Hanya beberapa meter dari lokasi penyembelihan, puluhan batu nisan berjejer rapi. Beberapa di antaranya mengkilap terkena pantulan cahaya matahari sore yang hampir tenggelam di sebelah barat. Matahari dan nisan itu menjadi saksi abadi ritual tahunan tersebut.

Suara ratusan warga yang menonton, mengalahkan nada dedaunan yang tertiup bayu senja. Mereka berebutan mendapatkan 'potongan tubuh' kedua 'pengantin' itu.

Begitulah suasana pada puncak acara kirab dan upacara Saparan Bekakak tahun 2019. Ritual tahunan yang digelar warga Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, untuk memperingati meninggalnya dua abdi dalem kesayangan Sri Sultan Hamengkubuwono I.

Gunung Gamping ini angker, dijaga dua genderuwo yaitu Ki Poleng dan Nyi Poleng.

SlemanDua bekakak atau sepasang pengantin terbuat dari tepung beras ketan, digendong sebelum disembelih, di Gunung Gamping, Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Sleman, Jumat, 18 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

***

Kepala Desa Ambarketawang, Sumaryanto, mengatakan lokasi gunung gamping ini dulu cukup luas, dan gunung itu dimanfaatkan masyarakat dengan menambang batu gamping atau batu kapur di situ. Saat ini yang tersisa hanya gundukan setinggi kurang lebih delapan meter.

Batu kapur dari gunung tersebut dulu digunakan untuk membangun Keraton Yogyakarta. Saat itu sekitar tahun 1755 hingga 1756, Sultan Hamengkubuwono I tinggal atau mesanggrah di Gunung Gamping yang dijadikan sebagai pesanggrahan.

Kapur yang berasal dari daerah tersebut juga pernah dimanfaatkan 18 pabrik gula yang ada di Jawa Tengah, untuk memutihkan gula pasir produk mereka.

Saat tinggal di situ, Sultan Hamengkubuwono I memiliki dua abdi dalem kesayangan, yakni Kyai Wirosuto dan Nyai Wirosuto, yang sangat setia kepadanya.

"Konon, dulunya Gunung Gamping ini merupakan gunung yang angker, yang dijaga dua genderuwo, yang juga sebagai simbol dari kejahatan. Kedua genderuwo itu memerangi Kyai Wirosuto," tutur Sumaryanto.

Setelah Sultan Hamengkubuwono I kembali ke Keraton Yogyakarta, Kyai Wirosuto dan Nyai Wirosuto dikabarkan tertimbun reruntuhan gunung gamping. Warga percaya kematian keduanya adalah akibat perbuatan dua genderuwo penunggu gunung gamping, yakni Ki Poleng dan Nyi Poleng.

Selain Kyai dan Nyai Wirosuto, kedua genderuwo juga sering mengambil korban, yakni para penambang di lokasi itu. Setiap tahun, pasti ada sepasang pengantin yang meninggal dunia, yang juga dipercaya akibat kelakuan kedua genderuwo itu

Sultan kemudian bersemedi, memohon petunjuk kepada Allah SWT agar korban tidak terus berjatuhan. Akhirnya Sultan memerintahkan untuk menyembelih dua pengantin tiruan atau bekakak tersebut.

Boneka bekakak, orang Jawa sebut loro blonyo, sepasang pengantin untuk menggantikan korban penambang batu gamping.

SlemanPatung atau ogoh-ogoh berbentuk sepasang genderuwo, sesaat setelah tiba di Lapangan Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Sleman, Jumat, 18 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

***

"Oleh Hamengkubuwono I diganti dengan boneka bekakak ini. Orang Jawa sebut loro blonyo, sepasang pengantin untuk menggantikan korban penambang batu gamping," ujar Sumaryanto.

Ritual kirab dan upacara Saparan Bekakak, sekaligus untuk memperingati kematian dua abdi dalem kesayangannya, yang meninggal pada hari Jumat kedua di Bulan Sapar atau Syafar.

Selain sepasang bekakak, warga juga membawa patung genderuwo dan makhluk lain, untuk dikirab atau dibawa berkeliling di area gunung gamping itu. Patung genderuwo itu juga sebagai lambang kejahatan.

"Kenapa hari Jumat dan bulan Sapar? Karena itu merupakan sabda Raja Hamengkubuwono I, dan sebagai bentuk peringatan karena keruntuhan gunung gamping ini pas bulan Sapar," tutur Sumaryanto.

SlemanPatung atau ogoh-ogoh genderuwo dalam ritual Saparan Bekakak di Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Sleman, Jumat, 18 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

***

Ritual Kirab dan Upacara Saparan Bekakak 2019 itu dimulai dengan upacara diikuti 18 bregada atau pasukan. Terdiri dari 14 bregada dari Ambarketawang dan 4 bregada dari luar Ambarketawang.

Upacara dilakukan di Lapangan Ambarketawang, mulai sekitar pukul 15.30 WIB, didahului tari-tarian dan iringan gamelan.

Ratusan warga usai salat Jumat, berkumpul di lapangan tersebut. Matahari yang terik seperti diabaikan. Mereka rela menunggu kedatangan patung-patung genderuwo dan makhluk lain, serta kehadiran para bregada.

Aroma dupa sesekali masuk dalam indera penciuman. Asapnya berkejaran dengan debu yang tertiup angin. Suara gamelan dari pengeras suara di lokasi itu seperti menambah panasnya hari.

Meski alunan suara gamelan menerobos masuk ke ruang dengar, serta aroma wangi dupa tercium di beberapa titik, tidak membuat suasana di tempat itu menjadi mencekam atau mistis.

Puluhan anak kecil juga ada di tempat itu. Sebagian bermain dengan patung atau ogoh-ogoh, sementara beberapa lainnya asyik menikmati minuman atau camilan yang dibeli dari pedagang asongan di situ.

Belasan bregada yang berpartisipasi dalam kegiatan itu berjejer rapi di tempat yang telah disediakan. Mereka melaksanakan upacara dengan khidmat, meski riuh suara pengunjung terdengar di hampir seluruh sudut lapangan.

"Dari Desa Ambarketawang ada 13 bregada inti dan satu bregada tambahan. Ada juga dari luar Ambarketawang, ada empat bregada yang turut berpartisipasi," ujar Sumaryanto.

Para bregada itu bukan hanya terdiri dari kaum laki-laki. Setidaknya ada dua bregada beranggotakan kaum perempuan, yakni Bregada Prajurit Ambarsari dan Bregada Putri Mejing.

Beberapa bregada membawa senjata berupa tombak, serta alat musik berupa drum untuk mengiringi langkah mereka dalam berbaris.

SlemanOgoh-ogoh atau patung berbentuk harimau diusung warga di Lapangan Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Sleman, Jumat, 18 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

***

Ritual Kirab dan Upacara Saparan Bekakak tersebut mendapat dukungan Pemerintah Kabupaten Sleman. Hal itu dapat dilihat dari kehadiran Wakil Bupati Sleman, Sri Muslimatun.

Sri Muslimatun hadir mewakili Bupati Sleman, Sri Purnomo, sekaligus membacakan sambutan bupati.

Sri mengatakan pelaksanaan upacara adat ini merupakan salah satu wujud nyata rasa cinta yang tinggi terhadap kebudayaan yang ada di wilayah Sleman.

Ia mengharapkan penyelenggaraan kirab dan upacara adat ini dapat menjadi wahana untuk mengokohkan falsafah dan tata nilai yang tetap berpijak kuat pada akar budaya, adat dan tradisi yang ada di Kabupaten Sleman. Terlebih upacara adat Saparan Bekakak ini memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Ambarketawang.

Efek upacara adat Saparan Bekakak ini, kata dia, selain bertujuan untuk mengenang kesetiaan seorang abdi dalem kesayangan Sri Sultan Hamengkubuwono I, yakni Kyai Wirosuto dan Nyai Wirosuto, juga merupakan salah satu upaya untuk menumbuhkan rasa handarbeni atau memiliki, terhadap budaya bangsa.

SlemanBekakak 5: Seorang personel Bregada Prajurit Ambarsari, ikut meramaikan ritual Saparan Bekakak, di Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Sleman, Jumat, 18 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

"Sebagai bangsa dengan jejak sejarah yang panjang dan keragaman budaya lokal, pemerintah, masyarakat dan pemangku kepentingan harus terlibat secara bersama-sama dalam melestarikan dan mengembangkan warisan budaya yang ada di daerah ini, secara berkelanjutan," ujar Sri.

Dia menambahkan, salah satu tujuan diadakan pelesatarian budaya adalah untuk melakukan revitalisasi atau penguatan budaya. Selain itu juga untuk meningkatkan dan menjaga sifat kegotongroyongan persaudaraan, serta kerukunan masyarakat di wilayah Desa Ambarketawang.

Penyelenggaraan upacara adat Saparan Bekakak yang dilakukan secara rutin tiap tahun ini, menurut dia, menunjukkan partisipasi cukup tinggi masyarakat Ambarketawang dalam menjaga asat budaya daerah.

"Ini merupakan modal yang berharga dalam upaya pengembangan pariwisata di Sleman," tutur Sri Muslimatun. []

Baca cerita menarik lain:

Berita terkait
Pengalaman Bertemu Hantu di Rumah Kontrakan di Sleman
Beberapa biji salak tergantung di sekitar rumah kontrakan itu di Sleman, menandakan ada makhluk astral berupa anak kecil. Dan memang itu terjadi.
Den Bagus-Ndoro Ayu 'Penunggu' Pendopo Berbah Sleman
Sekilas pendopo di kantor Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, itu biasa saja. Tidak ada kesan seram. Terlebih saat siang hari.
Rumah Angker Bekas Tempat Bunuh Diri di Sleman
Rumah kosong yang angker di Sleman Yogyakarta itu dulu tempat indekos, ada orang kos bunuh diri. Sering terdengar suara wanita menangis di situ.
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.