Dan KPK sepertinya mulai kebablasan.
Novel Baswedan menuding Jokowi prokoruptor, hanya karena Presiden setuju revisi UU KPK. Tapi mungkin bukan itu intinya. Masalahnya juga karena Firli Bahuri lolos jadi Ketua KPK sekarang.
Firli memang pernah kerkarier di KPK. Jabatannya deputi penindakan. Nah, saat di KPK itulah kabarnya Firli tidak cocok dengan kelompok Novel. Banyak kebijakan internal KPK, khususnya soal kepegawaian yang akhirnya meruncingkan perseteruan mereka.
Ujungnya Firli dihantam isu integritas. Perkaranya ketika dia sempat bertemu TGB di lapangan tennis. TGB memang sedang diincar KPK waktu itu dalam kasus Newmount.
Sebagai bekas Kapala polisi di NTB, wajar saja Firli kenal dengan TGB sebagai Gunernur NTB. Menurut Firli, pertemuan itu hanya sepintas, di tempat umum, dan tidak membicarakan apa-apa.
Tapi dengan isu itu Firli dianggap melanggar aturan KPK yang melarang bertemu dengan orang yang terkena kasus. "Kami bertemu tidak direncanakan. Di lapangan. Tempat umum. Bukan pertemuan yang dirancang," bantah Firli.
Karena persoalan-persoalan seperti itulah, Firli dipojokkan. Ia dipersepsikan melanggar aturan etik. Sebelum persoalan terlanjur memuncak, kepolisian menarik kembali Firli. Ia ditugaskan menjadi Kapolda Sumatera Selatan.
Kenapa mereka gak minta ketemu DPR untuk memberi masukan pasal-pasal yang tidak disetujuinya.
Lalu ia ikut seleksi Pimpinan KPK dan terpilih. Lalu Presiden menyetujui pembahasan perubahan UU KPK. Lalu Novel menuding Jokowi menguntungkan koruptor.
Sebelumnya Saut Situmorang mundur dari KPK. Jokowi menanggapinya dengan enteng. "Itu hak pribadi," ujar Presiden. Artinya Saut mau mundur atau maju, terserah. Emang gue pikirin.
Bukan hanya Saut. Ketua KPK Agus Rahardjo dan Laode M. Syarif ikut-ikutan menyerahkan jabatannya ke Presiden. Bedanya keduanya gak terang-terangan mundur. Tapi pakai embel-embel, kalau Presiden masih menghendaki mereka memimpin KPK, mereka bersedia.
Agus Rahardjo dan Laode M. Syarif bermanuver tujuannya untuk mencari simpati. Ujungnya berharap agar Presiden mau menemuinya. Dari situ mereka berharap bisa menahan laju revisi UU KPK yang sudah memasuki tahap pembahasan di DPR.
Sama seperti Novel, sepertinya kedua pimpinan KPK ini mengarahkan opini bahwa urusan KPK memang akan ditembakkan kepada Presiden. Padahal Revisi UU itu sendiri usul inisiatif DPR. Dan kini dibahas di DPR. Kenapa mereka gak minta ketemu DPR untuk memberi masukan pasal-pasal yang tidak disetujuinya.
Ini menandakan bahwa selama ini KPK memang sering gagap berkomunikasi dengan lembaga lain. Padahal salah satu tugas mereka adalah mengkoordinasikan pemberantasan korupsi. Artinya KPK tidak bekerja sendiri. Mereka harus memandang pihak lain sebagai mitra. Bukan malah sebagai musuh.
Meletakkan jabatan dan menyerahkan kembali ke Presiden saja sebetulnya menunjukkan pembangkangan mereka terhadap mekanisme konstitusi. Sebab UU mengatur tata cara pembuatan UU. Jika DPR berpikir UU KPK harus direvisi untuk menyempurnakan hasil kerjanya, semestinya ini bukan persoalan. Toh, pegawai KPK digaji untuk kerja. Bukan mengurus sesuatu di luar wilayahnya.
Soal mereka gak sepakat pada beberapa poin dalam draft RUU ajuan DPR, tinggal buat saja keinginan untuk membahasnya. Bukan malah menyerahkan mandat kepada Presiden dan berharap Presiden terpancing untuk menanggapinya. Tindakan itu justru membuka pertanyaan, ada apa sih KPK, kok takut banget dengan perubahan?
Tentu saja ada ketakutan. Mereka-mereka yang dulu memusuhi Firli, apa dampaknya kalau nanti Firli memimpin KPK. Kedua, revisi UU ini dikhawatirkan akan membuat power KPK yang tidak terbatas itu mulai dibatasi sekarang.
Benarlah kecurigaan orang. Dengan menembakkan semua masalah ke Presiden, kini orang memandang KPK ini bukan komisi hukum. Tapi lebih mirip lembaga politik. Dan kini makin ngaco.
*Penulis adalah Pegiat Media Sosial
Baca juga: