Kopiah Meukutop Lagi Ngetren di Aceh

Sejak memasuki bulan suci ramadan, Kopiah Meukutop mulai ngetren dikalangan masyarakat Banda Aceh, Aceh.
Kopiah khas bermotif Aceh bernama kopiah meukutop kini mulai ngetren bagi masyarakat Kota Banda Aceh, Aceh, Senin, 18 Mei 2020 malam. (Foto: Tagar/Rahmat Fajri)

Banda Aceh - Sejak memasuki bulan suci ramadan hingga menjelang hari raya Idul Fitri 1441 Hijriah. Kopiah Meukutop mulai ngetren dikalangan masyarakat Banda Aceh, Aceh.

Warga Banda Aceh terlihat mulai ramai memakai kopiah yang memperlihatkan budaya Aceh tersebut, baik orang tua maupun anak muda. Bahkan, juga banyak yang sudah memposting foto dengan memakai kopiah itu di media sosial.

Salah seorang pemuda di Banda Aceh Wildan El Fadhil mengatakan, ia memakai kopiah meukutop tersebut karena memang motifnya benar-benar bagus, apalagi saat ini memang sedang ngetren dikalangan pemuda Aceh.

Dalam kopiah ini sudah melekat identitas Aceh sepenuhnya. Kalau memakai ini, maka dia harus menjaga Aceh.

Selain itu, Wildan melihat corak dari kopiah meukutop itu juga menunjukkan kebudayaan Aceh, dan benar-benar memperlihatkan khasnya orang Aceh. Karena itu, ia memakainya sebagai wujud menjaga budaya Aceh.

"Kopiah meukutop ini bagus sekali, nilai keacehannya terlihat. Makanya saya beli dan langsung memakainya, ini juga untuk melestarikan budaya Aceh," ujar Wildan.

Kemudian, Wildan juga melihat bahwa di Banda Aceh sekarang ini cukup ramai yang sudah mulai memakai kopiah meukutop tersebut, bukan hanya anak-anak muda saja, tetapi sampai ke orang tua.

"Saya lihat, sampai-sampai anggota DPR Aceh juga sudah memakai kopiah meukutop ini, dan bahkan mereka ikut mempromosikannya," tutur Wildan.

Kopiah MeukutopWarga di Banda Aceh memakai kopiah meukutop saat ngopi usai tarawih, Banda Aceh, Aceh, Senin, 18 Mei 2020 malam. (Foto: Tagar/Rahmat Fajri)

Kopiah Meukutop yang ditempah dengan benang itu memiliki makna tersendiri, baik dari sisi warna sampai motifnya. Semuanya mengandung nilai-nilai keacehan.

Pemerhati sejarah dan budaya Aceh, Tarmizi Abdul Hamid menyampaikan, pada kopiah meukutop itu sudah melekat indentitas Aceh, karenanya siapa saja yang memakai peci tersebut, maka ia harus menjaga kebudayaan Aceh.

"Dalam kopiah ini sudah melekat identitas Aceh sepenuhnya. Kalau memakai ini, maka dia harus menjaga Aceh," kata Tarmizi A Hamid kepada Tagar, Selasa, 19 Mei 2020.

Baca juga: Asal Muasal Aceh Julukan Tanah Rencong

Tarmizi memaparkan, dari 4 warna pada kopiah meukutop memiliki arti yang berbeda-beda, merah bermakna kepahlawanan, kemudian kuning kenegaraan, hitam adalah hukum, dan hijau berarti agama dan lingkungan.

"Kalau makna dari bentuk tangganya, tangga pertama hukum, tangga kedua adat, tangga ketiga qanun, dan keempat adalah reusam," ujar pria yang akrab disapa Cek Midi itu.

Cek Midi menyebutkan, kopiah ini dulunya pada masa penjajahan Belanda dikenal dengan sebutan Tungkop, hal itu karena tempat perajinan pertamanya berasal daerah Tungkop Kecamatan Indra Jaya Kabupaten Pidie.

"Belanda dulu menyebutkan Tungkop, itu memang dulunya dibuat di Tungkop, karena pada masa itu satu-satunya yang ditujukan oleh Sultan Aceh itu memang di Tungkop," ucapnya.

Kenapa saat ini lebih dikenal dengan kopiah meukutop, Tarmizi juga kurang mengetahui jelas asal atau siapa yang menamainya, hingga melekat sampai sekarang.

"Itu ntah siapa yang beri nama meukutop, sehingga dipegang sekarang kopiah meukutop. Dasarnya ini kopiah Tungkop," tutur Cek Midi. []


Berita terkait
Alhamdulillah, 15 Pasien Covid-19 di Aceh Sembuh
Dari 18 yang konfirmasi Covid-19 Aceh yang sembuh mencapai 15 orang, 2 orang masih dirawat di rumah sakit, dan hanya 1 orang meninggal dunia.
Sebentar Lagi, Angkutan Umum Dilarang Masuk Aceh
Semua jenis angkutan umum bakal dilarang masuk ke Provinsi Aceh mulai Kamis, 21 Mei 2020.
Jelang Lebaran, Pasar Abdya Aceh Mulai Ramai
Menjelang hari raya Idul Fitri 1441 Hijriah pasar tradisional pusat kota Blangpidie, Aceh mulai ramai pengunjung.
0
Pandemi dan Krisis Iklim Tingkatkan Buruh Anak di Dunia
Bencana alam, kelangkaan pangan dan perang memaksa jutaan anak-anak di dunia meninggalkan sekolah untuk bekerja