Oleh: Syaiful W. Harahap
TAGAR.id - Ketika di banyak negara, terutama di Eropa Barat, pertandingan sepak bola jadi tontonan keluarga dengan datang ke stadion menyaksikan laga klub pujaan mereka bersama keluarga, seperti istri dan anak-anak serta pacar.
Tapi, di Indonesia pertandingan sepak bola di dalam dan di luar stadion, bahkan di sepanjang jalan raya sekitar stadion, dan angkutan umum, seperti bus dan kereta api (KA) justru jadi ‘the killing fields’ (ladang pembantaian).
Sudah tak terbilang korban nyawa, mulai dari suporter dan warga sekitar stadion. Begitu juga dengan kerusakan di stadion dan di luar stadion juga jadi bagian dari ulah suporter anarkistis. Mereka merusak dan membakar bangku-bangku stadion, merusak pagar, dan menjarah pedagang kecil.
Ketika mereka dalam perjalanan pulang ke rumah atau tempat tinggal di kota lain, terminal bus atau stasiun kereta api (KA) jadi sasaran kebiadaban suporter anarkistis. Rumah-rumah penduduk dilempari dengan batu. Pedagang asongan dijarah.
Baca juga: Menunggu Sepak Bola Nasional Jadi Tontonan Keluarga
Berharap prestasi, yang disuguhkan suporter ternyata kerusuhan yang justru merusak citra sepak bola nasional.
Baca juga: Sepak Bola Nasional Menenggelamkan Garuda
Jika dikaitkan dengan penjelasan Bang Hotman, Prof Dr Hotman M. Siahaan, sosiolog di Unair, Surabaya, dalam satu kesempatan di tahun 2012 mengatakan bahwa seragama bisa jadi alat untuk melakukan tindakan yang anarkistis karena mereka berlindung di balik seragam tsb. Seragam merupakan identitas militer sehingga jika dipakai di luar militer akan menimbulkan masalah karena mereka memanfaatkan ‘kesatuan’ tanpa kode etik. Sedangkan di militer bertindak diatur dengan kode etik.
Suporter sepak bola memakai seragam (jersey) yang menandakan mereka sebagai suporter klub ‘X’, sehingga jika sekelompok supoter klub ‘X’ bertemu dengan seseorang yang memakai jersey klub yang mengalahkan klub ‘X’, maka terjadilah perkelahian. Perkelahian terjadi di dalam dan di luar stadion antar pendukung klub. Jika lawan yang menang tidak memberikan reaksi, maka suporter yang kalah akan merusak stadion.
Seperti yang terjadi di Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya, Selasa, 29 Oktober 2019, suporter Persebaya Surabaya yang menyebut diri ‘Bonek’ membakar stadion ketika klub pujaan mereka ditekuk PSS Sleman, DI Yogyakarta, 3-2 di kandang.
Sebelum kejadian ini belasan bahkan puluhan kerusuhan antar suporter pendukung klub sepak bola terjadi di seluruh Nusantara. Hampir tak terbilang kerugian materi dan nonmateri akibat ulah suporter anarkistis.
Jelang laga Persib Bandung lawan Persija Jakarta di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, Bandung, Jabar, Minggu, 23 September 2018, misalnya, Haringga Sirla, seorang supoter Persija, disebut ‘The Jakmania' dikeroyok suporter Persib yang menyebut diri sebagai ‘Bobotoh’. Haringga tewas di sekitar stadion.
Data yang dipublikasi oleh Litbang Save Our Soccer (SOS) dalam 24 tahun terakhir sudah 76 suporter bola di Indonesia yang meregang nyawa akibat kerusuhan antar suporter. Sedangkan suporter yang tewas pada laga Persija vs Persib tercatat 7 suporter sampai dengan kasus Haringga.
Apakah kita masih harus menunggu daftar panjang kehilangan nyawa suporter baru ada penegakan hukum yang keras?
Bahkan, PSSI didenda oleh FIFA karena ulah suporter PSSI yang menyerang pendukung Timnas Malaysia di Stadion GBK, Jakarta, pada tanggal 5 September 2019. Ketika itu Garuda ditekuk Malaysia 3-2 dalam laga kualifikasi Piala Dunia 2022 di Qatar. PSSI didenda Rp 641 juta.
Baca juga: Suporter Rusuh PSSI Didenda FIFA Rp 641 Juta
Tampaknya, ancaman pidana tidak digubris perusuh karena sebagian besar perusuh itu berusia di bawah umur sehingga tidak boleh dijerat dengan KUHP. Maka, sebagai ketua umum dengan latar belakang penegak hukum, polisi, diharapkan Iwan Bule merancang sanksi hukum kepada perusuh dalam bentuk pidana sosial.
Hukuman kepada suporter rusuk diberikan dalam bentuk hukuman sosial, misalnya, membersihkan stadion, memotong rumput stadion, membersihkan toilet stadion, memungut bola yang keluar lapangan saat pertandingan, dll. Mereka memakai jersey dengan tulisan besar-besar: “Saya suporter rusuh” atau kalimat lain yang bisa memberikan efek jera kepada suporter.
Tahun 2021 Indonesia jadi tuan rumah Piala Dunia U-20. Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara khusus menemui Presiden FIFA, Gianni Infantino, di Bangkok, Thailand, 2 November 2019. Ini sebagai bagian dari keputusan FIFA yang memilih Indonesia sebagai tuan rumah U-20 tahun 2021.
Jika hari-hari berikut jelang 2021 kerusuhan suporter terus terjadi bisa saja FIFA mencabut mandat dan memindahkan tuan rumah final Piala Dunia U-20 ke negara lain. Jika ini terjadi, maka kita hanya bisa mengelus dada dan gigit jari. []
* Syaiful W. Harahap, Redaktur di Tagar.id