Pembinaan Bibit Pemain Sepak Bola yang Luput dari Perhatian

PSSI sibuk dengan kongres untuk memilih pengurus, sementara masalah yang sangat mendasar tidak pernah dijamah
Logo PSSI (Sumber: id.wikipedia.org)

Catatan: Hari ini, 16 Februari 2022, ada kongres luar biasa PSSI untuk memilih ketua umum dan lain-lain, selama ini perhatian hanya tertuju pada hiruk-pikuk pertandingan tapi mengabaikan pembinaan dan ketersedeiaan termpat main di tingkat terkecil, seperti RT atau dusun. Redaksi

Oleh: Syaiful W. Harahap*

TAGAR.id – Mulai dari pertandingan sepak bola di kampung sampai tingkat nasional sering diwarnai dengan kerusuhan, bahkan memakan korban jiwa, yang terjadi sampai ke luar stadion.

PSSI sibuk dengan kongres untuk memilih pengurus, sementara masalah yang sangat mendasar tidak pernah dijamah. KONI dan PSSI baik ngadem di ‘menara dading’ (KBBI: bersikap masa bodoh terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya).

Fasilitas stadion dirusak dan dibakar. Fasilitas umum dihancurkan. Pedagang dijarah dan seterusnya …. Ini salah satu sisi yang menyelimuti dunia persepakbolaan nasional.

Di tengah lapangan rumput ada pemain yang menunjukkan alat kelaminnya. Ada pula pemain yang memukul wasit dan seterusnya ….

Ketika melihat warga membawa anak dan bayi ke stadion di pertandingan sepak bola di liga-liga Eropa membuat hati terenyuh (sedih) karena hal itu mustahil terjadi di negeri yang selalu disebut dengan bangsa (yang) berbudaya.

Menonton bola di stadion sama saja dengan menyabung nyawa karena pendukung dengan berbagai julukan yang menyeramkan bagaikan monster (makhluk yang menakutkan).

Ekspektasi (pengharapan) sepak bola nasional yang terlalu jauh tapi mengabaikan pembinaan dasar sama saja dengan ‘Bagai pungguk merindukan bulan’ (sesuatu yang sulit untuk dicapai).

Lalu, apa prestasi sepak bola Indonesia? Yang terakhir untuk tingkat ASEAN, 10 negara saja, tersingkir di semifinal Piala AFF 2023.

Adalah hal yang mustahil prestasi sepak bola nasional bisa mendunia jika persoalan yang sangat mendasar saja luput dari perhatian pemerintah, dalam hal ini KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) dan PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia).

Misalnya, ketersediaan lapangan untuk bermain sepak bola. Jangankan untuk desa atau kelurahan, di tingkat kecamatan pun ada kecamatan yang tidak mempunyai lapangan sepak bola dengan kondisi ala kadarnya.

Di Kelurahan Pisangan Timur, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur, misalnya, tidak ada tanah lapang yang bisa dijadikan warga untuk sekedar bermain bola. Akhirnya, anak-anak bermain bola di gang yang justru mengganggu warga karena anak-anak itu tidak memikirkan waktu, apalagi di saat pandemi dengan kerja dari rumah (WFH – work from home).

Lalu, bagaimana anak-anak mengasah diri menggiring dan menendang bola?

Walaupun ada lapangan bola, tapi itu tidak gratis dan bermain dengan jadwal yang ketat.

Kalau saja KONI dan PSSI memalingkan diri ke realitas sosial tentang keberadaan tanah lapang untuk bermain bola di sosial settings tentulah anak-anak bisa bermain bola di sembarang waktu.

Selain tanah lapang untuk bermain bola, tentu saja perlu juga memberikan wadah untuk klub sepak bola mulai dari tingkat yang paling rendah, katakanlah tingkat RT atau RW, sampai ke tingkat kota atau kabupaten.

Di Italia, misalnya, ada 594 divisi sepak bola dengan 3.332 klub. Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian lahir pemain bola handal.

Negara-negara di Afrika, Amerika Latin dan beberapa negara Asia yang menghasilkan pemain bola jadi sumber pamain bagi klub-klub raksasa Eropa.

Beberapa pemain dari Brasil jadi kapten atau bintang di klub-klub raksasa Eropa.

Piala Dunia FIFA Qatar 2022 juga jadi bukti betapa klub-klub Eropa jadi tolok ukur keberhasilan negara-negara peserta.

Bintang Brasil (Neymar) dan Argentina (Lionel Messi) bermain di PSG, tiga bintang Maroko, negara Afrika pertama yang lolos ke semifinal Piala Dunia (Achraf Hakimi, Youssef En-Nesyri, Hakim Ziyech) juga bermain di klub-klub Eropa.

Begitu juga dengan pemain bintang Korea Selatan (Son Heung-min) dan Jepang juga bermain di klub Eropa.

Maka, amatlah mengherankan kalau kemudian PSSI membayar pelatih asal Korsel, Shin Tae-yong, untuk melatih PSSI hanya karena Korsel mengalahkan Jerman di babak penyisihan grup Piala Dunia Rusia 2018.

Baca juga: Menyibak Langkah Shin Tae-yong Melatih Timnas Indonesia

Padahal, pemain Koresl yang dibawa Shin Tae-yong justru berlatih di klub-klub Eropa.

Selain itu KONI dan PSSI sudah saatnya membina sepak bola sejak dini melalui turnamen dari tingkat yang paling dasar. Dulu ada POPSI (Pekan Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia) yang menjadi ajang pertandingan olahraga nasional.

Celakanya, pelajar SD/Madrasah, SMP/Tsanawiyah, dan SMA/Aliyah tidak bisa bermain beberapa cabang olahraga, seperti atletik (lari, lompat dan lempar), voli, baske, renang, sepak bola dan lain-lain.

Di negara-negara dengan luas yang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan Indonesia tersedia lapangan untuk semua cabang olahraga, tapi di Indonesia dengan wilayah yang luas tidak bisa menyediakan tanah lapang untuk semua cabang olahraga.

Di beberapa tempat tanah lapang untuk bermain dan olahraga justru dialihfungsikan untuk keperluan lain. Pola pikir anak bangsa ini perlu ‘dipermak’ agar lebih arif dan bijaksana dalam melihat persoalan di realitas sosial (dari berbagai sumbe). (Artikel ini pertama kali ditayangkan di Tagar.id pada tanggal 16 Februari 2022). []

* Syaiful W. Harahap, Redaktur di Tagar.id

Berita terkait
Menyibak Langkah Shin Tae-yong Melatih Timnas Indonesia
Bisa jadi PSSI jadikan keberhasilan Shin Tae-yong sebagai patokan merekrutnya sebagai pelatih Timnas Indonesia
0
Koalisi Ojol Nasional Gerilya Garap Sejuta Suara untuk Menangkan Prabowo-Gibran
Koalisi Ojol Nasional (KON) menggelar deklarasi dan konsolidasi sejuta suara untuk pasangan capres cawapres Prabowo-Gibran.