Jejak Sunan Kalijaga di Legenda Kera Desa Ngujang

Nama Desa Ngujang berawal saat Sunan Kalijaga menyebarkan agama Islam dan singgah di Desa Ngujang, Tulungagung, Jawa Timur.
Tempat wisata Kete\'an yang berada di Desa Ngujang, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. (Foto: Tagar/Fendhy Lesmana)

Tulungagung - Hari belum begitu siang, jarum jam menunjukan pukul 10.00 Wib, namun terik matahari terasa begitu panas di Kecamatan Ngujang, Tulungagung, Jawa Timur (Jatim). Ada yang tampak berbeda saat Tagar mengunjungi jembatan di Desa Ngujang, Kecamatan Ngujang, Tulungagung.

Biasanya di tempat ini banyak kera liar mondar mandir, tetapi kali ini tak satu pun kera liar tersebut terlihat. Di Kecamatan Ngujang terdapat tempat wisata Ketek'an (kera). Wisata Ketek'an berada di area makam Desa Ngujang.

Saat Tagar datang, terdengar suara pria memanggil kis kis kis. Panggilan pria paruh baya ini didengar segerombolan kera sedang berteduh di atas pohon dan di atap bangunan Pakunden.

Spontan puluhan kera ini turun dan mendatangi suara pria yang memanggilnya. Pria ini sedang membawa dan memotong buah pepaya. Buah pepaya ini diberikan para kera untuk dimakan.

Uniknya saat diberi makan buah pepaya, para kera ini tidak saling berebut. Mereka justru bersabar antri menunggu giliran untuk diberi makan. Setelah makanan habis, para kera ini kemudian kembali berkeliaran.

Sosok pria tersebut yakni Mbah Ribut Katenan, yang tak lain adalah juru kunci makam Desa Ngujang. Mbah Ribut menjelaskan di makam Desa Ngujang terdapat ratusan kera abu-abu.

"Jumlah kera di sini sekitar ratusan mas," ujarnya.

Pria berusia 48 tahun ini menceritakan jika keberadaan kera abu-abu sudah ada sebelum Desa Ngujang ada. Nama Desa Ngujang sendiri berasal dua suku kata yakni Ngu yang artinya suara kera dan Jang yang artinya pawejangan atau wejangan.

Cerita Desa Ngujang berawal saat Sunan Kalijaga menyebarkan agama Islam dan singgah di Desa Ngujang.

"Konon dulu ada santri naik ke pohon. Maka berujarlah Sunan (Kalijaga) kepada santri, yang lain cari ilmu agama, kok malah naik ke pohon kayak kera. Mungkin kalau seorang Sunan atau Wali (Songo) berujar bisa jadi Sabda. Maka itu menjadi cikal bakal desa ini diberi kata Ngujang," cerita Mbah Ribut, Senin 25 November 2019.

Selain cerita itu, kata Mbah Ribut, ada pula cerita versi lain tentang sejarah Desa Ngujang. Mbah Ribut mengatakan pada saat Sunan Kalijaga memberi wejangan ke para muridnya, terdengar suara kera Ngak Nguk.

Maka berujarlah Sunan Kalijaga jika desa ini nantinya ramai, akan disebut Desa Ngujang. Nguk artinya suara kera sedangkan Jang adalah sebuah wejangan.

"Jadi satu sisi kera ini ada kaitanya dengan desa, karena waktu penyebaran agama. Sementara satu sisi istilahnya sabda-nya sunan terhadap santri tadi," ungkap dia.

Meski makam Desa Ngujang, Tulungagung, Jatim dipenuhi kisah mistis, tetapi Mbah Ribut menampik adanya isu atau rumor yang menyebutkan kera-kera ini adalah hasil jelmaan pesugihan, di mana orang yang mati menjadi kera.

"Itu tidak benar. Kera yang ada di sini bukan kera gaib, tapi kera yang dilindungi gaib. Kalau itu kera gaib hanya orang tertentu bisa melihat. Nyatanya mas tadi foto, melihat juga bisa. Walaupun sebenarnya kerajaan kera gaib di sini ada, tapi tidak bisa ditembus mata telanjang," kata Mbah Ribut.

Mbah Ribut menyebutkan kekuatan gaib yang melindungi kera-kera ini berasal dari Eyang Setonorenggo. Konon, Eyang Setonorenggo ini adalah murid kesayangan Sunan Kalijaga.

Kata Mbah Ribut Katenan jika ada orang yang memberi makan kepada kera-kera ini, dengan didasari perasaan iklas dan tulus maka akan mendapatkan berkah kemudahan rejeki. Sebaliknya jika ada orang yang usil dan berusaha mengganggu, gaib yang ada di sini marah dan merasa tidak terima.

Ia mengaku pernah mendengar cerita dari kakeknya, di mana pada tahun 1970 lalu ada warga Surabaya yang membawa kera abu-abu dari makam Desa Ngujang. Akibat perbuatan orang tersebut, anaknya mengalami kesurupan.

"Waktu itu ada mobil berhenti di jalan raya. Kera diumpan makanan agar mau masuk ke mobil. Setelah masuk, keranya dibawa lari pulang ke arah Surabaya. Belum sampai ke Surabaya, anaknya kesurupan meminta keranya dikembalikan. Setelah dikembalikan keranya, tiba tiba anaknya sembuh tidak ada masalah," kenang pria yang sudah 20 tahun menjadi juru kunci ini.

Disamping itu, ada juga cerita kejadian di mana seorang aparat dengan sifat aroga sengaja menembak seekor kera yang ada di Desa Ngujang. Selepas itu, dalam perjalanan pulang aparat tadi mendadak mengalami kecelakaan hingga akhirnya meninggal dunia.

Karena dinilai memiliki kesan mistis, maka tak heran banyak pengunjung datang ke punden Eyang setonorenggo sekedar berdoa dengan maksud mencari berkah. Dengan sekedar memberi makan kera, jika didasari perasaan iklas dan tulus akan mendapatka berkah kelancaran rezeki

"Intinya mohon keberkahan," kata dia.

Rata rata setiap harinya pengunjung yang data ke Wisata Ketek'an Desa Ngujang, Kecamatan Ngujang, Kabupaten Tulunganggung berkisar 10 orang lebih. Para pengunjung yang datang tidak hanya berasal dari wilayah Karisidenan Kediri saja, melainkan juga dari daerah lain, bahkan dari luar provinsi Jatim.

Diperkirakan kera abu-abu yang ada didesa Kecamatan Ngujang saat ini berjumlah ratusan. Meski terkesan liar dan hidup dialam bebas, tetapi segerombolan kera ini tidak pernah sama sekali menggangu, menyerang warga atau pengguna jalan yang lewat.

Wisata Kete\\\\\\\\\'anJuru kunci wisata Kete\'an, Mbah Ribut Katenan saat memberikan makan kera penghuni makam Desa Ngujang, Kabupaten Tulungagung. (Foto: Tagar/Fendhy Lesmana)

Peran Pemda Belum Maksimal

Mbah Ribut mengutarakan, peran Pemerintah Daerah sebenarnya sangat diharapkan kontribusinya dalam melestarikan Wisata Ketek'an. Ia lantas membandingkan ketika Heru Tjahjono masih menjabat sebagai Bupati Kediri, masih ada perhatian dan kontribusi peran dari pemerintah daerah.

Bentuk perhatian tersebut diwujudkan dalam pemberian makanan setiap minggunya. Selain itu, disekitaran area makam juga ditanami pohon buah-buahan.

"Lewat Dinas ditanami pohon buah-buahan seperti jambu, belimbing, matoa, rambutan. Kepedulian bapak Bupati Heru seperti itu. Itu dilakukan supaya kera kera disini tidak punah," tuturnya.

Namun, setelah Heru Tjahjono mengakhiri masa kepemimpinannya selama dua periode jadi Bupati, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kediri mulai melupakan Desa Ngunjak.

"Sampai sekarang ini dua periode belum ada kepedulian dari Pemda. Mudah mudahan bapak bupati sekarang, ada kepedulian seperti dulu," harap mbah Ribut Kantenan.

Mbah Ribut yang merupakan generasi ketiga penjaga tempat wisata Ketek'an menilai saat ini prasarana yang ada di Desa Ngujang dirasa kurang baik sebagai tempat wisata. Mbah Ribut menyebutkan Dinas Pariwisata (Dispar) Provinsi Jatim sudah pernah meninjau secara langsung beberapa bulan lalu.

Ia berharap kedatangan Dispar Jatim bisa membawa perbaikan dan perubahan sarana dan prasarana di Wisata Ketek'an.

Wisata Kete\\\\\\\\\'anPenjaga tempat wisata Kete\'an saat memberikan makan kerumunan kera. (Foto: Tagar/Fendhy Lesmana)

Pantangan Menganggu dan Merebut Istri Orang

Selain tempat pemakaman umum, di Wisata Ketek'an juga terdapat sebuah bangunan Pakunden. Pakunden ini dulunya pernah dibuat singgah oleh sesepuh desa Eyang Setonorenggo.

Ditempat ini, pengunjung biasa berdoa mengalap berkah sesuai dengan kepercayaan keyakinan masing masing. Siapa pun diperbolehkan datang ke sini, tidak ada pantangan apa pun.

Hanya saja bagi siapa pun yang datang hendaknya diperkenankan untuk tidak menggangu isteri orang.

"Pantangan kalau di sini enggak ada, cuman tidak diperkenankan mengganggu isteri orang, atau istilahnya merusak pagar ayu. Kalau ziarah ke sini jangan sampai hal itu dilanggar, tidak baik. Mau nikah lagi kalau mau silakan. Asal jangan mengganggu isteri orang," ujar Mbah Ribut.

Jika hal ini dilanggar, tentunya akan ada konsekuensi atas perbuatan yang telah dilakukan. Sebelum pengunjung melakukan ritual ngalap berlah, terlebih dahulu diberitahukan untuk tidak melanggar larangan yang sudah ditentukan.

Kera abu-abu yang ada di Wisata Desa Ketek'an, memiliki ketahanan fisik yang baik terhadap kondisi cuaca, meski memasuki musim penghujan sekali pun. Jika hujan kera-kera ini memilih berlindung rerindangan pohon tua yang bercokol di area tempat pemakaman umum.

Bagi pengunjung yang memiliki niatan untuk memberi makan kera yang ada di sini, tidak perlu repot membawa bekal dari rumah. Disekitaran Wisata Ketek,an ada sebuah warung yang menjual buah pisang dan kacang kulit.

Tak jarang ketika ada pengguna jalan yang melintas di jembatan Desa Ngujang , melihat segerombolan kera sedang bersiweran di atas trotoar jalan, mereka spontan melemparkan makanan dari mobil. []

Baca juga:

Berita terkait
Waspada Pencurian Menyamar Petugas PLN di Kediri
Kapolres Kediri AKBP Ronie menjelaskan SGH sudah belasan kali beraksi melakukan tindak pencurian dengan cara menyamar sebagai pegawai PLN.
RSUD dr Iskak Tulungagung Rumah Sakit Terbaik Dunia
RSUD dr Iskak menjadi rumah sakit terbaik dunia setelah meraih piagam Gold Award untuk kategori IHF/Bionexo Excellence Award for CSR.
Tri Rismaharini Pasrah CPNS Guru Minim Pendaftar
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini memprioritaskan formasi guru dalam penerimaan CPNS 2019 dikarenakan banyaknya guru yang memasuki masa pensiun.
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.