Untuk Indonesia

Jangan Hukum Mati Koruptor

Korupsi jelas tindakan merugikan bangsa. Namun, daripada dihukum mati, kenapa tidak memanfaatkan mereka untuk hal lain demi penghematan?
Ilustrasi korupsi (Foto: Istimewa)

Oleh: Teguh Arianto

Saat menjadi Ketua Komisi Yudisial, Busyro Muqoddas pernah berpendapat koruptor bisa dihukum mati karena diatur dalam Undang-Undang Korupsi. “Komisi Yudisial sangat mendukung penerapan hukuman mati bagi koruptor. Masalahnya adakah jaksa dan hakim yang mau menerapkannya. Jaksa dan hakim kita tidak banyak yang punya keberanian, lain dengan China,” kata Busyro Muqoddas (Jurnal Nasional, 8-4-2010).

China memang bukan Indonesia. Sekali pun Pemerintah China gencar memerangi korupsi, sesungguhnya mereka juga kewalahan. Kewalahan meladeni “kelakuan anak bangsanya yang malah rela pasang badan bahkan nyawa daripada hidup miskin.” Di sini, sekalipun tidak ada yang rela pasang nyawa namun karena sudah menjadi kejahatan yang biasa ketimbang kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) maka yang namanya operasi tangkap tangan bak menjadi "acara mingguan" Komisi Pemberantasan Korupsi. Pertanyaannya: efektifkah hukuman mati bagi koruptor?

Orang boleh saja setuju dengan pendapat Busyro Muqoddas, tetapi tidak setuju pun tidak apa-apa. Saya termasuk yang tidak begitu menyetujui hukuman mati bagi koruptor. Sesungguhnya suatu kerugian yang teramat besar menghukum mati seorang koruptor. Sayang bila nyawanya harus dipisahkan dengan raganya. Terlebih, koruptor bukan orang sembarangan:  gizinya amat terjaga.


Koruptor Penjahat Luar Biasa

Dulu, penjara atau lembaga pemasyarakatan mungkin dihuni narapidana dengan latar belakang pendidikan formal paling banyak setingkat  SD. Sekarang hebat. Lulusan D-3 atau S-1 itu biasa. LP Cipinang dan Sukamiskin dihuni narapidana bergelar master, doktor bahkan profesor. Sudah pendidikan formalnya tinggi, profesi atau pekerjaannya juga tidak sembarangan. Mereka berdatangan dari pemerintahan atau lembaga negara sebagai (awalnya) pejabat (bukan penjahat). Karena itu harap  jangan remehkan Cipinang atau Sukamiskin. Penghuninya hebat-hebat...

Sesungguhnya, “Tidak 1)  Setiap orang 2) Punya kesempatan dan 3) niat untuk korupsi.”  Kenapa? Karena tidak segampang itu seseorang bisa menjadi pejabat. Namun begitu, tidak setiap pejabat baik di pemerintahan atau lembaga negara punya kesempatan kecuali yang menangani proyek atau berhubungan dengan orang lain (tanda tangannya bisa “dijadikan” fulus). Biarpun menjadi pejabat dan punya kesempatan, tetapi bila tidak diniatkan menjadi manusia serakah, tidak bisa kita katakan setiap pejabat adalah penjahat.

Karena itu tidak gampang menjadi seorang koruptor. Apalagi, koruptor bukan manusia sembarangan. Tubuhnya sehat jasmani, maklum asupan makanannya tergolong 4 sehat dan 5 sempurna bahkan berlebihan.

Masih ingat dengan film Dirty Dozen yang dimainkan Theo Savalas dan Charles Bronson? Film ini menceritakan pemanfaatan tentara narapidana untuk sebuah operasi khusus. Di Amerika Serikat hal biasa memanfaatkan narapidana, termasuk menjadi tentara, apalagi di masa Perang Dunia II. Siapa bilang, memanfaatkan kekuatan jasmani dari narapidana termasuk koruptor dianggap sebagai eksploitasi manusia oleh manusia lainnya? 

Bandingkan dengan uang negara yang harus dikeluarkan untuk keperluan penjara dan penghuninya. Kejahatan seorang koruptor adalah kejahatan yang merugikan keuangan dan atau perekonomian negara. Masa penghukuman harus 100% negara juga yang menanggungnya. Tidakkah ada sedikit usaha untuk meringankan beban negara dengan ikut serta dalam penanggungan ongkos hidupnya sebagai narapidana?

Uang korupsi memang bisa dikembalikan tetapi inti dari tindak pidana korupsi adalah perbuatan dan akibat dari perbuatannya. Perbuatannya saja sudah terlarang (mencuri, mengambil, memeras, meminta-minta atau menggelapkan sesuatu dari keuangan negara). Apalagi akibat dari perbuatannya mengakibatkan terciptanya gizi buruk, kelaparan, ekonomi biaya tinggi, dan lain sebagainya.

Kalau seorang koruptor dihukum mati, dipisahkan nyawa dengan raganya, ini sama artinya nol besar. Kalau upah minimum regional Jakarta misalnya Rp 3,5 juta/bulan maka bila seorang koruptor dihukum 10 tahun penjara artinya kita mendapatkan “tenaga gratis” senilai: (10 X 12 bulan X Rp. 3,5 juta) Rp. 420 juta. Kalau dalam penjara dinegeri ini jumlah narapidana koruptor ada 1000 itu artinya 420 miliar nilai gratisnya.

Bila disuatu daerah yang terpencil dan terluar kekurangan guru dan banyak koruptor dengan gelaran akademik yang mentereng, alangkah baik bila mereka dikaryakan sebagai guru. Pagi hingga petang mengajar di sekolah-sekolah, sorenya pulang dan masuk lagi ke sel.

Kalau narapidana korupsi bisa dikaryakan, negara dan pemerintah sama-sama diuntungkan. Ongkos penghidupan dan kehidupan sehari-hari dalam penjara menjadi berkurang karena uang makan siang menjadi tanggungan pihak yang menerima pengkaryaanya. 

Pemerintah untung karena anggaran penyelenggaraan pendidikan bisa berkurang, plus pemerataan pendidikan bisa menjamah daerah yang biasanya ogah ditinggali pegawai negeri sipil yang sudah ber-Surat Keputusan Pengangkatan sebagai PNS. Selain itu yang juga tidak kalah penting, rakyat tidak terlalu menjadi sakit hati bila nonton berita di TV yang isinya OTT KPK terus. Seakan sifat serakah menjadi khas sifat pejabat negeri ini.

Selain rugi, mematikan koruptor juga melahirkan beban baru yang tidak sedikit dan besar. Bukan cuma biaya pemakamannya, biaya-biaya lain akan timbul khususnya untuk acara tahlilan/yasinan. Itu jika pihak keluarga yang ditinggalkannya mengerti. Jika tidak, mungkin saja ada perlawanan entah di Pengadilan Tata Usaha Negara atau mungkin malah di Mahkamah Konstitusi.

Mudah-mudahan ada pihak yang sejalan atau sepemikiran dengan pendapat ini yang,  walaupun sedikit gila dan aneh, patut diperhitungkan. Tak percaya, silakan  hitung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk pos Kementerian Hukum dan HAM. Berapa besar biaya untuk kelanjutan hidup narapidana korupsi. []

Penulis pernah bekerja pada Lembaga Konsultan dan Bantuan Hukum Putra Bangsa, Tangerang. Kini wiraswasta.

Berita terkait
Musim PK Koruptor Telah Tiba
Mahkamah Agung mengurangi hukuman para koruptor. Pengajuan PK makin banyak setelah hakim Artidjo Alkostas pensiun. Opini Lestantya R. Baskoro
Dugaan Korupsi Rp 21 M di Aceh Singkil Mangkrak
Kejaksaan Tinggi Aceh diminta mengambil alih kasus dugaan korupsi jalan Singkil-Teluk Rumbia senilai Rp 21 miliar.
Kejati Sul-Sel Dinilai Tak Komitmen Berantas Korupsi
ACC menilai keputusan kejati Sul-Sel memberikan penangguhan penahanan kepada Jen Tang menjadi bukti tidak ada komitmen pemberantasan korupsi.
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.