Ibu Melahirkan di Selembar Kain Saat Tsunami Aceh

Nadiah berjuang melahirkan anaknya tanpa bantuan medis saat bencana Tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004 silam.
Razali memperlihatkan foto putranya saat masih kecil kepada para wartawan di rumahnya di Desa Lampageu, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Minggu 22 Desember 2019. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)

Banda Aceh - Pagi itu, lima belas tahun yang lalu di Desa Lampageu, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, sambil berlari ke rumahnya, Razali berteriak bahwa air laut naik ke darat. Orang-orang bingung, Beberapa di antara mereka tak percaya.

“Saat lari, mata saya tetap ke arah ombak itu, ombaknya tidak hilang dan terus mengejar saya, saya sampai ke rumah, ombak itu semakin dekat, saya sampaikan sama keluarga dan yang dekat-dekat kami, saya suruh teriak dan suruh lari,” kata Razali pada Tagar, Minggu 22 Desember 2019. Pria berusia 66 tahun itu menjadi saksi hidup bagaimana dahsyatnya gempa dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 silam.

Berjarak sekitar puluhan meter di belakang, air laut tampak mengejar Razali. Ia terus lari menuju rumahnya untuk menyelamatkan keluarga dan kerabat lainnya. Tiba di rumah, Razali memberi tahu keluarga dan meminta untuk lari ke daratan lebih tinggi.

Dengan gandengan tangan Razali, sang istri Nadiah kemudian lari terseok-seok. Maklum, wanita yang kini berusia 55 tahun, saat itu sedang mengandung hampir usia sembilan bulan. Dengan kondisi hamil tua, Nadiah terus berjuang mencapai permukaan lebih tinggi agar air laut tak menenggelamkannya.

“Saya pegang di tangan istri saya dan anak-anak yang masih kecil, kami lari ke arah gunung, saat lari, ombak itu makin dekat, kira-kira 15 meter naik gunung, baru ombak sampai di kaki istri saya,” ujar Razali.

“Istri saya tarik kuat-kuat, dia bilang jangan begitu, “saya tidak mau pergi lagi, sudah capek”,” ucap Razali meniru ucapan istrinya saat kejadian.

Saya cari kain, dapat kain jendela selembar, untuk dia melahirkan.

Saat tiba di pegunungan, Razali dan keluarga berbaur dengan masyarakat lainnya yang selamat. Mereka kemudian menggelar musyawarah terkait bagaimana tujuan ke depan. Hasil musyawarah memutuskan semua warga bergerak ke permukaan lebih tinggi lagi.

“Kami istirahat dan kumpul di sana yang masih selamat, bertanya-tanya kemana tujuan kita? ini sudah di rimba, ada sisa-sisa orang tua sepakat bahwa kita harus naik lebih tinggi lagi,” ujar Razali.

Selanjutnya, Razali dan keluarga serta masyarakat lainnya bergerak ke arah lebih tinggi. Sekira pukul 16.00 WIB, mereka tiba di tujuan dan memutuskan istirahat di sana. Tak berselang lama, Nadiah mengaku nyeri di perutnya, menandakan bahwa akan melahirkan.

Tidak ada stok makanan.

Singkat cerita, sekira pukul 18.00 WIB, di tengah-tengah hutan berantara, Nadiah berjuang melahirkan anaknya tanpa bantuan medis. Perasaan khawatir mulai timbul dari benak Razali. Ia tak tahu kemana harus mengadu terkait nasib sang istri.

Dia lalu turun gunung dan menyisari puing-puing bekas terjangan ombak tsunami. Dari jarak jauh, Razali melihat ada sehelai gorden, lalu ia mengambilnya dan membawa ke pegunungan. Tiba di sana, gorden itu digelar di atas rumput.

“Saya turun ke pinggir-pinggir itu, saya cari kain, dapat kain jendela selembar, maka saya bawa ke sana untuk dia melahirkan, kain itu saya gelar di atas rumput, saya cari plastik dan dapat lagi yang dibawa tsunami, kemudian saya gelar di sana, lalu istri tidur di sana,” kenangnya. 

Tsunami AcehRazali menceritakan kisah pilu sang istri melahirkan saat tsunami 2004 silam kepada wartawan di rumahnya di Desa Lampageu, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Minggu 22 Desember 2019. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)

Mata Razali memerah dan berbinar-binar saat menyisahkan pilu peristiwa yang ia alami 15 tahun silam. “Sedih memang kalau kita pikir-pikir,” lanjut Razali.

Kesedihan Razali semakin terlihat saat menceritakan setelah sang buah hati lahir ke dunia. Ia tak tahu bagaimana caranya memotong tali pusar. Tak ada barang tajam, apalagi gunting layaknya di rumah-rumah sakit.

“Waktu potong tali pusar di situ tidak ada cerita lagi, siapa yang potong, dengan apa dipotong, pakai apa untuk dipotong, waktunya udah azan magrib, saya lari lagi ke pinggir air di remang-remang itu dapat lagi parang bekas itu. Bawa ke sana sama-sama, potong tali pusar, lalu diikat dengan buli guni, dibalut dengan kain,” kata Razali.

Di benak Razali saat itu hanya satu harapan, yakni istri dan sang buah hati harus selamat. Anaknya yang baru lahir kemudian diberi nama Muhammad Rizal. Setelah melahirkan, mereka bertahan di pegunungan selama tiga hari. Tak ada minuman, apalagi makanan. Mereka menyesuaikan diri dengan alam dan memanfaatkan hasil tanaman yang ada, salah satunya kelapa.

“Tidak ada stok makanan, sebenarnya kami tidak memikirkan soal makanan karena sudah panik, kemudian saya turun gunung lagi, dapat satu karung beras yang sudah berantakan, saya bawa ke sungai, dicuci hilangkan lumpur, lalu saya suruh masak sama warga di gunung,” ujar Razali.

Razali dan keluarga baru turun ke perdesaan pada Rabu, 29 Desember 2004 atau tiga hari setelah gempa dan tsunami. Mereka kemudian berjalan hingga ke pusat kecamatan. Di sana, bantuan makanan sudah mulai terlihat.

Bayi ditidurkan di puing-puing bekas tsunami.

“Kami duduk di simpang kantor camat, saat itu ceritanya sudah nampak hangat sedikit, bantuan sudah mulai berdatangan,” katanya.

Berselang dua hari, Muhammad Rizal dijenguk oleh Camat Kecamatan Peukan Bada. Razali tak tahu lagi siapa nama sosok tersebut. “Rizal kemudian dibawa pulang ke rumah orang, saya juga tidak tahu ke rumah siapa,” kata Razali.

Tsunami AcehMuhammad Rizal didampingi ayah Razali dan ibu Nadiah memperlihatkan fotonya saat masa kecil di Desa Lampageu, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Minggu 22 Desember 2019. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)

Detik-detik Melahirkan di Hari Tsunami

Nadiah baru saja menjemur kain di depan rumahnya, di atas tali sepanjang enam meter yang telah diikatkan ke pohon. Setelah itu, ia duduk di lesehan depan rumah, mendampingi sang suami yang sedang merajut jala.

Di depan, beberapa wartawan dilengkapi kamera menghadap ke arah Nadiah. Di sana, Nadiah mulai menceritakan bagaimana kisahnya pilunya berjuang melahirkan Muhammad Rizal, tepat 15 tahun silam.

“Saat itu saya tidur di atas kain bekas tsunami, demikian juga bayi yang ditidurkan di atas kain yang dicari di puing-puing bekas tsunami,” kata Nadiah.

Saat detik-detik melahirkan, Nadiah sudah pasrah. Perasaannya harap-harap cemas menanti kelahiran sang buah hati. Harapannya cuma satu yakni Muhammad Rizal bisa selamat.

Alhamdulillah, si Rizal sehat wate lahe, hana sapeu-sapeu dan hana mo, lon bi ASI dan jih han ek susu, (Alhamdulillah, si Rizal sehat waktu lahir, tidak apa-apa dan tidak menangis, saya beri ASI karena dia tidak mau susu,” kata Nadiah.

Tsunami AcehMuhammad Rizal, putra dari pasangan Razali dan Nadiah saat sarapan pagi di rumahnya di Desa Lampageu, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Minggu 22 Desember 2019. Muhammad Rizal lahir ke dunia beberapa jam setelah gempa dan tsunami Aceh 2004 silam. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)

Rizal dan Kenangan 15 Tahun Tsunami

Seiring berjalannya waktu, kini Muhammad Rizal telah tumbuh menjadi sosok remaja. Usianya saat ini menginjak 15 tahun dan duduk di kelas satu salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Aceh.

Sementara Razali dan keluarga, mereka juga sudah melupakan trauma dan mulai kembali menatap masa depan. Hari-hari Razali tetap sebagai nelayan, ia merajut jala dan kemudian dijual kepada nelayan lainnya.

Waktu potong tali pusar di situ tidak ada cerita lagi.

“Alhamdulillah saya lahir selamat meskipun di gunung, kan kita mana tahu urusan selamat bukan di kita, itu kan urusan Allah,” kata Muhammad Rizal.

Di sekolah, Muhammad Rizal aktif di berbagai kegiatan. Seperti pada peringatan 17 Agustus 2019 lalu, ia menjadi salah satu Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) di Kecamatan Peukan Bada.

Selain di sekolah, Muhammad Rizal juga mengenyam pendidikan Islam di pesantran atau dayah. Di sana, ia aktif sebagai salah satu anggota zikir. Pada saat maulid Nabi Muhammad SAW, ia selalu disertakan dalam perayaan itu.

“Perbedaan sekolah dan dayah jauh, di sekolah kita diajari dengan pengetahuan alam dan umum, kalau di dayah kita ditekankan lebih untuk menghafal,” kata Muhammad Rizal. []

Baca cerita lain: 

Berita terkait
Jejak Belanda di Serambi Mekkah di Atas 2.200 Makam
Nur Habibah tampak tersenyum. Tangan kanannya memegang sapu lidi ia berjalan di sela-sela perkuburan Kerkhof Petjut Kota Banda Aceh, Aceh.
Karena Tak Ada Bioskop di Aceh
Tak ada bioskop di Aceh, pemuda Ichsan Maulana nonton film Hit and Run dan Joker di Medan, Sumatera Utara. Faisal Al-Banna nonton di internet.
Cerita Jeurat Panyang, Kuburan 17 Meter di Aceh
Sepanjang jalan menuju Jeurat Panyang di Desa Blang Raja, Kecamatan Babahrot Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh kondisinya bebatuan dan berlubang.
0
Dua Alasan Megawati Belum Umumkan Nama Capres
Sampai Rakernas PDIP berakhir, Megawati Soekarnoputri belum mengumumkan siapa capresnya di Pilpres 2024. Megawati sampaikan dua alasan.