Gus Dur, Presiden RI yang Humanis dan Humoris

Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid, akrab disapa Gus Dur wafat 10 tahun yang lalu pada 10 Desember 2009, dikenal sebagai presiden yang humanis
Gus Dur (Foto: nu.or.id)

Jakarta – Hari ini, 30 Desember, tepatnya 10 tahun lalu, Indonesia harus kehilangan seorang tokoh agama sekaligus presiden keempat, KH Abdurrahman Wahid, atau yang akrab disapa Gus Dur. Suami dari Sinta Nuriyah ini meninggal akibat penyumbatan pada pembuluh nadi.

Sebelum menjadi Presiden RI, kiai kelahiran Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 ini telah terlebih dahulu dibekali dengan ilmu-ilmu agama sedari kecil oleh sang kakek, KH Hasyim Asy’ari. Bahkan, di usia lima tahun, Gus Dur telah lancar membaca Al-Qur’an.

Pada 1944, Gus Dur bersama sang ayah harus pindah ke ibu kota, Jakarta. Pasalnya, saat itu, ayahnya terpilih menjadi ketua Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Namun, setelah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan, Gus Dur kembali ke Jombang. Kemudian, saat ayahnya ditunjuk menjadi Menteri Agama pada 1949, Gus Dur kembali ke Jakarta.

Di Jakarta, Gus Dur kecil menimba ilmu di SD Kris, sebelum akhirnya pindah ke SD Matraman Perwari. Setelah lulus SD, Gus Dur melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta. Sembari menimba ilmu di SMEP, Gus Dur mondok di Pesantren Krapyak.

Setelah menyelesaikan pendidikan-pendidikan dasarnya, pada tahun 1957, Kiai penggemar musik klasik ini mulai memperdalam ilmu agamanya dengan menjadi santri di Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah. Setelah dua tahun berselang, ia pindah ke Pesantren Tambakberas, Jombang. Selagi menimba ilmu di Pesantren Tambakberas, presiden yang terkenal sering melontarkan kalimat "Gitu Aja Kok Repot" ini bekerja sebagai guru dan sebagai jurnalis di Majalah Budaya Jaya dan Majalah Horizon.

Selanjutnya, dengan menerima beasiswa dari Kementerian Agama saat itu, Gus Dur berangkat ke Kairo, Mesir, dan masuk ke Universitas Al-Azhar di Fakultas Syari’ah. Di sana, Gus Dur aktif di Asosiasi Pelajar Indonesia dengan menjadi jurnalis di asosiasi tersebut. Selain itu, presiden pengganti BJ Habibie ini juga sering menghabiskan waktu luangnya dengan menonton film-film Eropa dan pertandingan sepakbola.

Pada tahun 1966-1970, Gus Dur kembali menerima beasiswa dan melanjutkan pendidikan pascasarjana di Universitas Baghdad, Irak, Jurusan Sastra Arab.

1. Masa Kepresidenan

Pada 20 Oktober 1999, Gus Dur ditunjuk dan dilantik sebagai presiden RI dengan menggandeng Megawati Soekarnoputri sebagai Wakilnya. Di masa pemerintahannya, Gus Dur membentuk Kabinet Persatuan Nasional yang diisi oleh orang-orang dari bermacam partai politik, non-pastisipan, dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Bersama kabinetnnya, Gus Dur membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial yang jaya di era kepemimpinan Soeharto.

Di tahun yang sama dengan pelantikannya, Gus Dur melakukan perjalanan ke berbagai negara ASEAN seperti, Jepang, Qatar, Kuwait, Yordania, dll, dan di tahun yang sama pula, salah satu menterinya, Menteri Pengentasan Kemiskinan, Hamzah Haz, mengundurkan diri dari kabinetnya. Keluarnya Hamzah Haz pada saat itu sempat menimbulkan berbagai spekulasi di masyarakat.

gusdur1Gus Dur (Foto: gusdur.net)

Memasuki tahun 2000, Gus Dur sering berkunjung ke berbagai negara seperti, kunjungan ke Swiss untuk menghadiri Forum Ekonomi Dunia. Sebelum pulang ke Indonesia, Gus Dur terlebih dahulu mampir ke Arab Saudi. Selain itu, pendiri The Wahid Institute ini juga pernah berkunjung ke Belanda, Jerman, Inggris, Prancis, Italia, Korea Selatan, Brunei Darussalam, India, Thailand, Timor Leste, Kuba, Iran, Pakistan, dan lain-lain.

Pada Februari hingga April, Gus Dur memecat tiga menteri pada saat itu, yakni, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan yang dijabat oleh Wiranto, Menteri Negara Perindustrian dan Perdagangan yang saat itu dipegang oleh Jusuf Kalla, dan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi. Gus Dur punya alasan tersendiri atas pemecatan menteri-menterinya, mulai dari tuduhan pelanggaran HAM hingga dugaan terlibat korupsi. Kejadian ini sempat membuat hubungan Gus Dur dengan Partai Golkar dan PDIP merenggang.

Selama menjabat, Gus Dur sering menggunakan pendekatan-pendekatan simpatik dalam menyelesaikan beberapa kasus seperti pada kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Selain itu, ia juga pernah meminta maaf kepada anggota keluarga PKI yang telah meninggal dan disiksa.

Di tahun 2000-an, kasus Buloggate dan Bruniegate mulai mencuat. Kasus buloggate terjadi ketika Gus Dur hendak meminjam kas dari Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk program pembangunan seperti pembangunan infrastruktur, transportasi, pendidikan dan sosial di Aceh (Januari, 2000). Meski sempat diimbau untuk berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPR, Gus Dur menolak. Empat bulan berselang (Mei, 2000) uang senilai 4 juta dolar AS lenyap dari kas Bulog. Tukang pijat Gus Dur, Suwondo yang merupakan tersangka utama dalam kasus ini mengaku mendapat perintah dari Gus Dur untuk mengambil kas Bulog. Namun, Gus Dur dinyatakan tidak terlibat oleh Kejaksaan Agung.

Sedangkan kasus Bruneigate, terjadi ketika Gus Dur berkunjung ke Brunei dan menemui Sultan Brunei saat itu (Februari, 2000). Dalam pertemuan tersebut, Gus Dur mengajak Sultan Brunei untuk berinvestasi di Aceh. Sang sultan setuju dan menyumbangkan dana sebesar 2 juta dolar AS yang masuk ke rekening pemerintah. Pada saat itu, Sultan meminta Gus Dur untuk merahasiakan uang bantuan yang diberikan. Alhasil, Gus Dur tak pernah mengumumkannya kepada publik. Sehingga pada saat itu muncul anggapan kalau Gus Dur menyimpan uang tersebut untuk kepentingan pribadinya.

2. Permakzulan

Pada Januari 2001, dalam suatu pertemuan dengan para rektor universitas, Gus Dur menyatakan adanya kemungkinan Indonesia masuk ke dalam anarkisme, ia menambahkan akan membubarkan DPR jika hal itu terjadi. Bulan berikutnya, DPR mengadakan pertemuan dengan tujuan mengeluarkan nota berisi Sidang Khusus MPR di mana permakzulan presiden dapat dilakukan. Sejak saat itu gerakan anti-wahid semakin terlihat bersamaan dengan para demonstran NU yang siap membela Gus Dur sebagai presiden sampai titik darah penghabisan.

Selama masa krisis pemerintahannya, Gus Dur kembali mencopot jabatan beberapa menteri di kabinetnya. Setelah beberapa hari berselang, tepatnya pada April, 2001, DPR kembali mengeluarkan nota dengan permintaan diadakannya sidang istimewa MPR pada 1 Agustus 2001.

Di masa genting tersebut, Gus Dur lagi-lagi memberhentikan beberapa menterinya termasuk Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keagamaan. Hal tersebut terjadi karena SBY menolak untuk menyatakan keadaan darurat.

Pada 20 Juli 2001, Amien Rais mengumumkan memajukan Sidang Istimewa MPR dari 1 Agustus ke 23 Juli 2001.

Sebelum permakzulannya, Gus Dur sempat mengeluarkan dekrit presiden, namun dekrit tersebut tak mendapat dukungan. Akhirnya, pada 23 Juli 2001, Gus Dur resmi dimakzulkan dan jabatan presiden berpindah ke wakilnya, Megawati Soekarnoputri.

Beberapa hari lalu, tepatnya 28 Desember 2019, pada peringatan haul Gus Dur, beberapa tokoh politik dan tokoh agama nampak hadir seperti, Mahfud MD, Kardinal Mgr Ignatius Suharyo, Quraish Shihab, dan lain-lain.

Dalam peringatan yang digelar di kediaman Gus Dur di Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan itu, istri Gus Dur menyampaikan sebuah keinginannya kepada masyarakat agar tak hanya mengenal Gus Dur sebagai presiden dan kiai, namun juga sebagai humanis, demokratis, humoris, dan budayawan.

“Selama ini, orang hanya mengenal Gus Dur sebagai presiden dan kiai. Saya mau beliau dikenal sebagai humanis, demokratis, dan humoris. Saya juga ingin beliau dikenang sebagai budayawan,” ujar Sinta Nuriyah.

Pendidikan:

Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) (1953)

Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah (1957-1959)

Pesantren Tambakberas, Jombang, Jawa Timur (1959-1963)

Fakultas Syari’ah, Al-Azhar University, Kairo, Mesir (1964-1966)

Jurusan Sastra Arab, Universitas Baghdad, Irak (1966-1970)

Karier

Dekan dan dosen, Fakultas Ushuludin, Universitas Hasyim Ashari, Jombang (1972-1974)

Sekretaris Umum Pesantren Tebu Ireng (1974-1980)

Katib Awwal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) (1980-1984)

Ketua Dewan Tanfidz PBNU (1984-2000)

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) (1987-1992)

Anggota MPR RI (1989-1993)

Ketua Dewan Syura DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) (1998)

Presiden RI (1999-2001)

PBNU, Mustasyar (2000)

Rektor Universitas Darul Ulum, Jombang (2002)

Pendiri The Wahid Institute (2004)

Penghargaan

Islamic Missionary Award, Pemerintah Mesir (1991)

Magsaysay Award, Manila, Filipina (1993)

Paul Harris Fellow, The Rotary Foundation of Rotary International (2000)

Ambassador of Peace dari International and Interreligious Federation for World Peace (IIFWP), Amerika Serikat (2000)

Public Service Award, Universitas Columbia (2001)

Dare to Fail Award, World Peace Prize Award, dan Global Tolerance Award (2003)

Bapak Ombudsman Indonesia (2010)

Tokoh Pendidikan oleh Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) (2010). []

Berita terkait
Haul Gus Dur ke-9, Ganjar Pranowo: Spirit Gus Dur Harus Dihadirkan Kembali
Tidak gontok-gontokan tidak caci maki, tidak ngomong sing cepede cepede, ngomongnya mungkin berbobot.
Foto: Tokoh Negara Hadiri Haul ke-9 Gus Dur
'Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan' spirit ini dibangun dalam haul ke-9 Gus Dur. Berikut foto-fotonya.
Pesan dari Haul Gus Dur untuk Calon Presiden: Politik Bukan Tujuan
'Politik bukan tujuan, melainkan sarana untuk menegakkan nilai-nilai luhur kemanusiaan.' Haul Gus Dur untuk calon presiden