Gubuk Reot Aji Berubah Rumah Susun Saat Pandemi

Sebelum menempati rusunawa Gebang Raya, Aji dan keluarganya tinggal di gubuk reot yang berdiri di tanah sengketa di Kota Tangerang, Banten.
Barokal Aji bersama istri dan anak saat menempati Rusunawa Periuk. (Foto: Tagar/Mauladi Fachrian)

Tangerang – Perasaan senang dan terharu terlihat di wajah Barokal Aji, 31 tahun dan sang istri Putri Aulia, 30 tahun saat menempati Rumah Susun Sewa Sederhana (Rusunawa) Gebang Raya Blok C Nomor 518 di lantai 5, Tangerang, Banten. Pindah ke rusunawa menjadi berkah bagi Aji di tengah pandemi Covid-19.

Aji akhirnya bisa menempati rusunawa tersebut permohonannya disetujui oleh Camat Periuk, Maryono. Aji bisa menempati Rusunawa Gebang Raya Blok C nomor 518 karena tidak ada penghuninya.

Saya diberi kabar kalau akan dipindahkan ke rusun itu, katanya sedang ada yang kosong dan lagi diajukan ke Pak Camat.

Aji mengaku dirinya bisa menempati rusunawa berkat dibantu oleh tetangganya yang kebetulan bertugas di instansi di Kelurahan Gebang Raya dan tinggal di rusunawa tersebut.

“Saya diberi kabar kalau akan dipindahkan ke rusun itu, katanya sedang ada yang kosong dan lagi diajukan ke Pak Camat,” kata Aji yang saat ditemui Tagar mengenakan baju kaos coklat dan celana jeans, Minggu, 17 Mei 2020.

Aji mengaku bersyukur istri dan anaknya bisa pindah ke Rusunawa Gebang Raya, karena rumahnya sebelumnya sudah tidak layak huni dan berada di tanah sengketa.

Siang itu, proses pemindahan Aji bersama keluarganya berjalan lancar dan membutuhkan waktu hingga 3 jam. Dalam proses pindah tersebut, Aji dibantu oleh Camat Periuk Maryono dan personel kecamatan

Satu unit kendaraan milik Satpol PP disiapkan untuk mengangkut perabotan rumah tangga dan barang-barang milik Aji.

"Proses pindahan siang hari. Butuh waktu sekitar 2-3 jam sampai semuanya selesai rapi," kata dia.

Tinggal di rusunawa, Aji dibebaskan biaya sewa selama tiga bulan ke depan. Meski demikian, dirinya mengaku menyanggupi biaya sewa sebesar Rp 300 ribu pada bulan keempat.

“Nanti setelah 3 bulan, saya bayar normal. Sebulan Rp300 ribu, belum sama listrik dan air,” ucapnya.

Kendati demikian, ia menyatakan kesanggupannya dalam memenuhi biaya tersebut dengan harapan pekerjaannya lancar.

“Kalau kerjaan saya lancar, Insya Allah saya bisa memenuhi kewajiban itu. Apalagi kalau soal listrik, saya tidak punya banyak barang elektronik, hanya magicom dan lampu saja, pasti engga mahal,” tutur Aji.

Rusunawa TangerangWarga Tangerang, Banteng yang mendapatkan fasilitas menempati rusunawa Periuk. (Foto: Tagar/Mauladi Fachrian)

Gubuk Reot Berdiri di Atas Tanah Sengketa

Aji bersyukur akhirnya dirinya bersama istri dan anaknya bisa tinggal di rusunawa. Sebelumnya, Aji sejak lahir sudah harus berjuang menikmati tempat tinggal yang jauh dari kata layak huni.

Tidak seperti bayi pada umumnya yang bisa tidur di atas kasur empuk, dilindungi dengan kelambu agar terhindar dari gigitan nyamuk, apalagi atap rumah yang dihiasi dengan terangnya lampiun. Keadaan Aji jauh dari itu.

“Sejak lahir, saya bersama keluarga berhuni di atas rumah panggung berdiri dari sisa potongan kayu, bambu dan terpal serta asbes di bangun oleh almarhum bapak saya yang meningal 7 tahun lalu,” kata Aji.

Rumah panggung, tersebut berada di pojok jalan Bahagia VI, Perumahan Pondok Makmur yang merupakan jalan buntu dan berbatasan dengan Kampung Gebang raya, Kelurahan Gebang Raya, Kecamatan Periuk, Kota Tangerang, Banten.

Bangunan gubuk panggung tersebut terdiri atas dua bangunan secara bersandingan dan berdiri di atas tanah tidak jelas atau sengketa. Posisinya persis berhadapan dengan kolam pemancingan ikan.

Gubuk panggung dengan luas 3x4 meter persegi berdiri di atas tanah berukuran 5x5 meter, dengan dinding bambu yang disusun berbaris, atapnya menggunakan asbes. Lantainya beralaskan tanah yang ditutup dengan terpal.

Tak jarang ketika, ia sekeluarga sedang tidur di malam hari. Hembusan angin malam yang masuk melalui celah bambu membuat mereka kedinginan hingga menggigil.

"Tidak ada air bersih dan tidak ada listrik sedikit pun," tuturnya.

Untuk menerangi gubuknya di malam hari, Aji hanya menyediakan dua buah damar untuk 2 gubuknya. Damar merupakan alat penerangan pengganti lampu yang terbuat dari botol kaca bekas minuman yang diisi solar secukupnya dan ditambahkan sumbu terbuat dari kain.

Sedangkan untuk ketersediaan air, Aji menuturkan bahwa ia memiliki sebuah sumur dengan kedalaman 3 meter yang hanya digunakan untuk mencuci dan mandi saja. Sedangkan untuk memasak dan minum setiap hari, ia memintanya kepada warga sekitar.

“Ya seperti itulah kondisi rumah yang sejak lama saya tempati bersama keluarga saya.,” kata Aji dengan lirih.

Aji menuturkan kalau gubuk panggung miliknya itu sempat sudah beberapa kali diikutsertakan dalam program bedah rumah, namun sayangnya tidak lolos pada tahap verifikasi data mengingat status tanahnya bukan milik pribadi.

“Tanah ini ada yang punya, Cuma katanya masih sengketa juga,” ucap Aji.

Gubuk ReotGubuk reot yang sebelumnya ditempati Barokal Aji bersama istri dan anaknya. (Foto: Tagar/Mauladi Fachrian)

Tak Tamat SD dan Kerja Serabutan

Hari demi hari dilewati Aji dengan sabar sambil mengerjakan pekerjaan yang dianggapnya serabutan. Sejumlah pekerjaan dilakukan oleh Aji seperti sebagai buruh bangunan dan juga sebagai penjual kopi keliling.

“Kadang saya kerja bangunan, membetulkan atap rumah tetangga yang bocor atau sejenisnya. Terus enggak jarang juga saya dagang kopi keliling,” ujarnya.

Dari kerja bangunan, Aji bisa mendapatkan upah sebesar Rp 100-150 ribu, tergantung dari pekerjaannya. Sementara kalau dagang kopi keliling, hasil bersih bisa ia bawa pulang ke rumah sekitar Rp 70-80 ribu.

“Kalau kerja bangunan sih tergantung mandor yang ngajak. Tapi kalau enggak ada kerja bangunan, saya dagang kopi menggunakan sepeda motor bebek saya yang sudah tua untuk keliling,” ucapnya.

Bekerja serabutan sudah dilakukan Aji sejak lama. Ia sempat melamar kerja di sejumlah pabrik yang ada di Tangerang, hanya saja tak ada satu pun yang menerimanya.

Ia berulang kali harus gigit jari karena kalah bersaing dengan pelamar lainnya yang merupakan pendatang dari luar daerah. Aji kalah bersaing dengan lainnya, karena pendidikannya yang tidak tamat Sekolah Dasar (SD).

“Saya sekolah SD saja enggak tamat mas. Saat itu saya berhenti sekolah karena orang tua saya tidak mampu bayar. Jadi saya berhenti sekolah demi membela biaya dua adik saya. Alhamdulillah, kalau mereka lulus semua sekolahnya sampai SMA,” ujarnya.

Meski ditolak bekerja sebagai buruh pabrik, tetapi Aji tak patah arang. Selain bekerja bangunan dan berdagang kopi keliling, Aji juga pernah bekerja sebagai kenek dari sopir ekspedisi.

Ia mengantarkan barang dari Tangerang ke Jakarta. Pekerjaan tersebut tak berangsur lama, namun dari pekerjaan itu, ia dipertemukan dengan pujaan hatinya, Putri Aulia.

Pernikahan mereka telah dikaruniai seorang anak lelaki yang bernama Muhammad Al Fahri Saleh dan saat ini calon anak kedua sedang berada di dalam kandungan Putri dengan usia 7 bulan.

Kondisi itu dikatakan Aji tentunya menjadi energi tambahan dalam bekerja dan mencari nafkah dari kemampuan yang dimiliki olehnya.

“Karena biar bagaimanapun, saya harus tetap menafkahi istri dan anak-anak saya hingga harus bisa membawa mereka hidup di tempat yang layak,” tuturnya dihadapan istri dan anaknya.

Kini mimpi panjang Aji untuk membawa keluarganya ke dalam hunian layak sudah terwujud dari hasil kesabaran dan perilakunya baik terhadap lingkungan sekitar yang sudah banyak membantu.

“Saya ucapkan terima kasih kepada semua yang telah membantu saya dan keluarga hingga mengantarkan saya ke rumah ini,” katanya. []

Berita terkait
Manfaat Kue Nastar, Camilan Khas Lebaran
Kue nastar menjadi salah satu hidangan favorit saat perayaan hari raya Idul Fitri. Namun tahukah Anda manfaat dari kue nastar jika dikonsumsi?
Suatu Pagi di Gerai Emas Aneka Tambang Jakarta Timur
Dio mahasiswa, Anto Wibowo pensiunan, Wawan karyawan. Ini cerita mereka suatu pagi mengantre di gerai emas Aneka Tambang di Pulo Gadung Jakarta.
Saat Takbir Idul Fitri 2020 Berkumandang di Bantaeng
Allahu akbar, allahu akbar, allahu akbar, laa ilaaha illallahu wallahu akbar, allahu akbar wa lillahil hamd. Gema takbir Idul Fitri di Bantaeng.