Jakarta – Pada Senin 28 September 2020, Y.B. Satya Sananugraha selaku Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) bersama perwakilan dari organisasi keagamaan melakukan diskusi terkait RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang diadakan secara luring dan daring.
Diskusi ini merupakan kegiatan Seminar Nasional Kerjasama antara Kemenko PMK bersama Pusat Studi Islam, Perempuan dan Pembangunan Institut Teknologi dan Bisnis ‘Ahmad Dahlan’ Jakarta. Dengan tema ‘Meneguhkan Peran dan Tanggung Jawab Negara bagi Perlindungan Korban Kekerasan Seksual’.
Menurut Sananugraha, kasus kekerasan terhadap perempuan telah masuk dalam kondisi darurat dan terus meningkat. Ini sesuai dengan data dari Komnas Perempuan yang menyatakan peningkatannya hampir 8 kali lipat dalam 12 tahun terakhir. Bahkan selama Covid-19 angkanya meningkat hingga 58% dan menurutnya angka tersebut tidak pasti atau bisa jadi lebih besar dikarenakan banyak dari korban yang enggan untuk melapor.
"Kekerasan seksual di Indonesia sudah dalam kondisi darurat, sehingga harus ditangani secara tepat, adil, komprehensif dan holistik, “ ucap Sananugraha Ketika membuka Diskusi II: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
Sananugraha juga menyampaikan keinginannya agar kasus kekerasan seksual di Indonesia dapat memiliki landasan hukum yang luas dan lengkap.
Harapan kami, RUU PKS kembali masuk Program Legislatif Nasional (Prolegnas) 2021, dan dapat segera diselesaikan
Diskusi ini menghadirkan narasumber seperti Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Dr. Hamim Ilyas, Parisadha Buddha Samanta Surya, Komisioner Komnas Perempuan dan umat Kristiani Theresia Sri Endras Iswarini, dan Ketua GEMAKU Kristan. Kemudian, yang bertugas sebagai penanggap yakni Dosen Univeritas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng NTT, Fransiska Widyawati.
Diskusi tersebut diadakan untuk mendapatkan berbagai pandangan terkait penangan kekerasan seksual terhadap perempuan baik dari segi pandang keimanan dan juga kebudayaan.
Baca juga:
Hasil dari diskusi tersebut didapatkan bahwa tidak ada satupun yang membenarkan untuk membiarkan terjadinya kekerasan, terlebih kepada perempuan dan negara ini perlu untuk memiliki undang-undang atau pedoman untuk menangani kasus kekerasan tersebut yaitu dengan mengesahkan RUU PKS. []