Diskualifikasi Cakada Pelanggar Protokol Kesehatan

Perludem sepakat jika calon kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan mendapat sanksi tegas berupa diskualifikasi.
Petugas memakaikan masker kepada warga yang kedapatan tidak mengenakan masker saat digelar razia penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Total di wilayah perbatasan DKI Jakarta dengan Tangerang Selatan di Bintaro, Jakarta, Senin, 14 September 2020. Provinsi DKI Jakarta kembali menerapkan PSBB Total untuk menekan penyebaran dan penularan COVID-19, di mana Jakarta menjadi wilayah yang penyebarannya terus meningkat. (Foto: Antara/Muhammad Iqbal)

Jakarta - Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Heroik Muttaqin Pratama sepakat jika calon kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan mendapat sanksi tegas berupa diskualifikasi.

Kendati demikian, Heroik meminta payung hukum harus segera disiapkan untuk melaksanakan tindakan tersebut.

"Mekanisme law informancenya harus kuat karena di tengah pandemi ini. Karena mau tidak mau kerangka hukum harus memaksa partai politik peserta pemilu, cakada atau siapapun itu harus mematuhi protokol kesehatan," ujarnya saat wawancara bersama Tagar TV, Selasa, 15 September 2020.

Kalau hanya di Perbawaslu itu masih bisa dipersoalkan karena memang ketentuan hukum yang paling kuat itu di level UU.

Baca juga: Perludem Khawatir Pilkada Jadi Klaster Baru C-19

Menurutnya hukuman yang tegas dapat memberi efek jera terhadap pelaku pelanggaran. Karena pilkada di tengah pandemi ini dikhawatirkan akan menjadi klaster baru penularan Covid-19.

"Namun ketika ada wacana sanksi diskualifikasi yang melanggar protokol kesehatan payung hukumnya harus jelas, jangan hanya diatur Perbawaslu tetapi harus diatur dalam UU Pemilu. Kalau hanya di Perbawaslu itu masih bisa dipersoalkan karena memang ketentuan hukum yang paling kuat itu di level UU," tuturnya.

Ia memberikan opsi agar pemerintah bersama DPR untuk menyiapkan perangkat hukum yang kuat terhadap wacana tersebut. Misalnya melakukan melakukan revisi Undang-undang pemilu tahun 2016.

"Keseriuan pemerintah dalam menyelenggarakan pemilu di tengah pandemi maka koridor hukum dan sanksi hukum harus diatur secara tegas dalam UU pemilu tahun 2016 misal dengan melalui revisi UU secara terbatas dan cepat sehingga aturan tersebut masuk dalam UU," kata Heroik.

Baca juga: Rentan Covid-19, Perludem Desak Pilkada 2020 Ditunda

Lebih lanjut, Heroik mengkhawatirkan para penyelenggara pemilu yang menjadi garda terdepan dalam proses pilkada. Hal itu dikarenakan ada tahapan yang mengharuskan penyelenggara bertemu secara langsung dengan pemilih maupun pasangan calon.

"Mau tidak mau hari ini harus beralih ke era digital untuk meminimalisir pertemuan langsung yang menjadi rawan penularan Covid-19. Kampanye digital bukan yang baru dalam penyelenggaraan pemiu di Indonesia. Di pileg, pilkada sebelumnya banyak yang menggunakan medium digital," ujar Heroik.

Diketahui, pada 15 Juni 2020, pemerintah, DPR, dan KPU sepakat untuk melanjutkan tahapan Pilkada 2020 yang sebelumnya sempat ditunda karena penyebaran C-19. Mereka komitmen untuk memastikan protokol kesehatan dipatuhi secara ketat. []

Berita terkait
Kotak Kosong Pilkada di 6 Daerah Jawa Tengah
Perpanjangan masa pendaftaran pilkada sudah ditutup. Hasilnya enam daerah di Jawa Tengah menghadirkan kotak kosong.
Mendagri Apresiasi Rakor Gakkum Pilkada 2020 di NTB
Kemendagri apresiasi NTB gelar Rapat Koordinasi Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Covid-19 Pikada Serentak 2020 atau Rakor Gakkum Pilkada.
Perludem Nilai Pemerintah Belum Siap Pilkada 2020
Perludem minta pilkada serentak ditunda hingga 2021 karena pemerintah dinilai belum siap dari segi penambahan anggaran sebagai konsekuensi Covid-19