Cerita di Balik Hutan Aceh yang Semakin Menyusut

Sekarang ini Indonesia menduduki posisi kedua angka kerusakan hutan di dunia, setelah Brazil. Begini kondisi terkini hutan di Aceh.
Hutan di kawasan Aceh Utara mengalami kerusakan cukup parah, pohon di hutan ini banyak yang ditebang. (Foto: Tagar/ M. Agam Khalilullah)

Aceh - Hutan memberikan kontribusi sangat besar bagi kehidupan mahluk hidup di bumi, sebagai penyumbang oksigen, menyerap karbon dioksida, sehingga semua manusia bisa bernapas dengan baik.

Namun sayang, kini angka kerusakan hutan tergolong cukup tinggi disebabkan berbagai faktor, apalagi saat sekarang ini banyak peralihan fungsi hutan, yang suatu saat nanti bisa menimbulkan bencana yang lebih besar.

Banyak hutan yang kini menjadi gundul akibat ulah manusia egois, dengan melakukan penebangan liar dan juga alih fungsi lahan, tanpa disadari hal ini akan menjadi sumber bencana bagi kehidupan. Bukan hanya manusia yang terancam, namun juga ekosistem makhluk hidup lain akan terancam.

Sekarang ini Indonesia menduduki posisi kedua angka kerusakan hutan di dunia, setelah Brazil. Selama kurun waktu 15 tahun kerusakan hutan di dunia mencapai 148 juta hektare, ada lima negara terbesar yang mengalami kerusakan, Brazil di urutan pertama 42 juta hektare dan Indonesia 28 juta hektare.

Kerusakan hutan yang signifikan terjadi setiap tahun sangat mengancam keberlangsungan hidup umat manusia, karena hilangnya hutan maka ekosistem akan rusak, sumber air bersih akan hilang dan pangan juga akan terputus.

Begitu dengan kondisi hutan di Aceh yang saban hari terus menyusut, mengalami kerusakan yang sangat parah, meskipun kampanye tentang larangan merusak hutan terus dilakukan.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh Muhammad Nur mengatakan, secara umum luas hutan Aceh mencapai 3,5 juta hektare dan kondisinya mengalami kerusakan yang tergolong cukup parah.

Pada tahun 2016, telah terjadi deforestasi atau penghilangan hutan alam dengan berbagai cara, yaitu mencapai 680 ribu hektare. Apabila dibandingkan dengan 2015, deforestasinya mencapai 34 ribu hektare.

Artinya kondisi hutan di Aceh yang semakin lama terus berkurang atau menyusut dan tentunya apabila hal tersebut terus terjadi, dapat mengakibatkan bencana alam dan merusak ekosistem yang ada di jagat raya ini.

Jadi untuk ilegal logging tidak mungkin dilakukan di kawasan hutan biasa, karena kualitas kayunya tidak bagus. Pohon-pohon yang bagus banyak terletak di kawasan hutan lindung dan praktik ilegal logging ini sangat kita sayangkan.

Berkurangnya jumlah luasan hutan di Aceh, disebabkan oleh beberapa faktor seperti melakukan penambangan ilegal, penebangan hutan secara liar, pembukaan lahan baru dan ada beberapa infrastruktur yang dibangun yang menyebabkan kerusakan hutan.

Berkurangnya jumlah luas hutan di Aceh terjadi sejak 1998 dan pemicu berat mulai terjadinya kerusakan hutan dimulai pada 2004 dan tentunya pola yang dilakukan pada kala itu, tidak semasif yang terjadi sekarang.

“Kalau dulu polanya hanya melakukan ilegal logging saja dan tambang ilegal belum marak dilakukan. Pada saat memasuki tahun 2009 maka tambang ilegal mulai populer di Aceh dan pembangunan sejumlah di Aceh banyak yang menghancurkan hutan,” ujar Muhammad Nur.

Selama ini, ada 44 proyek pembangunan jalan yang menyumbang kerusakan hutan di Provinsi Aceh, seperti contoh pembangunan proyek jalan Ladia Galaska (Lautan Hindia, Gayo Alas, dan Selat Malaka) yang dilaksanakan Pemerintah Aceh sejak 2002-2007.

Proyek tersebut menghubungkan antara lintas timur dan lintas barat Aceh sepanjang 470 kilometer, dengan menembus kawasan dataran tinggi Gunung Lauser dan berdampak besar bagi kerusakan ekosistem di sana.

Namun pastinya ada banyak aktor yang berkontribusi merusak hutan di Provinsi Aceh dan berbagai modus dan cara yang dilakukan. Seharusnya hutan merupakan hal yang benar-benar harus dilindungi, karena menyangkut persoalan hidup orang banyak.

Kerusakan hutan yang paling parah hampir terjadi di seluruh kawasan, namun ada empat daerah yang kondisi kerusakan hutannya benar-benar parah, yaitu di Kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur, Tamiang, dan Aceh Selatan.

Untuk wilayah Aceh Utara, penyumbang kerusakan hutan yang paling besar adalah peralihan menjadi Hutan Tanam Industri (HTI), begitu juga kawasan hutan di Aceh Timur maraknya praktik ilegal logging, untuk Aceh Taming selain maraknya ilegal logging, juga maraknya perusahaan tambang dan Aceh Selatan maraknya kerusakan hutan disebabkan karena ilegal logging.

Hal yang paling sangat disayangkan, banyak hutan lindung di Aceh juga mulai dirambah, karena lokasi yang paling bagus untuk dijadikan bisnis yaitu di kawasan hutan lindung dan saat sekarang ini keberadaan hutan lindung sangat memprihatinkan.

“Jadi untuk ilegal logging tidak mungkin dilakukan di kawasan hutan biasa, karena kualitas kayunya tidak bagus. Pohon-pohon yang bagus banyak terletak di kawasan hutan lindung dan praktik ilegal logging ini sangat kita sayangkan,” tutur Muhammad Nur.

Pihaknya meminta kepada aparat penegak hukum, segera mengungkap praktik-praktik ilegal logging yang terjadi di Aceh dan pelakunya harus mendapatkan hukuman, yang sesuai dengan aturan hukum berlaku.

Begitu juga dengan aktivitas penembangan ilegal dan legal harus benar-benar diawasi dan harus sesuai dengan konsep moratorium, serta jangan memperluas kawasan tambang karena bisa merusak hutan.

Maka Pemerintah Aceh harus benar-benar selektif dalam membangun infrstruktur, sehingga saat membangun jalan tidak ada lagi hutan yang rusak atau mengeruk gunung.

“Konsep pembangunan yang dilakukan, harus benar-benar sesuai dengan kaidah lingkungan. Kalau memang bisa merusak atau merambah hutan, maka pembangunan itu jangan dipaksakan,” kata Muhammad Nur.

Pemberian Izin Sebagai Bencana

Pemberiaan izin untuk pembukaan lahan baru atau izin peralihan fungsi hutan yang diberikan kepada perusahaan, merupakan bencana baru karena dampaknya sangat merusak kondisi hutan.

Direktur LSM Suara Hati Masyarakat (Sahara) Dahlan mengatakan, dari sekian banyak izin pembukaan lahan baru diberikan kepada perusahaan, semuanya telah memberikan dampak kerusakan hutan.

“Coba lihat saja sejumlah perusahaan yang diberikan izin untuk membuka lahan baru, banyak yang menanam sawit dan ini tentunya sangat merusak lingkungan. Saat hujan, air tidak mampu lagi diserap ke tanah,” ujar Dahlan.

Selain itu, dengan maraknya penanaman sawit kondisi airnya mulai tidak stabil karena tanaman itu membutuhkan air yang banyak, namun tidak mampu menyimpannya. Maka saat hujan langsung terjadi banjir, serta bisa saja longsor.

Semua elemen dan aparat penegak hukum harus bersama-sama memberantas aktor-aktor yang merusak hutan, terutama bagi yang melakukan praktik ilegal logging dan perusahaan yang melakukan perusakan hutan.

“Berbicara tentang persoalan perlindungan hutan, tentunya membutuhkan peran dari semua pihak. Begitu juga dengan aparat keamanan, harus benar-benar tegas dalam memberikan sanksi bagi aktor perusak hutan,” tutur Dahlan.

Harus Diberi Sanksi

Pemerintah Aceh diminta memberikan sanksi tegas bagi pelaku perusak lingkungan dan memperketat pemberian izin penggunaan lahan, sehingga hutan Aceh bisa terhindar dari kerusakan.

Sekretaris Forum Komunitas Hijau (FKH) Saiful mengatakan, kondisi alam Aceh sudah mengalami kerusakan yang cukup parah, akibat maraknya penebangan hutan secara liar dan pembukaan lahan baru.

“Pelaku perusakan lingkungan harus diberikan sanksi yang tegas, agar perbuatannya itu tidak terulang kembali dan Pemerintah Aceh harus berani, serta jangan biarkan masalah itu terus berlanjut,” ujar Saiful.

Begitu juga mengenai pemberian izin lahan harus ditinjau kembali, karena banyak perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan, tidak memberikan kontribusinya untuk daerah.

“Banyak perusahaan perkebunan yang tidak memberikan kontribusi apa pun untuk daerah. Bahkan ada juga beberapa perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan yang menunggak pajak,” tutur Saiful. []

Tulisan feature lain:

Berita terkait
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.