Prostitusi Online Lewat Facebook dan WhatsApp di Aceh

Lewat tengah malam di sudut kafe di Lhokseumawe, Aceh, seorang putri remaja mengutak-atik ponsel, mengecek Facebook dan WhatsApp.
Ilustrasi. (Foto: Pixabay/LoboStudioHamburg)

Lhokseumawe, Aceh - Hujan baru saja reda, jarum jam menunjukkan waktu tengah malam. Suhu udara terasa dingin hingga menusuk tulang. Seorang putri remaja duduk sembari mengutak-atik ponsel di sudut sebuah kafe di Kota Lhokseumawe, Aceh.

Seharusnya tengah malam begini, anak dara itu tidak lagi berkeliaran. Tapi ia bukan dara biasa. Ia sengaja mangkal di situ, mencari penghasilan dengan menggaet pria hidung belang.

Jangan bayangkan gadis itu memakai pakaian seksi. Ia mengenakan celana jeans agak ketat dipadu kaos lengan panjang, dan rambutnya tertutup jilbab. Terlihat sama seperti perempuan Aceh pada umumnya, hanya saja ia menggunakan celana jeans.

Sebut saja namanya Rindu (bukan nama sebenarnya). Ia sering dibawa lelaki hidung belang ke kamar hotel di pusat Kota Medan, Sumatera Utara.

Rindu bercerita kepada Tagar, mereka yang menggunakan jasa syahwatnya biasanya lelaki berusia dewasa dengan dompet tebal. Tarifnya minimal Rp 2 juta.

“Biasanya aku komunikasi melalui Facebook dan WhatsApp, melakukannya di Medan. Tidak pernah di Aceh, agar tak ada yang tahu, sehingga rahasia tetap terjaga,” ujar Rindu.

Bukan alasan itu saja. Tujuan lain menggunakan layanan jasa syahwatnya di Medan karena kondisinya lebih aman apabila dilakukan di hotel berbintang, dan apabila dilakukan di Aceh bisa saja nantinya akan kena cambuk.

Biasanya aku komunikasi melalui Facebook dan WhatsApp, melakukannya di Medan. Tidak pernah di Aceh, agar tak ada yang tahu, sehingga rahasia tetap terjaga.

Tidak Puas dengan Suami

Kasih (bukan nama sebenarnya). Perempuan berambut pirang ini tinggal di Kabupaten Aceh Utara. Ia memiliki suami dan anak. Pada tahun ini anaknya memasuki pendidikan di perguruan tinggi.

Kasih menjalani pekerjaan sebagai pekerja seks komersil (PSK) online selama dua tahun terakhir. Biasanya ia menggaet tamu dengan menggunakan aplikasi jejaring sosial Facebook dan WhatsApp. Setelah ada kesepakatan, komunikasi berlanjut melalui telepon.

Ia bercerita, terjun ke dunia gelap ini pada awalnya karena tidak mendapatkan kepuasan seksual dari suami. Berikutnya ia melakukannya untuk mendapatkan tambahan penghasilan.

“Saya tidak mendapat kepuasan saat berhubungan intim dengan suami, makanya saya menjalani ini. Selain itu supaya bisa mendapatkan uang lebih, untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari,” ujar Kasih.

Mereka yang menggunakan jasa Kasih pada umumnya adalah pria yang tinggal di Kota Medan. Mereka bertemu di salah satu hotel di Kota Binjai, Sumatera Utara. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga rahasia tamu jangan sampai ketahuan istrinya.

Saat pergi untuk melayani lelaki hidung belang yang memesannya di Kota Binjai, Kasih mengatakan kepada suaminya, ia pergi untuk bekerja di rumah temannya selama beberapa hari. 

Sekali memberikan layanan seksual, Kasih mendapatk uang Rp 2 juta, kadang kadang ada yang memberinya Rp 5 juta.

Kasih yakin suami tidak mencurigainya sama sekali karena ia sangat rapi menyimpan rahasia pekerjaannya tersebut. Apalagi anak-anaknya, sama sekali tidak tahu pekerjaannya seperti itu.

Ia juga mengaku melayani pria hidung belang lokal yang ingin menggunakan jasanya. Namun dia lebih suka dibawa ke wilayah Binjai, karena menurutnya lebih terjamin keamanannya.

Saya tidak mendapat kepuasan saat berhubungan intim dengan suami, makanya saya menjalani ini. Selain itu supaya bisa mendapatkan uang lebih, untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kasih juga melayani pria hidung belang di rumah kawannya di kawasan Aceh Utara. Teman wanitanya itu telah bersuami, hanya saja suaminya sedang bekerja di Malaysia.

Untuk melakukan praktik syahwat di rumah tersebut, pelanggan lokalnya harus membayar Rp 200 ribu untuk satu jam, dan biaya jasa Rindu sebesar Rp 300 ribu untuk satu jam. Apabila ingin memperpanjang waktu layanan, harga tersebut tinggal diakumulasikan saja.

“Rumah ini cukup aman, karena orang tahu kawan saya itu punya suami, hanya saja kerja di Malaysia. Lagian pula di rumah itu ada anak-anaknya juga, jadi orang tidak curiga kalau kita bawa laki-laki,” tutur Rindu.

Pengungkapan Polisi

Praktik prostitusi online bukan hal baru. Pihak kepolisian telah sering mengungkap praktik ini. Bahkan untuk kota yang melaksanakan syariat Islam seperti di Provinsi Aceh, praktik prostitusi ini ternyata ada.

Pada Oktober 2017, Polresta Banda Aceh berhasil mengungkap praktik tersebut. Kala itu petugas berhasil mengamankan satu orang mucikari, dan enam perempuan yang masih remaja, karena terlibat dalam praktik prostitusi online.

Mereka ditangkap di salah satu hotel bintang di Banda Aceh. Seorang di antara mereka mengaku telah menjalani profesi tersebut selama dua tahun terakhir.Menurut pengakuan satu orang di a, mereka menjalani profesi tersebut selama dua tahun terakhir. Para PSK ini dibayar dengan tarif Rp 800 ribu sampai Rp 1,5 juta.

Pada 2018 Kepolisian Resor Kota Banda Aceh kembali membongkar praktik PSK online di kawasan Banda Aceh. Polisi menangkap tujuh perempuan yang masih berstatus mahasiswi, dan mereka berprofesi sebagai PSK online.

Pada tahun yang sama, pihak Kepolisian Resor Lhokseumawe lagi-lagi berhasil mengungkap kasus serupa. Polisi menangkap sembilan orang yang terlibat dalam praktik prostitusi online tersebut.

Penggerebekan prostitusi online itu dilakukan di dua lokasi terpisah. Pertama di Gampong Keude Cunda, Kecamatan Muara Satu, dan lokasi kedua berjarak satu kilometer dari lokasi pertama. Ada lima perempuan dan empat laki-laki yang diamankan.

Sejak Tahun 2006

Praktik prostitusi online di Aceh tersusun cukup rapi dan terorganisir. Secara umum pelakunya adalah kalangan remaja, serta praktik tersebut telah ada sejak 2006.

Direktur Yayasan Permata Aceh Peduli, Khaidir menyebutkan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pihaknya, praktik prostitusi online bukan hal baru di Aceh.

“Kasus seperti ini bukan hal baru. Kami telah menemukannya sejak tahun 2006. Bahkan saat ini kami juga melakukan pendampingan kepada mereka yang telah terjangkit HIV/AIDS,” ujar Khaidir.

Khaidir menambahkan, jumlah PSK online tersebut tergolong tinggi. Hanya saja mereka melakukan praktik yang cukup rapi, sehingga tidak sampai diketahui publik. Biasanya mereka memanfaatkan jejaring sosial untuk berinteraksi.

Biasanya, kata Khaidir, PSK online berasal dari beberapa kalangan seperti siswa SMA, mahasiswa, dan ada juga wanita dewasa. Mereka terorganisir dengan baik dan tumbuh subur.

“Berdasarkan hasil penelitian kami, mereka itu terbagi menjadi dua golongan. Ada yang pekerja seks secara langsung, yaitu untuk kepentingan materi, seperti uang. Ada juga secara tidak langsung, hanya untuk kesenangan, seperti tukar dengan sabu-sabu,” tutur Khaidir.

Ia mengatakan kalangan remaja utamanya anak sekolah menengah atas saat ini sangat riskan, persoalan seksual bukan lagi hal tabu.

“Persoalan PSK online ini sudah menjadi ancaman. Kasus ini merupakan salah satu penyumbang HIV/AIDS di Aceh. Kami juga sering melakukan pendampingan bagi PSK online yang terkena penyakit seksual menular,” kata Khaidir. []

Tulisan feature lain:

Berita terkait
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.