Bungkoih Kupi, Budaya Baru Aceh di Tengah Corona

Semenjak wabah virus corona atau Covid-19 masuk ke Indonesia dan Aceh khususnya, warkop di Tanah Rencong ini dipaksa tutup oleh pemerintah.
Seoarang koki menyaring kopi untuk pelanggan take away di Zakir Coffe, Kopelma Darussalam, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh, Senin, 30 Maret 2020. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)

Banda Aceh - Kopi dan masyarakat Aceh memang dua hal yang tak dapat dipisahkan. Karena itu, Provinsi Aceh dijuluki dengan Negeri Seribu Kedai Kopi. Bagi masyarakat luar, rasanya kurang lengkap berkunjung ke Aceh jika belum menikmati kopi.

Di Kota Banda Aceh, terdapat beberapa warung kopi yang memiliki rasa khas dan nikmat, seperti Solong Coffee, Zakir Coffe, Galon Coffee dan masih banyak lainnya.

Namun, semenjak wabah virus corona atau Covid-19 masuk ke Indonesia dan Aceh khususnya, warkop di Tanah Rencong ini dipaksa tutup oleh pemerintah. Hal ini sesuai dengan intruksi pemerintah agar menghindari tempat-tempat keramaian untuk mencegah penyebaran virus corona.

Intruksi agar warkop ditutup bukan berarti pemerintah melarang warga minum kopi atau pemilik usaha warung untuk menjual kopi. Pemerintah bahkan masih memberi kelonggaran bagi pemilik usaha warkop untuk menjual kopi secara take away atau bawa pulang.

Kopi take away memang enak dari segi rasa, tetapi ini cukup berbeda dari biasanya, menikmati kopi di warkop tentu suasananya lebih bergairah. Tetapi bagaimana pun sudah begini, apa boleh buat.

Seperti yang terlihat di Kota Banda Aceh, sejumlah warung kopi tampak sudah menerapkan penjualan kopi secara take away. Mereka mendirikan dapur seadanya di teras warkop masing-masing untuk menjual kopi kepada pelanggan.

Muhammad Daud, 30 tahun, seorang koki di Zakir Coffe mengatakan, penjualan take away terpaksa mereka lakukan setelah pemerintah melarang membuka warung kopi. Setelah intruksi itu keluar, pihaknya berinisiatif untuk mendirikan dapur dan menjual kopi di lobi warkop.

“Kami jual kopi di luar karena keadaan seperti ini, bagaimana pun di tengah kondisi ini warga harus bisa membeli kopi, meski warkop ditutup,” kata Daud saat ditemui Tagar di sela-sela aktivitasnya, Rabu, 1 April 2020.

Setiap hari, kata Daud, pihaknya melayani pelanggan mulai pukul 06.00 WIB sampai 20.00 WIB. Dalam kurun waktu ini, mereka memperoleh omzet rata-rata Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta.

“Insya Allah ramai orang beli, ada omzet sekitar dua-dua juta, kalau di hari biasa ada sekitar Rp 5 juta,” tutur Daud.

Zulfahmi, 25 tahun, seorang warga yang membeli kopi take away menyebutkan bahwa ia terpaksa melakukan hal tersebut karena cukup sulit mencari warkop di Banda Aceh yang melayani pengunjung di tempat.

“Kopi take away memang enak dari segi rasa, tetapi ini cukup berbeda dari biasanya, menikmati kopi di warkop tentu suasananya lebih bergairah. Tetapi bagaimana pun sudah begini, apa boleh buat,” katanya. 

Pemerhati Sejarah dan Budaya Aceh, Tarmizi Abdul Hamid menyebutkan, sistem penjualan kopi take away dalam budaya baru di Aceh. Hal ini dilakukan karena kondisi suatu daerah sedang tidak normal.

“Kopi take away ini budaya kekinian, karena meninjau dalam keadaan situasi kemudian, kita tunduk pada hukum-hukum pemerintah,” kata Cek Midi, sapaan akrab Tarmizi Abdul Hamid saat dihubungi Tagar, Rabu, 1 April 2020.

Ia menjelaskan, dalam adat istiadat masyarakat Aceh, aturan-aturan dari pemerintah supaya tercegah dari wabah penyakit harus dipatuhi dan dibudayakan. Sebab, aturan tersebut demi kemaslahatan umat.

“Jadi keluarga aturan-aturan, hukum-hukum pemerintah karena situasi seperti ini ya harus dibudayakan dan harus dipatuhi,” ujarnya.

Kata Cek Midi, aturan tersebut tidak hanya dipatuhi oleh pemilik usaha warkop, tetapi juga semua lapisan masyarakat termasuk pedagang kaki lima.

“Semua harus mematuhi termasuk orang jualan dan kaki lima, karena ini sebagai dari budaya juga,” tutur Cek Midi.

Baca juga: Warung Kopi dan Objek Wisata di Banda Aceh Ditutup

Menurut Cek Midi, pemerintah mengeluarkan kebijakan dilarang adanya keramaian tentu sudah melalukan kajian lebih dalam. Sebagai warga, maka wajib menaatinya.

“Di suatu daerah ada pemimpin dan ahli masing-masing, jadi warga hanya mengikuti saja aturan tersebut,” ujarnya.

“Jadi budaya yang seperti itu lahir ketika daerah tersebut mengalami situasi yang berbeda atau kurang normal. Kalau tidak dipatuhi jadi berdampak pada orang lain,” kata Cek Midi menambahkan. []

Berita terkait
Warung Kopi di Aceh Tetap Ramai di Tengah Isu Corona
Meski sudah diimbau oleh pemerintah agar menghindari tempat keramaian, namun sejumlah warung kopi di Kota Banda Aceh tetap ramai seperti biasanya.
Gara-gara Dilarang Ngopi Pemuda Aceh Pukul Polisi
Mahasiswa di salah satu universitas di Kota Banda Aceh memukul aparat kepolisian karena kesal dilarang duduk di warung kopi.
Update Covid-19 Aceh, 893 Pasien ODP
Angka Orang Dalam Pemantauan (ODP) Covid-19 dari 23 kabupaten/kota di Aceh meningkat lagi.
0
DPR Terbuka Menampung Kritik dan Saran untuk RKUHP
Arsul Sani mengungkapkan, RUU KUHP merupakan inisiatif Pemerintah. Karena itu, sesuai mekanisme pembentukan undang-undang.