BPN Minta Autopsi vs Cerita Keluarga KPPS di Siantar

Mustofa Nahrawardaya meminta agar anggota KPPS yang meninggal dunia diautopsi. Bagaimana sebenarnya kematian dari anggota KPPS?
Seorang wanita meletakkan bunga saat aksi dukacita untuk pahlawan demokrasi di Jakarta, Minggu (28/4/2019). Aksi tersebut dilakukan untuk mengenang 225 orang pejuang demokrasi yang terdiri dari petugas KPPS/KPU serta anggota Polri yang gugur saat mengawal proses Pemilu 2019. (Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay)

Pematangsiantar - Anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga Uno, Mustofa Nahrawardaya, meminta agar anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia diautopsi. Menurutnya jika tidak diautopsi maka kematian anggota KPPS akan semakin misterius. 

Benarkah demikian? Lantas bagaimana sebenarnya proses meninggalnya anggota KPPS? Apakah misterius? 

Tagar berhasil mewawancarai Linda Pakpahan, istri dari Walmen Butar-butar (61), Ketua KPPS di TPS 12 Kelurahan Sukadame, Kecamatan Siantar Utara, Pematangsiantar, Sumatera Utara, yang meninggal dunia pada Sabtu 27 April 2019 lalu.

Linda membenarkan suami yang dicintainya meninggal karena kelelahan ketika bertugas sebagai Ketua KPPS. Namun, dia tidak menyangkal bahwa sang suami juga memiliki penyakit jantung.

"Setelah menyelesaikan pekerjaan sebagai Ketua KPPS, bapak memang sangat lelah. (Ia mudah lelah) karena suami saya ada (penyakit) jantung dan sesak," ucapnya.

Baca juga: Data Lengkap Kabupaten/Kota Hasil Situng KPU Sumut

Ditemui di rumahnya di Jalan Perjanjian, Kelurahan Sukadame, Kecamatan Siantar Utara, Minggu 5 Mei 2019 sore, Linda mengatakan dia kerap memantau kegiatan suaminya selama bertugas sebagai Ketua KPPS.

"Waktu penghitungan suara, pada malam hari saya tetap pantau di situ (TPS 12). Sampai jam 7 pagi saya tetap memantau datang dari rumah sampai ke TPS," ujarnya.

"Setelah pulang dari TPS langsung lelah karena dia ada sakit jantungnya. Itulah salah satu penyebabnya yang saya lihat," ucap ibu anak dua ini.

Linda yang juga bekerja sebagai guru di salah satu Sekolah Dasar (SD) di Kota Siantar ini mengungkapkan, awalnya seluruh keluarganya telah melarang suaminya untuk bertugas, namun Walmen menolak dan terus melaksanakan tugasnya.

"(Setelah dilarang) bapak memang tidak banyak ngomong. Karena mungkin sejak awal sudah saya larang. Bahkan adik saya juga ikut melarang. Tetapi tetap dia bekerja. Jadi suami saya ini kalau sudah sempat diiyakan, apapun yang sudah dijanjikan dalam pekerjaan itu, bapak kami ini tetap melakukan itu (meski dalam keadaan sakit atau kurang sehat). Dia orangnya penuh tanggungjawab, mau siapapun gak bisa menghalanginya, harus dijalankan perjanjiannya itu," ucapnya sedih.

Baca juga: Periode Kedua Jokowi Akan Setegas Apa?

Lanjutnya, sebelum sang suami tercinta meninggal dunia, mereka sempat bercerita tentang beberapa anggota KPPS yang meninggal di beberapa wilayah.

"Pada malam hari Sabtu tanggal 27, memang kami di sini ngomong-ngomong, kebetulan masuk lagi ke ruangan tempat menonton. Sudah tambah yang meninggal itu, kata suami saya saat menonton televisi. Tak lama kemudian dia langsung ke kamar dan tiba-tiba sesak," katanya.

Saat mengetahui suaminya sesak, Linda lalu berupaya melakukan pertolongan dengan mencoba memberikan oksigen. Karena riwayat sakit jantung, di rumahnya selalu ada oksigen sebagai persediaan jika Walmen sesak nafas. Namun oksigen tersebut belum belum sempat diberikan.

"Kebetulan saya sendiri di kamar. Saat dia sesak nafas, saya terus bangunkan dia. 'Terus ngorok kau' saya bilang gitu, cerita dulu kita kubilang, tiba-tiba gak bangun lagi. Biasanya kalau kubilang gitu langsung berbalik dia. Dia kalau tidur gak bisa terlentang, harus miring dia tidur karena sakit jantungnya itu. Setelah itu aku bangunin sudah gak mau. Tidak ada lima menit kami selesai berbicara, jadi gak ada meninggalkan apa-apa sama kami, pesan apapun tidak ada," katanya.

Baca juga: Mereka Satu Demi Satu Tinggalkan Prabowo

Linda segera membawa suaminya ke Rumah Sakit Vita Insani Pematangsiantar. Namun, jiwanya tak tertolong. 

Masih di rumah duka, Linda mengungkapkan sebagai Ketua KPPS, Walmen juga turut serta menandatangani dan menghantarkan kertas C6 ke rumah warga.

"Dia juga ikut membagikan dan menandatangani kertas C6, ikut dia memantau TPS. Jadi bapak kami ini penuh tanggungjawab. Sekalipun ada anak buahnya yang muda namun dia gak mau meninggalkan pekerjaan itu," ungkapnya.

Linda PakpahanLinda Pakpahan, istri Walmen Butar-butar, Ketua KPPS di Pematangsiantar, Sumatera Utara yang meninggal seusai Pemilu 2019. (Foto: Tagar/Fernandho Pasaribu)

"Setelah pembagian C6 itu tidak ada lagi istirahatnya sampai pemungutan suara. Bahkan sampai tengah malam pun dia tidak mau meninggalkan anggotanya. Saya jemput dia dari TPS agar pulang istirahat ke rumah. Istirahat dulu kau, biar dulu anggotamu di situ, saya katakan seperti itu ke dia," kata Linda. 

"Ah gak bisa kek gitu, kata suami saya," ucapnya mengenang perkataan suaminya itu.

Linda menjelaskan suaminya sudah bertugas sebagai Ketua KPPS sejak 2004. "Dan selama ada pemilihan umum, dari tahun 2004 kami tinggal di rumah ini, selalu dia terpilih sebagai Ketua KPPS," katanya.

Linda mengatakan ingin rasanya mengembalikan masa-masa dimana dia masih bersama dengan suaminya. Berharap mendengarkan perkataannya dan tidak lagi bertugas sebagai KPPS karena sakit yang dialami Walmen.

"Namanya suami yang saya kasihi dan cintai, kalau dia mau menerimanya nasehatku dia gak akan secepat itu pergi. Terakhir ini aku terus meminta agar dia tak jadi KPPS lagi. Sampai semua keluarga melarang juga orangtua dan mertua juga ikut melarang. Tapi karena dibilang sudah sempat kukasih ijazahku, udahlah sehat-sehatnya aku nanti," ungkap Linda mengingat sang suami.

Sementara itu Binsar Butarbutar, adik Walmen Butarbutar, mengatakan bahwa proses pesta demokrasi pada saat ini sangat rumit karena dilaksanakan bersamaan dengan pilpres, legislatif dan DPD.

"Setelah reformasi dulu saya menjadi KPPS, walaupun sampai pagi masih sanggup. Nah saya lihat ini justru makin rumit lagi, karena dulu masih legislatif yang kita pilih walaupun partai masih 48 jumlahnya. Ini sudah masuk lagi pilpres, legislatif dan DPD. Itu suatu hal yang sangat merepotkan dan dalam laporan-laporan pun sangat rumit. Kalau bisa pilpres disatukan dengan pemilihan gubernur," ucapnya berharap pemilihan diubah.

Baca juga: Eko Kuntadhi: Pilpres dan Pileg Harus Dipisah

Binsar menjelaskan keluarganya tidak pernah mempersoalkan bahwa abangnya meninggal karena pemilihan umum. Dia mengatakan bahwa ini adalah kehendak Tuhan.

"Kami sebagai orang beragama dan mengenal Tuhan, sebab dalam iman kami Tuhan yang berhak mengambil atau mencabut nyawa. Jadi soal jalan dan caranya itu rahasia Tuhan, bahkan ada yang ketika tidur sudah dipanggil," kata Binsar.

Terkait bantuan yang ada dari pemerintah maupun pelaksana pemilu, dia mengatakan jika KPU belum memberikan bantuan. Namun dia berharap ada penghargaan yang diterima keluarga. 

"Kami mendengar dari media televisi, cetak dan online. Ada katanya bantuan, bahkan dari menteri keuangan Sri Mulyani rencananya katanya ada bantuan. Ya kalau ada kami juga berharap tapi kalaupun tidak ada, kami tidak memaksakan diri. Tetapi setidaknya ada penghargaan kepada mereka yang sudah berusaha dan mengabdikan diri dalam tugas. Itu termasuk tugas negara ya, tugas negara dalam menyelenggarakan pemilu," tambahnya.

Baca juga: Tim Jokowi Siap Terima Tantangan Mubahala Tim Prabowo

"Ketepatan dia seorang guru yang pensiun pada 2018 di SMP Negeri 8. Sebagai guru dia punya gelar pahlawan tanpa tanda jasa, jasanya ada tandanya saja yang tidak ada. Berikut setelah selesai tugasnya dalam pemilu, makanya diberikan juga gelar sebagai pahlawan demokrasi. Walaupun nanti kita gak tahu apakah ada piagamnya. Kalau tidak ada berarti pahlawan demokrasi tanpa tanda jasa," tutupnya. []

Berita terkait