Akankah Negara Eropa Mengembalikan Artefak Asia yang Mereka Jarah?

Presiden Macron, janjikan dukungan untuk mengembalikan lebih banyak artefak Khmer dan bantuan teknis untuk memperluas Museum Nasional Kamboja
Presiden Prancis, Emmanuel Macron, telah berjanji untuk \'melakukan segala kemungkinan\' untuk mengembalikan warisan budaya yang telah dijarah oleh kolonial Prancis (Foto: dw.com/id - Godong/robertharding/picture alliance)

TAGAR.id - Meningkatnya tekanan terhadap museum-museum di Eropa untuk mengembalikan artefak yang diambil dari Asia Tenggara pada masa kolonial dapat memberikan manfaat terhadap citra Eropa, kata para analis. David Hutt melaporkannya untuk DW.

Selama kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Kamboja, Hun Manet, ke Prancis pada bulan Januari 2024, Presiden Prancis, Emmanuel Macron, menjanjikan dukungan untuk mengembalikan lebih banyak artefak Khmer dan bantuan teknis untuk memperluas Museum Nasional Kamboja.

Macron sering disebut-sebut sebagai pemimpin Eropa pertama yang menyuarakan tuntutan lama dari negara-negara Asia untuk mengembalikan barang antik hasil penjajahan. Pada 2017, Macron memberikan pidato yang menyebut dirinya akan "melakukan segala kemungkinan" untuk mengembalikan warisan yang dijarah oleh kolonial Perancis.

Beberapa bulan sebelumnya, Musee Guimet di Paris, museum nasional Prancis untuk seni Asia, setuju untuk mengembalikan kepala dan badan patung Khmer abad ketujuh, yang diambil pada tahun 1880-an, ke Kamboja dengan perjanjian pinjaman selama lima tahun.

Pada 2017, Berlin mengikuti langkah tersebut dan setuju untuk mengembalikan artefak yang diambil selama genosida di awal abad ke-20 ke negara Namibia di Afrika bagian selatan.

Sementara itu pada Juli 2023, dua museum di Belanda, termasuk Rijksmuseum, menyerahkan kembali ratusan artefak ke Indonesia dan Sri Lanka, bekas jajahan Belanda.

Museum mempertimbangkan pengembalian artefak yang dijarah

Pada Januari, pemerintah Jerman dan Prancis sepakat untuk menghabiskan 2,1 juta euro (sekitar Rp 35,8 miliar) untuk meninjau benda-benda warisan Afrika yang ada di koleksi museum nasional mereka, dan ada rumor bahwa mungkin ada skema serupa untuk artefak Asia.

Gelombang baru seruan pengembalian barang antik yang dicuri dimulai pada Desember 2023 ketika Metropolitan Museum of Art di New York akan mengembalikan 14 patung ke Kamboja dan dua patung ke Thailand yang diperoleh dari pedagang seni Inggris Douglas Latchford, yang didakwa dengan perdagangan barang antik yang dijarah pada 2019.

Brad Gordon, penasihat hukum Kementerian Kebudayaan dan Seni Kamboja dan berperan penting dalam pengembalian artefak tersebut tahun lalu, mengatakan ia menjalin kontak dengan museum-museum di Inggris dan Paris mengenai koleksi barang antik Kamboja mereka yang sangat banyak.

Museum Guimet di ParisMuseum Guimet di Paris, Prancis, berkomitmen untuk mengembalikan kepala dan badan patung Khmer abad ketujuh yang diambil pada tahun 1880-an (Foto: dw.com/id - Philippe Lissac/Godong/picture alliance)

Apa dasar hukum pengembalian artefak?

Konvensi UNESCO tahun 1970 tentang Sarana Pelarangan dan Pencegahan Impor, Ekspor, dan Pengalihan Kepemilikan Benda-benda Budaya secara Ilegal merupakan sumber hukum utama ketika suatu negara mengeklaim kepemilikannya dikembalikan.

Namun, konvensi ini "tidak berlaku secara retrospektif sehingga tidak mencakup fase puncak kolonialisme,” menurut pernyataan German Lost Art Foundation, sebuah LSM.

"Terlebih lagi, sejumlah besar negara perlu terlibat dalam perjanjian semacam itu. Sejak abad ke-15, hampir setiap wilayah di dunia telah menjadi bagian dari struktur kolonial, setidaknya untuk jangka waktu tertentu,” tambahnya.

"Dengan demikian, benda dan koleksi budaya yang dibawa ke Eropa berasal dari berbagai konteks perolehan yang berbeda, yang masing-masing berpotensi melibatkan bentuk penanganan tertentu.”

Akibatnya, beberapa pemerintah Eropa telah mengusulkan undang-undang nasional untuk menentukan nasib artefak di museum mereka.

Tahun lalu, pemerintah Austria mengatakan akan mengusulkan undang-undang yang mengatur pengembalian benda-benda di museum nasional yang diperoleh kolonialisme pada Maret 2024.

Pada saat itu, Weltmuseum di Wina mengakui bahwa banyak dari 200.000 objek yang dimilikinya mungkin sesuai dengan kriteria tersebut, termasuk barang antik dari Asia Tenggara.

Namun, undang-undang serupa yang diusulkan di negara lain kandas karena adanya oposisi politik. Sementara itu, museum-museum di Eropa enggan mengembalikan beberapa koleksinya yang lebih berharga.

Belanda meminta maaf atas perannya dalam perdagangan budak

Tahun lalu, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte secara resmi meminta maaf atas pendudukan Belanda di Indonesia sebulan sebelum dua museum Belanda mengembalikan artefak yang dijarah ke Jakarta.

"Ini adalah momen untuk menatap masa depan,” kata Gunay Uslu, Menteri Luar Negeri Belanda untuk Kebudayaan dan Media, pada saat itu, seraya menambahkan bahwa kepulangan ini akan melahirkan "masa kerja sama yang lebih erat dengan Indonesia” dalam bidang penelitian dan pertukaran akademis.

Menurut Shapiro, jika museum-museum Eropa mengembalikan lebih banyak koleksinya, hal ini akan "mewakili langkah monumental menuju strategi soft power yang lebih besar di kawasan, terutama ketika tampaknya masih ada sisa sentimen anti-kolonial".

Namun, tambahnya, jika Eropa ingin mendapatkan pujian yang sama seperti Amerika Serikat di Asia Tenggara karena mengembalikan artefak, mereka harus "memperlihatkan upaya mereka secara lebih terbuka dan bersedia bekerja sama” dengan pemerintah di kawasan tersebut dalam penyelidikan mereka. (rs/ha)/dw.com/id. []

Berita terkait
Direktur British Museum Mengundurkan Diri Karena Tersandung Kasus Pencurian Artefak
Hartwig Fischer, seorang sejarawan seni asal Jerman yang memimpin museum tersebut sejak 2016
0
Akankah Negara Eropa Mengembalikan Artefak Asia yang Mereka Jarah?
Presiden Macron, janjikan dukungan untuk mengembalikan lebih banyak artefak Khmer dan bantuan teknis untuk memperluas Museum Nasional Kamboja