Wartawan Dianiaya, AJI: Polisi Takut Kejahatannya Terbongkar

Ketika sedang merekam tindakan kekerasan aparat, saat itulah waktu yang paling krusial terjadinya kekerasan terhadap wartawan.
AJI Indonesia menggelar protes di depan Kantor Kedutaan Myanmar, tahun 2018 silam. (Foto: Tagar/Eko Siswono Toyudho/Anadolu Agency/Getty Images)

Jakarta – Ketika sedang merekam tindakan kekerasan aparat, saat itulah waktu yang paling krusial terjadinya kekerasan terhadap wartawan. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengungkap ada pola yang teratur dalam setiap tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap wartawan yang meliput unjuk rasa.

AJI mencatat 28 jurnalis mengalami kekerasan saat meliput aksi tolak UU Cipta Kerja.

"Polisi melakukan kekerasan terhadap wartawan ketika wartawan sedang merekam polisi melakukan kekerasan terhadap massa. Artinya, polisi tidak mau kejahatannya diketahui oleh publik," kata Ketua AJI, Abdul Manan dalam konferensi pers secara virtual, dilansir CNN Indonesia, Sabtu, 10 Oktober 2020.

"Dan yang dia lakukan adalah mengintimidasi wartawan, merusak alat liputan, dan menghapus hasil liputan," lanjutnya.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, kekerasan polisi terhadap wartawan kembali terjadi saat demonstrasi tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di berbagai daerah, Kamis, 8 Oktober 2020 lalu.

AJI mencatat 28 jurnalis mengalami kekerasan saat meliput aksi tolak UU Cipta Kerja. Data tersebut dihimpun AJI dari 38 kota dari seluruh Indonesia. Dari data itu, wilayah DKI Jakarta menjadi daerah paling banyak terjadi kekerasan terhadap wartawan.

Tercatat ada 8 kasus kekerasan terhadap wartawan saat unjuk rasa berlangsung di Jakarta. Kemudian di Kota Surabaya dan Samarinda AJI mencatat 6 kasus kekerasan, lalu Semarang dan Palu masing-masing tiga kasus.

Salah satu kasus kekerasan yang terjadi Kamis, 8 Oktober 2020, seorang wartawan suara.com, Peter Rotti. Dia mengalami kekerasan dari aparat kepolisian saat meliput aksi unjuk rasa penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.

Pemred Suara.com, Suwarjono melalui rilis yang diterima Tagar, menyebutkan peristiwa itu terjadi sekitar pukul 18.00 WIB. Saat itu Peter merekam video aksi sejumlah aparat kepolisian mengeroyok seorang peserta aksi di sekitar halte Transjakarta Bank Indonesia.

"Ketika itu Peter berdua dengan rekannya, yang juga videografer, yakni Adit Rianto S, melakukan live report via akun YouTube peristiwa aksi unjuk rasa penolakan Omnibus Law," kata Suwarjono.

Melihat Peter merekam aksi para polisi menganiaya peserta aksi dari kalangan mahasiswa, tiba-tiba seorang aparat berpakaian sipil serba hitam menghampirinya. Kemudian disusul enam orang Polisi yang belakangan diketahui anggota Brimob.

"Para polisi itu meminta kamera Peter, namun ia menolak sambil menjelaskan bahwa dirinya jurnalis yang sedang meliput," tegasnya.

Para polisi bersikukuh dan merampas kamera jurnalis video Suara.com tersebut. Peter pun diseret sambil dipukul dan ditendang oleh segerombolan polisi tersebut.

"Saya sudah jelaskan kalau saya wartawan, tetapi mereka (polisi) tetap merampas dan menyeret saya. Tadi saya sempat diseret dan digebukin, tangan dan pelipis saya memar," kata Peter melalui sambungan telepon kepada Suwarjono.

Setelah merampas kamera, memori yang berisi rekaman video liputan aksi unjuk rasa mahasiswa dan pelajar di sekitar patung kuda, kawasan Monas, Jakarta itu diambil polisi. Namun kameranya dikembalikan kepada Peter.

"Kamera saya akhirnya kembalikan, tetapi memorinya diambil sama mereka," ujarnya.

Baca juga: 

Ketua Bidang Advokasi AJI, Sasmito Madrim berharap pelaporan kekerasan pada jurnalis yang terjadi pada peliputan unjuk rasa Omnibus Law Cipta Kerja diselesaikan sesuai Undang-Undang (UU) Pers, yakni Pasal 18.

Ayat 1 dalam pasal itu berbunyi "Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan yang menghambat atau menghalangi pelaksanaan peliputan dipidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak 500 juta rupiah”.[]

Berita terkait
Daftar Kerusakan Demo di Jakarta, Busway Rugi Rp 45 Miliar
Akibat demo di Jakarta prasarana dan fasilitas umum mengalami kerusakan. Bahkan, jumlah kerugian yang dialami PT Transjakarta mencapai Rp 45 miliar
Jokowi Jelaskan UU Cipta Kerja, Netizen: Cuti Khitanan Pak?
Presiden Jokowi menjelaskan UU Cipta Kerja kepada publik secara daring.Warganet menyoroti Jokowi menyebut cuti khitanan.
Pengusaha Muda Bukittinggi Ungkap Dampak UU Cipta Kerja
Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Bukittinggi, Ferdian menilai UU Cipta Kerja belum dibutuhkan di Indonesia.
0
DPR Terbuka Menampung Kritik dan Saran untuk RKUHP
Arsul Sani mengungkapkan, RUU KUHP merupakan inisiatif Pemerintah. Karena itu, sesuai mekanisme pembentukan undang-undang.