Vandalisme, 3 Mahasiswa Malang Terancam 2 Tahun Bui

Polresta Malang menetapkan tiga mahasiswa PTN di Malang sebagai tersangka kasus vandalisme bernada provokatif di sejumlah lokasi di Malang Raya.
Kapolresta Malang Kombes Leonardus Simarmata saat jumpa pers terkait penangkapan tiga mahasiswa dalam kasus vandalisme di Malang Raya. (Foto: Tagar/Moh Badar Risqullah)

Malang - Tiga mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Malang diduga jaringan Anarko Sindikalis Indonesia yang ditangkap Kepolisian Resort Kota Malang terancam 2 tahun penjara. Ketiga mahasiswa tersebut yaitu MAA, 20 tahun, SRA, 20 tahun dan AFF, 22 tahun.

Mereka ditangkap di masing-masing rumahnya di Kecamatan Lawang dan Singosari, Kabupaten Malang serta Kabupaten Sidoarjo pada Senin 19 April 2020 malam. Mereka ditankap atas tuduhan melakukan aksi vandalisme bernada provokatif di sejumlah lokasi di Malang Raya.

Motifnya pelaku tidak menerima atau memprovokasi masyarakat untuk melawan kapitalisme yang dirasa merugikan.

Kepala Kepolisian Resort Kota Malang Komisaris Besar Leonardus Simarmata mengatakan ketiga mahasiswa tersebut sudah ditetapkan tersangka karena terbukti melakukan pengrusakan properti atau fasilitas milik orang lain dengan coretan kata-kata bernada provokatif.

Hasil identifikasi sementara, dia menyebutkan ada enam titik lokasi aksi vandalisme atau corat-coret. Dipaparkannya yaitu di Jalan Letnan Jenderal Sunandar Priyo Sudarmo, Jalan Tenaga, Jalan Jenderal Ahmad Yani Utara dan Jalan Laksda Adi Sucipto, Kecamatan Blimbing.

Selanjutnya di Jalan Jaksa Agung Suprapto, Kecamatan Klojen, Kota Malang. Kemudian di Kecamatan Karanglo, Kabupaten Malang atau tepatnya di Underpass di depan exit tol Pandaan - Malang yang beberapa lalu sempat viral.

"Motifnya pelaku tidak menerima atau memprovokasi masyarakat untuk melawan kapitalisme yang dirasa merugikan," kata dia saat konferensi pers di Mapolresta Malang, Rabu 22 April 2020.

Dari hasil penangkapan, Leo menyampaikan kepolisian juga mengamankan beberapa barang bukti digunakan tersangka saat beraksi. Diantaranya yaitu tiga buah handphone dan helm beserta sepada motor beat. 

Kemudian satu poster dan satu cat pilox berwarna hitam dikatakannya digunakan untuk mencoret-coret properti atau fasilitas milik orang lain.

"Kita juga amankan dokumentasi dari aksi mereka atau para tersangka ini. Salah satunya aksi dilakukan pada 4 April 2020 lalu," ungkap mantan Wakapolrestabes Surabaya ini.

Dalam proses hukum, mantan Kapolres Mojokerto, ini mengatakan sudah memeriksa sebanyak tujuh saksi dan tiga saksi ahli untuk mendalami sementara kasus ini. Dia menambahkan bahwa para tersangka ini memang ada indikasi merupakan bagian dari kelompok Anarko Sindikalis Indonesia seringkali beraksi di Malang Raya. 

"Mereka melakukannya di tempat-tempat sepi dan cocok untuk dicoret dengan kata bernada provokatif," ucapnya.

Sedangkan dalam setiap melakukan aksinya. Ketiga tersangka ini memiliki masing-masing. Dijelaskannya seperti MAA yang membeli cat pilox serta SRA yang memiliki inisiatif dan yang melakukan aksi coret-coretnya.

"Kalau AFF ini berperan mengawasi setiap aksi mencoret-coretnya dilakukan," terangnya.

Dengan begitu, akibat perbuatannya ketiga tersangka itu disampaikannya bahwa mereka dijerat dengan Pasal 14 dan 15 Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana serta Pasal 160 KUHP tentang Penghasutan.

Dengan begitu, ketiga tersangka bisa terancam hukuman paling rendah selama 2 tahun dan paling tinggi 10 tahun penjara. Namun, untuk perkembangannya dia mengaku kepolisian masih akan melakukan penyelidikan lebih lanjut.

"Masih kita dalami (kasus vandalisme) ini. Nanti, kita sampaikan perkembangannya seperti apa," singkatnya.

LBH Nilai Polisi Paksakan Penetapan Tersangka

Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya pos Malang mengecam penetapan tersangka terhadap tiga mahasiswa yang dituduh melakukan vandalisme bernada provokatif. 

LBH menilai tindakan kepolisian tersebut tanpa ada prosedur jelas dan terkesan memaksakan suatu kasus dengan mengaitkannya pada jaringan Anarko Sindikalis Indonesia.

Ketua LBH Surabaya Pos Malang Lukman Hakim mengatakan sangat menyanyangkan proses hukum secara kilat oleh Polresta Malang terhadap ketiga mahasiswa tersebut. Menurutnya kasus tersebut terkesan dipaksakan yang tentunya sangat bertentangan dengan azas keadilan serta melanggar hak warga negara.

"Mereka ini tidak dijadikan sebagai saksi dulu. Tapi, langsung dijadikan tersangka usai dilakukan penangkapan di rumahnya dan penahanan. Seharusnya kan tidak seperti itu," kata dia saat dikonfirmasi Tagar melalui telepon.

Dijelaskannya bahwa memang jika bukti didapatkan polisi sudah kuat dan menjurus disangkakan. Bisa saja status ketiganya langsung ditetapkan tersangka, sampai saat ini hal-hal pendukung atau bukti tersebut tidak jelas atau masih kabur.

Tidak hanya itu, Lukman menambahkan pihaknya sendiri juga kesulitan mendapatkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari kepolisian. Padahal salinan atau soft copy dokumen BAP dikatakannya merupakan hak daripada tersangka dan kuasa hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 72 KUHAP.

"Sampai saat ini kami kesulitan mendapatkan BAP. Seharusnya, kepolisian jangan seperti itu," tuturnya.

Disisi lain, dia menyebutkan penetapan tiga tersangka dengan dugaan bagian dari jaringan Anarko Sindikalis Indonesia memprovokasi masyarakat ada kesan dipaksakan. Kesan itu dikatakannya bisa dilihat dari fakta-fakta kejadian bagaimana proses hukum yang terjadi begitu cepat.

"Kita bisa melihat fakta kejadian ada. Tapi, untuk itu kami masih belum bisa berkomentar banyak. Soalnya, kami belum mendapatkan BAP itu tadi," kata dia.

Selain kasus yang menjerat tiga mahasiswa tersebut, kata dia, kasus penangkapan 10 anak punk di Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang oleh Polres Malang. Padahal, mereka diketahui tidak ada sangkut pautnya dengan gerakan Anarko Sindikalis Indonesia menurut kepolisian akan memprovokasi masyarakat.

"Makanya, hal itulah kami sayangkan. Seharusnya inilah harus dipegang teguh oleh kepolisian (agar tidak blunder menetapkan suatu kasus)," tuturnya.

Oleh karena itu, Lukman menambahkan pihaknya akan terus melakukan pendampingan kepada kliennya tersebut hingga nantinya jika sampai ke ranah pengadilan.

"Tentu kami akan terus lakukan itu kepada mereka ini. Bahkan, jika kasus ini berujung hingga ke Pengadilan," ujarnya.

Sementara itu, Anggota LBH Surabaya Jauhar menjelaskan kronologi kasus dugaan aksi vandalisme hingga dilakukan penangkapan oleh Polresta Malang kepada tiga mahasiswa yang juga merupakan aktivis Aksi Kamisan di Kota Malang ini.

Ia menggali acuan kepolisian berawal dari dugaan adanya aksi vandalisme yang terjadi pada 4 April 2020 lalu. Saat itu, ketiganya ini menurut kepolisian tertangkap kamera CCTV di sebuah tempat yang diduga menjadi lokasi aksinya itu.

Berbekal rekaman CCTV itulah, polisi pun menyelediki kasus vandalisme tersebut. Walaupun pada kenyataannya diketahui kasus itu tidak ada laporan dari beberapa pihak manapun yang merasa dirugikan dengan ulah mereka tersebut.

Tentunya, hal itu berpijak sesuai dengan Pasal 160 KUHP tentang Penghasutan yang disangkakan oleh kepolisian. Dan sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengubah rumusan delik penghasutan dalam Pasal 160 KUHP dari delik formil menjadi delik materil.

Sehingga, pelaku penghasutan baru bisa dipidana apabila berdampak pada adanya tindak pidana lain. Misalnya seperti terjadi kerusuhan atau perbuatan anarki lainnya.

Setelah kepolisian mengumpulkan beberapa bukti. Penangkapan awal pun terjadi yaitu kepada tersangka berinisial AFF di rumahnya yang beralamat di Kabupaten Sidoarjo pada Senin, 19 April 2020 sekitar pukul 20.20 WIB. Kurang lebih ada sekitar lima orang polisi yang datang dan menangkapnya.

Akan tetapi, sebelum itu oleh AFF polisi tersebut dimintai surat penjemputannya dengan mempertanyakan apakah namanya ada dalam surat tersebut. Ternyata, dalam surat tersebut diketahui tidak ada daftar namanya.

"Karena itulah, AFF ini sempat menolak untuk menuruti permintaan polisi tersebut," kata Jauhar saat dikonfirmasi yang juga membenarkan kejadian tersebut sesuai dengan pengakuan teman dan keluarga AFF.

Karena tidak ingin memperkeruh suasana di rumahnya, AFF pun akhirnya kooperatif dengan mau mengikuti polisi kemudian dirinya dibawa ke Polresta Malang sekitar pukul 20.45 Wib.

Setelah itu, informasi yang didapatkan diketahui kepolisian menggeledah rumah nenek AFF beralamat di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang sekitar dua jam usai penanangkapan atau tepatnya pada pukul 23.00 Wib.

Dalam penggeledahan itu, kepolisian mencari barang bukti berkenaan dengan gerakan Anarko ditempat tinggalnya yang digunakan selama menempuh pendidikan atau kuliah di Kota Malang.

Selanjutnya, kepolisian menangkap dua orang lainnya yaitu MAA dan SRA di masing-masing rumahnya pada Selasa 20 April 2020 kemarin pagi. Pertama, tepatnya di Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang yang terjadi sekitar pukul 04.00 Wib.

Sedangkan satunya lagi di Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang sekitar pukul 05.00 Wib di hari yang sama. Saat itu, kurang lebih masing-masing ada lima personel kepolisian yang tidak berseragam mendatangi rumah keduanya dan langsung melakukan penangkapan dengan juga membawanya ke Polresta Malang.

"Itu informasi yang kami dapatkan dari mereka yang melaporkannya kepada kami. Makanya, saat ini kami sudah koordinasi dengan LBH Surabaya Pos Malang untuk mendampingi proses hukumnya di kepolisian hingga pengadilan," ujarnya.

Terlepas dari itu, Jauhar menambahkan pihaknya bersama rekan aktivis di Jawa Timur yang pada khususnya di Malang mendesak kepolisian agar lebih profesional dalam menangani kasus seperti ini. Apalagi, beberapa pasal yang disangkakan kepada tersangka menurutnya bertentangan dengan azas keadilan.

Dikatakannya bahwa pasal-pasal dan tuduhan tersebut tidak berdasar apapun dengan juga tanpa adanya bukti yang jelas. Bahkan, penetapan tersangka tersebut sifatnya hanya berasal dari dugaan spekulatif yang belum tentu kebenarannya.

"Apa yang dilakukan ini sudah bertentangan dengan Hak Asasi Manusia yang seharusnya dipenuhi dan dilindungi oleh negara. Kejadian-kejadian seperti ini pun juga sudah sering terjadi," tegasnya.

Seperti kasus ini yang dikatakannya dalam proses hukumnya sangat cepat atau kilat. Sejak dilakukan penangkapan dalam rentan waktu dua hari yaitu Senin dan Selasa.

Tidak berlangsung lama, keesokan harinya atau pada Rabu 22 April 2020 sudah langsung ditetapkan sebagai tersangka dengan alasan sudah dilakukan pemeriksaan. Padahal menurutnya, proses ini tanpa adanya prosedur jelas.

"Makanya, kami mendesak agar membatalkan status tersangka itu dan kejadian seperti ini jangan terulang kembali kepada siapapun. Kami harap, penegak hukum juga lebih profesional dalam menangani kasus seperti ini," tuturnya. []

Berita terkait
Polresta Malang Tangkap 3 Mahasiswa Kelompok Anarko
Polresta Malang menangkap tiga mahasiswa tersebut karena melakukan aksi vandalisme di 33 titik di Kota Malang di tengah pandemi Covid-19.
Polresta Malang Awasi PDP Covid-19 Rawat Jalan
Polresta Malang mengawasi PDP Covid-19 yang rawat jalan agar tidak keluar rumah dan menyebabkan menularkan Covid-19 ke orang lain.
Polda Jatim Tangkap 10 Orang Diduga Kelompok Anarko
10 orang ditangkap Polda Jatim karena melakukan aksi provokasi dengan melakukan vandalisme di Exit Tol Lawang, Malang di tengah pandemi Covid-19.
0
Massa SPK Minta Anies dan Bank DKI Diperiksa Soal Formula E
Mereka menggelar aksi teaterikal dengan menyeret pelaku korupsi bertopeng tikus dan difasilitasi karpet merah didepan KPK.