Sampang - Pembangunan kawasan pertokoan dan industri di Kabupaten Sampang cukup pesat. Tapi tidak sedikit bangunan perusahaan dilakukan di lahan produktif. Seperti perusahaan batching plant atau pengolah beton cor di Desa Pangelen, Kecamatan Kota Sampang.
Berdasarkan data Dinas Pertanian (Disperta) Sampang, luas lahan produktif pertanian di Kota Bahari 110 ribu hektare. Tapi menyusut menjadi 99.743 hektare. Dengan rincian, lahan tegal 79.159 hektare, sawah tadah hujan 15.527 hektare, dan sawah pengairan atau irigasi 5.012 hektare.
Anggota DPRD Sampang Alan Kaisan mengatakan, lahan produktif pertanian di Desa Pangelen merupakan wilayah produksi tanaman padi dan tembakau. Pasalnya hasil produksi pertanian per tahun cukup melimpah.
"Lahan produktif pertanian tidak boleh diubah menjadi kawasan industri dan semacamnya. Pemerintah harus bisa memetakan di mana lahan produktif dan tidak produktif, agar pelaku usaha tidak asal membangun," kata politikus dari Partai Gerindra itu, Senin 23 September 2019.
Menurutnya, pemerintah daerah belum maksimal melindungi lahan produktif pertanian. Indikasinya, sampai sekarang belum ada Peraturan Daerah (Perda) tentang perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).
Padahal sejak 2017 Badan Perencanaan Pembangunan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) dan Disperta Sampang sudah melakukan pendataan lahan produktif di semua wilayah pertanian. Namun pendataan itu tidak kunjung selesai.
Lahan produktif pertanian di Sampang semakin menyusut karena banyak yang beralih fungsi menjadi kawasan perusahaan, pertokoan, perumahan dan industri.
Alan mendesak agar Disperta Sampang segera menyelesaikan program pendataan lahan pertanian. Dengan demikian pemerintah bisa mengajukan pembentukan perda LP2B.
"Pembentukan Perda LP2B ini sifatnya mendesak. Perda itu harus segera disusun atau dibuat, kalau tidak lahan produktif pertanian akan semakin sempit," paparnya.
Sementara itu, Plt Kepala Disperta Sampang Suyono membenarkan bahwa lahan produktif pertanian di Kota Bahari banyak yang beralih fungsi menjadi kawasan perumahan, pertokoan, dan semacamnya.
"Kami tidak bisa berbuat banyak karena itu hak warga selaku pemilik lahan. Apalagi belum ada payung hukum terkait perlindungan lahan pertanian," kata Suyono.
Pembentukan Perda LP2B membutuhkan waktu yang cukup lama. Ada sejumlah prosedur yang harus dilalui, termasuk melakukan pendataan terhadap Kebutuhan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KLP2B) di semua wilayah pertanian.
"Juga perlu melakukan pemetaan ulang dan kajian terkait potensi lahan. Karena tidak semua lahan pertanian masuk katagori produktif," kata dia menerangkan.
Pria asal Banyuwangi itu menyampaikan, pendataan itu mulai dilaksanakan pada 2017 lalu. Ada tujuh kecamatan yang sudah didata. Namun tahun ini pendataan tidak dilakukan karena tidak ada anggaran untuk program pendataan lahan produktif pertanian.
"Tahun 2020 mendatang kami akan mengajukan anggaran sekitar Rp 300 juta untuk melakukan pendataan lahan produktif pertanian di tujuh kecamatan lain," ujarnya.
Pihaknya menargetkan, program pendataan lahan tuntas pada tahun 2020. Selanjutnya pada 2021 perda perlindungan LP2B bisa diajukan ke DPRD. Dinas sudah dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan konsultan untuk melakukan pendataan lahan.
"Kalau sudah ada perda, masyarakat atau pengembangan tidak boleh mendirikan bangunan di lahan produktif. Meski harus membangun di situ, pihak terkait harus mengganti dua kali lipat dari luas lahan yang digunakan," kata dia memungkasi. []
Baca juga:
- Warga Sampang Protes Perusahaan Beton Cor Tak Berizin
- Mobil Serobot Toko di Sampang Picu Kebakaran
- Ongkos Transportasi Sampang-Probolinggo Sangat Murah