Tanggapi Ijtima Ulama IV, Menhan: Titik Intoleransi

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu tidak sependapat dengan NKRI bersyariah berdasar pada Pancasila. Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tauhid Islam.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu (Foto: Antara/Sigid Kurniawan)

Jakarta - Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu menegaskan, poin sila pertama dalam Pancasila sudah sangat religius karena mencakup konsep dalam Islam. 

Menurutnya, penambahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bersyariah seperti dalam butir hasil Ijtima Ulama IV tidak mungkin dilakukan.

“Konsep Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan konsep tauhid dalam Islam," jelas mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) ini. 

Ia menyatakan NKRI tidak bisa diganggu gugat dengan konsep atau pun ideologi lain. Jadi, hasil rumusan Ijtima Ulama IV di Bogor, Senin 5 Agustus kemarin mengenai NKRI bersyariah yang berdasar pada Pancasila secara tegas ia nyatakan tidak bisa diterapkan di Indonesia.

"NKRI ya NKRI. Syariah itu ada di dalam Pancasila. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Melaksanakan syariah ya melaksanakan sila ke satu," kata Ryamizard di Jakarta, Senin, 12 Agustus 2019, dilansir Antara

Ia memandang, bagi umat Islam, semestinya Pancasila merupakan kesepakatan yang sudah final antara kelompok Islam, kelompok nasionalis, dengan kelompok kebangsaan. 

"Menurut kyai dan ulama pejuang bangsa saat itu, Syariah Islam yang diajukan dalam Piagam Jakarta kemudian disepakati sila pertama menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa sudah sama dengan syariah Islam. KH Wahid Hasyim, Tokoh NU, putra KH Hasyim Asy’ari yang turut serta merumuskan dasar negara Indonesia pada tahun 1945,” kata dia. 

Dengan konsep tersebut, maka umat Islam memiliki hak menjalankan keyakinan beragamanya tanpa harus mendiskriminasi keyakinan agama lain. 

"Di titik inilah, menjalankan Pancasila sama artinya mempraktikan syariat Islam dalam konsep hidup berbangsa dan bernegara. Sehingga tidak ada sikap intoleransi kehidupan berbangsa atas nama suku, agama, dan lain-lain," kata Ryamizard. 

Pada kesempatan yang sama Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) KH Salahuddin Wahid berpendapat tidak perlu ada istilah NKRI bersyariah. Sebab, syariat Islam tetap jalan di Indonesia tanpa adanya rumuskan Ijtima Ulama IV. 

"Syariat Islam jalan kok di Indonesia tanpa rumusan NKRI bersyariah. Tanpa istilah syariah, syariat Islam jalan, jadi tidak perlu ada istilah itu," kata pria yang akrab disapa Gus Solah ini.

Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, KH Salahuddin Wahid itu kemudian menjelaskan mengenai Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang mengandung kata syariah yaitu "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". 

Tetapi, lanjutnya, tujuh kata itu dicoret menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, sebuah rumusan yang lebih universal. 

"Tidak ada istilah NKRI bersyariah bukan berarti kita anti syariah Islam, tidak. Di tataran undang-undang dasar tidak ada bersyariah, tapi di tataran undang-undang boleh monggo, tidak ada masalah," tuturnya. 

Adik dari Almarhum Gus Dur ini mengatakan tidak perlu lagi ada istilah NKRI bersyariah karena dalam pengertian UUD 1945 sudah tidak ada lagi. Tetapi kalau hanya ingin menyebutkan saja, dipersilakan, karena tidak ada artinya.

Baca juga:

Berita terkait
Tanggapi Ijtima Ulama IV, Menhan: Titik Intoleransi
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu tidak sependapat dengan NKRI bersyariah berdasar pada Pancasila. Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tauhid Islam.
NU: NKRI Bersyariah versi Yusuf Martak Tidak Bermakna
Tokoh Nahdlatul Ulama atau NU Gus Solah menyatakan NKRI bersyariah versi Penanggung Jawab Ijtima Ulama IV Yusuf Martak tidak bermakna.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.