Tak Digaji, Sulastri Guru Anak Buta Huruf di Aceh

Tanpa digaji, Sulastri ikhlas mengajarkan anak-anak yang buta huruf di pedalaman Aceh sejak 2013 hingga saat ini.
Sulastri, saat diwawancarai wartawan di Kanwil Kemenag Aceh, Banda Aceh, Rabu 11 Desember 2019. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)

Banda Aceh - Sulastri (36 tahun) tak menyangka deringan smartphone itu membawanya ke Jakarta. Jumat 6 Desember 2019 itu dalam perjalanan dari Takengon, ibu kota Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, menuju Kala Wih Ilang, Kecamatan Pegasing, kabupaten yang sama, Sulastri mendapat panggilan telepon dari salah satu pegawai di Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh.

Dalam percakapan itu, Sulastri diberi tahu bahwa ia termasuk satu dari empat guru lainnya dari berbagai provinsi di Indonesia yang dinobatkan sebagai kepala sekolah sekaligus guru insipiratif atas jasanya dalam membangun dan mengabdi di madrasah pedalaman Aceh.

“Kebetulan saya di hari Jumat itu ada urusan ke Kantor Kemenag Aceh Tengah, ada rapat. Setelah pulang dari rapat, di perjalanan bunyi telepon dari Pak Jol (pegawai dari Kemenag Aceh) memberi tahu saya soal itu,” kata Sulastri di sebuah sudut ruangan Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh di Banda Aceh, Rabu 11 Desember 2019 sore.

Di hadapan para jurnalis, Sulastri menceritakan bagaimana kisahnya dalam membangun madrasah pedalaman sehingga dinobatkan sebagai kepala sekolah sekaligus guru insipiratif tahun 2019.

Sampai berumur 12 tahun dia tidak mengetahui apapun, apalagi huruf A sampai Z.

Sulastri berangkat ke Jakarta pada Senin 10 Desember 2019 melalui Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar. Lalu, keesokan harinya, Sulastri menghadiri acara Ekpose Kompetensi dan Profesionalitas Guru Madrasah 2019 di Bell Swiss Hotel Jakarta.

Di sana, Sulastri menerima penghargaan berupa uang tunai sejumlah Rp 20 juta, tropi dan sertifikat diserahkan Menteri Agama yang diwakili oleh Direktur Pendidikan dan Agama Bappenas RI, Amich Alhumami.

“Saat saya diberi tahu mendapat penghargaan, rasanya ingin meneteskan air mata, tapi bahagia ya, terharu, menangis itu bukan sedih tetapi bahagia, ketika saya mendengarkan dari Pak Jol, ketika nelpon saya dengan tiba-tiba, saya sangat kaget dan terharu kenapa saya bisa ke sana (Jakarta),” ujar Sulastri.

Sulastri merupakan Kepala Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Kala Wih Ilang. Madrasah ini terletak di pedalaman Kabupaten Aceh Tengah, Aceh. Meski sebagai kepala madrasah, Sulastri bukanlah seorang guru Pegawai Negeri Sipil (PNS), dia hanyalah guru honorer yang mengabdi di madrasah tersebut.

Sulastri merintis pendidikan di pedalaman Aceh itu sejak 2013 silam. Saat itu, untuk tahun pertama hanya ada 13 siswa. Demikian juga dengan ruang belajar yang dibangun seadanya dengan swadaya masyarakat. Madrasah itu awalnya dibangun oleh Thamrin yang merupakan pamannya. Saat itu, Thamrin bertugas di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pegasing, Kabupaten Aceh Tengah.

“Kita buka sekolah bersama paman saya almarhum Bapak Thamrin, dulu dia bertugas di KUA Pegasing, dan kemudian dimutasikan ke KUA Lut Tawar, setelah dia meninggal, saya melanjutkan langsung sekolah itu, masih yang ditinggalkan berdindingkan papan, beralaskan tanah di saat itu,” tutur Sulastri.

Menurut Sulastri, pembangunan madrasah itu didasari keprihatian sang paman terhadap kondisi di pedalaman Kala Wih Ilang, di mana banyak anak-anak yang seharusnya memperoleh hak pendidikan, tetapi tidak mendapatkannya.

Hal itu terjadi karena di kawasan Kala Wih Ilang tak ada satupun sekolah maupun lembaga pendidikan lainnya. Anak-anak di sana melalui hari-hari dengan bermain atau mengikuti orang tuanya bekerja di kebun kopi. Mereka tak pernah merasakan bagaimana mengecap pendidikan di bangku sekolah.

Kondisi itu membuat mereka terpuruk, buta huruf sehingga tak bisa membaca, apalagi menulis. Bahkan, mata uang pun mereka tak tahu jumlahnya.

Cuma ada kadang-kadang orang tua yang memberikan ala kadar.

“Sebelum tahun 2013, dulu belum ada sekolah, sementara anak didik banyak, tetapi tidak bersekolah. Bahkan, sampai berumur 12 tahun dia tidak mengetahui apapun, apalagi huruf A sampai Z, kemudian nilai-nilai uang, uang seribu saja dia tidak tahu nilainya berapa itu,” kata Sulastri.

Pada awal-awal berdiri, Sulastri mengajar dengan suka rela. Ia ditemani oleh seorang temannya, namun tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA). Sementara Sulastri tamatan S-1 Jurusan Syariah di salah satu universitas di Aceh Tengah. Meski bukan tamatan dari jurusan pendidikan, Sulastri tetap bertekat untuk mengajar.

Selama proses mengajar selama bertahun-tahun, Sulastri tak memiliki gaji layaknya guru-guru lainnya di Indonesia. Hanya saja, ia mendapat bantuan swadaya dari orang tua siswa. Jumlahnya pun tak banyak. Namun, ia tetap bersyukur karena apa yang dilakukan itu dengan penuh keikhlasan tanpa mengharap imbalan.

Bantuan yang diperoleh dari orang tua siswa itu kemudian dibagi rata bersama satu guru lainnya. Bahkan, mereka pernah mendapatkan Rp 50 ribu per bulan untuk satu orang.

“Kalau dari bantuan dana BOS memang belum ada, cuma ada kadang-kadang orang tua yang memberikan ala kadar, itu nanti saya bagi, kadang-kadang Rp 50 ribu per bulan, ada dua orang guru,” tutur Sulastri.

Itu jalannya kalau hujan sampai selutut lumpur, banyak yang mengeluh, bahkan ada yang menangis terkait kondisi jalan.

Guru Pedalaman AcehSulastri, memperlihatkan penghargaan tropi dan sertifikat penghargaan sebagai kepala sekolah sekaligus guru insipiratif atas jasanya dalam membangun dan mengabdi di madrasah pedalaman Aceh di Kanwil Kemenag Aceh, Banda Aceh, Rabu 11 Desember 2019. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)

Saat ini, Sulastri memiliki dua orang anak, yang pertama berumur empat tahun setengah. Sementara yang kedua masih berumur dua tahun. Anak pertama dibawakan oleh suaminya saat pergi bekerja di kebun kopi. Sementara anak kedua dibawakan Sulastri saat mengajar. Dalam posisi menggendong anak, Sulastri mengajar mendidik generasi bangsa di pedalaman Aceh.

“Karena tidak mengganggu saya mengajar, maka tidak apa-apa saya bawa anak,” kata Sulastri.

Jalan berliku memang sudah dialami Sulastri. Bahkan, ia sempat mengalami kegurusan sebanyak dua kali akibat beratnya akses menuju madrasah itu. Hal itu terjadi saat Sulastri belum menetap di kawasan Kala Wih Ilang.

“Itu jalannya kalau hujan sampai selutut lumpur, banyak yang mengeluh, bahkan ada yang menangis terkait kondisi jalan,” kata Sulastri.

Perhatian pemerintah untuk MIS Kala Weh Ilang baru ada pada tahun 2017 setelah pemberitaan di sejumlah media viral. Berdasarkan berita-berita tersebut, datanglah tim dari Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh untuk meninjau lokasi itu.

“Alhamdulillah 2017 ada perhatian dari pemerintah, kebetulan setelah wartawan datang tanpa sepengetahuan saya dan tanpa saya undang, saya juga merasa terkejut dengan kehadiran beliau, mereka bertanya kok ada sekolah di tengah hutan,” kata Sulastri.

Saat ini, MIS Kala Weh Ilang sudah dibangun dalam bentuk permanen. Ada enam ruang yang dimiliki madrasah itu. Lima ruangan untuk belajar, sementara satu untuk ruang guru dan kepala madrasah.

Enam ruangan itu dibangun secara pertahap, yaitu bantuan dari Kementerian Agama RI satu ruangan, Kanwil Kemenag Aceh dua ruangan, dan Dinas Pendidikan Kabupaten Aceh Tengah sebanyak tiga ruangan.

“Ruang kantor belum ada, sehingga anak kelas satu dan dua kami sekat dalam satu ruangan, supaya ada satu kantor guru,” tutur Sulastri.

Kini, MIS Kala Wih Ilang juga sudah mendapat suntikan dana guru terpencil dari pemerintah. Jumlahnya sebesar Rp 16 juta per tahun. Menurut Sulastri, dana tersebut dibagi rata bersama guru-guru lainnya yang non PNS.

Sejak 2016, MIS Kala Wih Ilang juga sudah memiliki tiga guru PNS yang dikirim oleh Kemenag Kabupaten Aceh Tengah. Namun, tiga tenaga pengajar itu juga masih mengalami kesulitan untuk mencapai madrasah karena buruknya akses.

“Sering ibu-ibu itu sudah capek-capek pergi dari rumah, di tengah jalan hutan dan tertahan tidak bisa melanjutkan perjalanan,” kata Sulastri.

Karena itu, Sulastri berharap kepada pemerintah untuk membangun perumahan dinas untuk guru di MIS Kala Wih Ilang. Dengan demikian, tenaga pengajar bisa sampai ke madrasah tepat waktu.

“Ataupun bisa juga jalan diperbaiki, sehingga akses menuju lokasi semakin mudah,” ujar Sulastri.

Meski demikian, Sulastri mengaku masih banyak PR dari berbagai pihak untuk membenah MIS Kala Weh Ilang, salah satunya soal akses menuju madrasah. Menurutnya, dari pusat ibu kota Aceh Tengah, membutuhkan waktu sekitar empat jam untuk mencapai lokasi, karena buruknya akses jalan.

“Dari Takengon ke Wih Ilang itu satu jam melewati jalan hitam, nah dari Wih Ilang ke lokasi sekolah yang menghabiskan waktu tiga jam, padahal jaraknya hanya tujuh kilometer, karena aksesnya yang buruk maka harus didorong kendaraannya, khususnya saat hujan,” kata Sulastri.

Dari Wih Ilang ke lokasi sekolah yang menghabiskan waktu tiga jam, padahal jaraknya hanya tujuh kilometer.

Guru Tanpa DigajiSulastri, (kiri), peraih penghargaan kepala sekolah sekaligus guru insipiratif atas jasanya dalam membangun dan mengabdi di madrasah pedalaman Aceh saat hadir di Kanwil Kemenag Aceh, Banda Aceh, Rabu 11 Desember 2019. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)

Sulastri, Tenaga Honorer Sejak 2005

Usai lulus dari salah satu universitas di Kabupaten Aceh Tengah, Sulastri menjadi tenaga honorer di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pegasing sejak 2005. Namun, setelah pamannya meninggal, ia pindah ke kawasan perdesaan dan mengabdikan dirinya di MIS Kala Wih Ilang. Di madrasah itu, Sulastri juga masih sebagai tenaga honorer.

Yang penting saya sudah mengabdi dan ikhlas.

“Saya tidak terangkat-angkat (jadi PNS), dulu memang sudah masuk ke kategori dua, dari administrasi, kemudian kategori dua itu sampai sekarang belum ada kejelasan, kemudian paman saya mendorong saya untuk bukalah sekolah yang ada di hutan ini, sehingga anak-anak bisa berpendidikan,” kata Sulastri.

Sulastri mengaku tak banyak menaruh harapan agar diangkat jadi PNS. Sebab, apa yang ia lakukan selama ini hanyalah sebuah keikhlasan semata, demi mendidik generasi di pedalaman Aceh.

“Cita-citanya (jadi PNS) ada, itu terserah sama pemerintah semua, yang penting saya sudah mengabdi, ikhlas, kalau memang nanti diangkat sama pemerintah, walaupun tidak punya akta untuk mengajar di situ, kebetulan diangkat itu Alhamdulillah,” demikian Sulastri. []

Baca cerita lain: 

Berita terkait
Persiraja Terancam Tak Main di Aceh, Suporter Cemas
Persiraja Banda Aceh terancam tak bisa bermain di Aceh di kompetisi Liga 1 2020. Pasalnya Stadion Harapan Bangsa tak penuhi syarat untuk Liga 1.
Seorang Bocah yang Hanyut di Aceh Ditemukan Tewas
Seorang anak dikabarkan tewas saat sedang berenang di aliran Sungai Desa Meunasah Kumbang Punteut, Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe, Aceh.
Warga Aceh Singkil Resah DBD, Fogging Habis Biaya
Warga Pulo Sarok, Kecamatan Singkil, Aceh Singkil, Aceh meminta pihak Dinas Kesehatan setempat melakukan fogging secara menyeluruh.
0
Elon Musk Sebut Pabrik Mobil Baru Tesla Rugi Miliaran Dolar
Pabrik mobil baru Tesla di Texas dan Berlin alami "kerugian miliaran dolar" di saat dua pabrik kesulitan untuk meningkatkan jumlah produksi