Hidup Rukun dalam Keberagaman
Kepada yang terhormat Sri Sultan Hamengku Buwono X Yogyakarta. Dengan hormat. Sebagai warga Jogja, saya akhir-akhir ini sangat terusik dengan kejadian-kejadian intoleran yang mengatasnamakan agama yang begitu sering terjadi di Jogja.
Saya lahir, tumbuh kembang, sekolah dan kerja di Jogja. Orang Jogja itu kultural, ramah, bersahaja, toleran dan guyup rukun. Watak beringas dan mau menang sendiri jelas bukan karakter orang Jogja.
Yang sangat menyesakkan dada dan memilukan hati adalah bibit-bibit intoleran dicekokkan pada anak PAUD, TK, SD, SMP, SMA dan mahasiswa. Ini sangat berbahaya bagi masa depan Indonesia. Saya sangat memohon Pak Sultan serius dan fokus menuntaskan masalah pendidikan di Jogja yang sudah tercemari polusi politik radikal agama. Sembah nuwun Pak Sultan.
Akar masalahnya adalah tidak bisa membedakan antara kehidupan keagamaan dan hidup berbangsa dan bernegara dalam frame NKRI yang berideologikan Pancasila yang berbhineka tunggal ika. Ini komitmen kita semua dalam hidup berbangsa dan bernegara. Tidak boleh ditawar sedikitpun, sekalipun berdalih kebebasan dan demokrasi.
Pak Sultan, Bapak adalah Raja Besar dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono X Senopati ing Ngalaga Ngaburrahman Sayyidin Panatagama. Tugas utama Bapak sebagai Raja di iklim demokrasi ini adalah Mbeber Jejeging Adil dalam segala aspek kehidupan warga Jogja termasuk kerukunan beragama.
Saya sangat memohon Pak Sultan serius dan fokus menuntaskan masalah pendidikan di Jogja yang sudah tercemari polusi politik radikal agama.
Saya sangat merindukan hadirnya kembali sosok Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Bagi saya, beliau adalah raja yang sangat merakyat sekaligus negarawan sejati. Tahta untuk rakyat. Raja yang telah mengorbankan kekuasaan politik atas tanah-tanahnya demi bergabung NKRI.
Saya merasakan suasana kebatinan seperti itu semakin memudar dalam kehidupan warga Jogja khususnya dalam kehidupan keagamaan.
Rumah ibadah adalah tempat suci untuk beribadah dan bersosial kemasyarakatan. Bukan tempat menyebar kebencian antarsesama umat beragama. Dengan dalih kebebasan untuk mengolok-olok umat beragama lain dengan seenaknya sendiri adalah hal yang tidak bisa dibenarkan dan dibiarkan, harus ditindak tegas.
Rumah ibadah sudah dinistakan untuk hal-hal kumuh dan sampah. Ini fakta dan terjadi di Jogja. Baru saja saya dapat laporan dari warga Kota Jogja yang di sebelahnya ada rumah ibadah yang selalu diisi hal-hal yang menyerang agama lain, melecehkan simbol keagamaan agama lain, dan menyebarkan kebencian. Parahnya, yang menjadi sasaran adalah anak-anak kecil generasi penerus Indonesia.
Pak Sultan, Bapak adalah Raja Besar yang tugas utamanya adalah Mbeber Jejeging Adil. Saya atas nama pribadi memohon keadilan bagi saudara-saudara saya yang populasinya minoritas untuk diberikan kebebasan beragama sewajarnya tanpa ada hinaan, cercaan, dan pelecehan atas simbol-simbol keagamaanya. Melarang orang lain beribadah adalah pelanggaran HAM dan melawan hukum negara.
Saya secara pribadi mengajak Pak Sultan dan warga Jogja lain untuk bergandengan tangan dan bergotong royong membangun Jogja dan mengembalikan citra Jogja sebagai City of tolerance, Kota Budaya, Kota Pelajar, Kota Pendidikan, dan Kota Perjuangan Revolusi Fisik.
Jangan sampai Jogja justru menjadi titik lemah sendi-sendi kebhinekaan Indonesia di kemudian hari.
Matur sembah nuwun Pak Sultan.
*Akademisi Universitas Gadjah Mada
Baca juga: