Jakarta - Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan pemanggilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Badan Kepegawaian Negara (BKN), dalam polemik tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih status sebagai aparatur sipil negara (ASN) terkesan mengada-ngada.
"Pemanggilan Komnas HAM ke pimpinan KPK dan BKN bukan saja tidak tepat tapi juga mengada-ada karena seperti hanya terpancing irama genderang yang ditabuh 51 pegawai KPK tidak lulus TWK," ujar Hendardi dalam keterangan tertulis, Jumat, 11 Juni 2021.
Ia mengatakan TWK yang diselenggarakan KPK melalui vendor BKN dan beberapa instansi terkait, semata-mata urusan administrasi negara yang masuk dalam lingkup hukum tata negara (HTN).
Semestinya Komnas HAM meneliti dan menjelaskan dahulu ruang lingkup dan materi di mana ada dugaan pelanggaran HAM yang terjadi sebelum memanggil pimpinan KPK dan BKN.
Jika ada penilaian miring atas hasil TWK ini, kata Hendardi, seharusnya diselesaikan melalui hukum administrasi negara, bukan wilayah hukum HAM, apalagi pidana.
Dalam pandangnya, pemanggilan Komnas HAM ingin menunjukkan bahwa pimpinan KBK dan BKN memiliki aspek pelanggaran HAM yang terjadi dalam TWK.
"Semestinya Komnas HAM meneliti dan menjelaskan dahulu ruang lingkup dan materi di mana ada dugaan pelanggaran HAM yang terjadi sebelum memanggil pimpinan KPK dan BKN," ucapnya.
Ia juga mengatakan seharusnya Komnas HAM memiliki mekanisme penyaringan terhadap setiap pengaduan yang masuk agar tidak dengan mudah digunakan sebagai alat siapa pun dengan kepentingan apapun.
Dalam persoalan alih status menjadi ASN di manapun, lanjut Hendardi, sangat wajar pemerintah menetapkan kriteria-kriteria tertentu sesuai amanat UU. Sebab untuk menjadi calon pegawai negeri pun memerlukan syarat-syarat tertentu, termasuk melalui sejumlah tes antara lain tentang kebangsaan.
Menurutnya, hal ini justru ironi ketika di berbagai instansi negara lainnya untuk menjadi calon ASN maupun menapaki jenjang kepangkatan harus melewati berbagai seleksi termasuk TWK, namun ada segelintir pegawai KPK yang tidak lulus yang menuntut diistimewakan, dalam konteks seleksi ASN memang bisa saja pelanggaran terjadi.
- Baca Juga: Firli Bahuri: Kami Tidak Ada Niat Mengusir 75 Pegawai KPK
- Baca Juga: Komnas HAM Kirim Surat Panggilan ke Firli Soal TWK KPK
Ia juga memberikan contoh seseorang tidak diluluskan karena dicurangi atau didiskriminasi, atau karena tidak dipenuhi hak-haknya ketika diberhentikan dari pekerjaannya. Namun, itu semua harus dibuktikan dengan data yang valid
"Sudah waktunya polemik dan manuver politik pihak yang tidak lulus TWK ini dihentikan, karena tidak produktif dan tersedia mekanisme hukum PTUN untuk memperjuangkan aspirasi mereka," ujar Hendardi.
"Demikian pula seyogyanya lembaga-lembaga seperti Komnas HAM dan lain-lain tidak mudah terjebak untuk terseret dalam kasus yang kendati cepat populer tapi bukan merupakan bagian mandatnya dan membuang-buang waktu," ucapnya. []