Sejarah Banjir Jakarta dan Solusinya

Sejarah Jakarta tidak bisa lepas dari banjir. Hunian yang saat ini ditempati dulunya berupa rawa-rawa tempat air meresap, menjadi salah satunya.
Lokasi banjir di Jalan Pengadegan Timur, Pengadegan, Jakarta Selatan, Jumat, 3 Januari 2020. (foto: Tagar/R. Fathan).

Yogyakarta - Banjir masih menjadi masalah besar bagi ibu kota Jakarta dan sekitarnya seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Di lihat dari sejarahnya, Jakarta akan punya masalah banjir.

Peneliti Senior Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) Uuniversitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Muslich Zaenal Asikin mengatakan sejak awal Jakarta berdiri di atas rawa-rawa. Maka, sampai kapanpun, Jakarta akan punya masalah banjir. Masalah menjadi lebih parah ketika jumlah penduduk bertambah besar.

"Rawa-rawa tempat serapan air kembali ke dalam tanah, hilang berubah menjadi lahan hunian. Masalah ini harus dipecahkan baik secara teknis, maupun sosial," katanya kepada Tagar, Senin 10 Februari 2020.

Dia mengatakan sebelum awal tahun 2020, Jakarta pernah mengalami banjir besar pada 1918 dan di awal pemerintahan Orde Baru di akhir 1960an. Pada zaman Belanda sesudah banjir 1918 dilakukan pembangunan kanal barat. Lalu pada masa awal Orde Baru dilakukan proyek pengendalian banjir.

"Banjir awal 2020 terjadi karena hujan dengan intensitas tinggi. BMKG sendiri mencatat curah hujan mencapai 377 milimeter," kata dia.

Persoalan banjir Jakarta ini menjadi pembahasan bersama dengan berbagai pihak terkait oleh Jurusan Magister Arsitektur Universitas Islam Indonesia (UII) yang bekerja sama dengan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) dan LPJK DIY belum lama ini. Mereka mendiskusikan tentang Solusi Praktis Banjir di Jabodetabek.

Antara Naturalisasi dan Normalisasi

Ketua Program Studi Magister Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Suparwoko mengatakan pendekatan praktis yang bisa dilakukan adalah bagaimana menjadikan air bisa masuk ke tanah sebanyak mungkin. Isu yang mengemuka soal ini adalah dilakukan naturalisasi dan normalisasi.

Menurutnya, dua pendekatan itu bisa digunakan. Hanya saja, mana yang harus dinaturalisasi dan mana yang harus dinormalisasi harus dipetakan lebih dahulu. Wilayah yang akan dikenakan dengan dua kebijakan yang berbeda, naturalisasi atau normalisasi, harus jelas. Di sini, Jakarta punya masalah.

Rawa-rawa tempat serapan air kembali ke dalam tanah, hilang berubah menjadi lahan hunian.

Sebagai perbandingan di Melbourne Australia. Langkah antisipasi jika terjadi banjir, dengan naturalisasi dan normalisasi bisa dilakukan karena pemetaan lahan jelas. Ada kepastian batas antara mana lahan yang harus menjadi lahan pertanian dan mana lahan perkotaan. Sementara di Jakarta, batas itu tidak jelas.

Selain itu, harus ada kebijakan one river one management (satu sungai satu kebijakan). Untuk soal ini, di Indonesia sebetulnya sudah ada Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS). Setiap sungai, ada BBWS yang mengatur manajemen sungai-sungai. Tetapi masalah berat muncul yakni sudah terjadi penggunaan lahan sungai untuk fungsi lain, khususnya hunian.

Untuk membebaskan lahan yang sudah terlanjut dipakai, biayanya mahal. Misalnya, dana yang dibutuhkan untuk membebaskan daerah aliran sungai Ciliwung agar bisa dikembalikan ke fungsi normalnya membutuhkan Rp 850 miliar.

Masalah di hulu sungai, juga berat. Di Puncak Jawa Barat, airnya turun ke Jakarta, sudah banyak hutan yang hilang. Hutan yang hilang di wilayah Puncak, seluas sekitar 5.000 hektare atau sekitar 60 kali luas Kebun Raya Bogor.

Pakar Hidrologi dari Fakultas Teknik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Yanto mengatakan, satu-satunya konsep dasar mencegah banjir yang bisa dilakukan adalah, dengan menjadikan air sebanyak-banyaknya diserap ke dalam tanah. Menjadikan air hujan masuk ke dalam tanah sebanyak-banyaknya, akan sekaligus mencegah air laut mengintrusi tanah di Jakarta.

Cara menjadikan air hujan masuk ke dalam tanah, ada beberapa. Bisa dengan membuat sumur resapan, membuat waduk dan lainnya. Hal-hal kecil seperti membuat sumur resapan, bisa dilakukan dengan mudah. "Tetapi di Jakarta ada masalah teknis. Air yang meluber, sering jauh dari sumur resapan," ucapnya.

Yanto mengungkapkan cara yang lebih cepat bisa dilakukan dan bisa didelegasikan ke pemda-pemda adalah dengan membuat bendung-bendung berseri, sebagai ganti waduk yang membutuhkan biaya mahal dan waktu yang lebih lama.

Diskusi Banjir JakartaSejumlah pakar membedah sejarah banjir Jakarta dan solusi mengatasinya yang digelar di Kampus UII Yogyakarta belum lama ini, (Foto: Tagar/Agung Raharjo)

Bendung-bendung yang dibangun berderet di sisi sungai yang menuju Jakarta, selain tidak kalah efektif dibanding waduk, biayanya juga lebih murah dan pembangunan bisa cepat diselesaikan.

Bagaimana dengan hilangnya hutan di bagian atas? Seperti hutan-hutan di wilayah Bogor yang sudah berubah menjadi lahan hunian dan pertanian? Misalnya, hutan diubah menjadi ladang jagung, maka air hujan akan langsung lari ke bawah hingga 90 persen.

Peraturan yang mengharuskan lahan dengan kelerengan 45 derajat atau lebih tidak boleh berubah fungsinya selain untuk hutan, harus ditegakkan. Selain itu upaya mengembalikan hutan yang hilang di wilayah puncak hingga seluas 60 kali luas kebun raya, harus diusahakan benar, agar banjir bisa dicegah sejak awal.

Anekdot Dua Musim di Indonesia

Widodo Brontowiyono dari FTSP UII mengatakan Indonesia sebetulnya memiliki keuntungan memiliki dua musim. Namun ada anekdot, karena tidak mampu dikelola, maka air menimbulkan banjir di musim hujan. Saat musim kemarau selalu ada kekurangan air. Soal ini harus dijawab oleh berbagai pihak, juga khususnya ahli-ahli teknik.

Di Eropa, yang bisa dilihat sebagai contoh adalah Belanda dan negara-negara sekitar. Belanda yang memiliki lahan rendah, harus bekerja sama dengan negara-negara yang berada di lahan lebih tinggi, untuk mengelola banjir. Misalnya banjir yang disebabkan oleh sungai Reins, dikelola bersama. Belanda membangun waduk yang berada di Jerman atas biaya negara Belanda.

Mestinya, karena Jabodetabek berada di sebuah negara yang sama, pengelolaan banjir bisa dilakukan dengan lebih mudah. Mestinya bisa dilakukan pembangunan-pembangunan waduk atau bendung-bendung kecil di wilayah atas yang tidak berada di lokai DKI Jakarta, dilakukan dengan dana dari Pemda DKI dan oleh Pemda DKI dengan persetujuan bersama.

Satu aspek penting yang harus diperhatikan adalah soal perilaku manusia. Manusia Indonesia, di tingkat pemerintah, swasta dan di tingkat masyarakat, sudah agak terlanjur rusak. Birokrasi kita berbisnis, banyak di antara swasta kita melanggar aturan tata ruang, sementara masyarakat hidup sembrono dengan membuang sampah sembarangan.

Di luar soal teknis yang harus ditangani, karena dari sisi teknologi, penanganan banjir sederhana pemecahannya, masalah manusia yang harus dididik ulang agar memperhatikan alam, merupakan pekerjaan rumah yang juga harus dikerjakan. []

Baca Juga:

Berita terkait
Ruhut Sentil Anies Baswedan Soal Banjir Mirip Film
Politikus PDIP Ruhut Sitompul menyentil penanganan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terhadap banjir yang mengepung Ibu Kota mirip film.
Hujan di Hulu Jadi Kambing Hitam Banjir Jakarta
Sejak dahulu air hujan dari Puncak sudah mengalir ke Jakarta dibawa Ciliwung sehingga tidak elok dijadikan sebagai kambing hitam banjir Jakarta
Banjir, Anies: Area Hulu Kirim Banyak Air ke Jakarta
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebut banjir yang melanda ibu kota terjadi akibat kiriman dari hulu atau daerah Bogor.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.