RUU HIP, Jimly: Gagasan Bung Karno Bukan Suara Tuhan

RUU HIP ditentang berbagai kalangan. Menurut Jimly Assidiqie, materi Pancasila versi Bung Karno dalam RUU salah satu pemicunya.
Prof Dr Jimly Asshiddiqie (Foto: Antara/Aditya Ramadhan)

Bogor - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jimly Assidiqie mendukung pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Meski demikian, mantan ketua Mahkamah Konstitusi ini mengingatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak menggunakan narasi Pancasila versi 1 Juni 1945 dalam RUU HIP.

"Jangan pendapat pribadi Bung Karno dianggap suara Tuhan, tidak boleh dong, versinya 1 Juni kan beda dengan yang disepakati," kata Jimly Assidiqie kepada Tagar, Jakarta, Sabtu, 13 Juni 2020.  

Rumusan Pancasila versi 1 Juni 1945 disampaikan Soekarno ketika berpidato mengenai usul dasar negara. Tanggal ini kemudian diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila setiap tahun.  

Jangan pendapat pribadi Bung Karno dianggap suara Tuhan.

Dalam rumusan 1 Juni itu, Soekarno menyebut Pancasila terdiri dari: Kebangsaan Indonesia (nasionalisme); Internasionalisme (peri-kemanusiaan); Mufakat (demokrasi); Kesejahteraan sosial; dan Ketuhanan yang berkebudayaan. Ketika pembahasan RUU HIP mencuat ke publik, sila terakhir ini termasuk yang memicu reaksi negatif sebagian masyarakat.

Terbukti, kata dia, berbagai kalangan menolak RUU HIP. Muhammadiyah, misalnya, meminta pembahasan RUU HIP dihentikan.

Jika DPR kekeh menggunakan versi 1 Juni, Jimly menilai legislator di Senayan sama saja ingin bikin ribut. Semangat DPR dinilai ingin mengembalikan Indonesia ke masa Orde Lama.

Padahal mantan Ketua Dewan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) ini menilai RUU HIP itu bagus. Jimly juga memenuhi undangan Rapat Dengar Pendapat Umum yang digelar Badan Legislasi DPR dalam rangka penyusunan RUU HIP pada 11 Februari 2020.

"RUU HIP bisa dipakai sarana diaolog fundamental kebangsaan sekaligus menjadi bahan acuan supaya Pancasila tak hanya diomongkan, tapi ada elaborasi, ada pembumian," katanya.

Baca juga:

Bagi Jimly, penerapan nilai-nilai Pancasila dapat didorong dengan meningkatkan status landasan hukum Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dari yang semula Peraturan Presiden (Peppres) menjadi Undang-Undang. Bagi Jimly, lembaga seperti BPIP memiliki kepentingan konstitusional karena Pancasila merupakan filosofi dasar negara yang dalam kehidupan kebangsaan saat ini menghadapi tantangan.

"Sekarang ini kan pertentangan idelogis menguat dan mempolarisasi, apalagi pascapilkada DKI Jakarta," ujarnya.

Meski mendukung,  Jimly ingin pembahasan RUU HIP melibatkan  partispsi masyarakat luas. Kedua, Ketua Dewan Penasihat Komisi Pengawas Persaingan Usaha ini tak setuju pengesahan RUU terburu-buru diputuskan.  

"Jangan mau cepat-cepatan ditarget untuk disahkan, mumpung di masa Covid seperti yang dilakukan pengesahan UU Minerba," katanya. 

Ketiga, materi Pancasila menggunakan versi konsensus resmi 18 Agustus 1945.  "Keempat, TAP MPRS tentang Pembubaran dan Pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI) dimuat eksplisit dalam konsideran RUU HIP," kata Jimly Assidiqie. []

Berita terkait
Alasan Jimly Assidiqie Dukung RUU HIP
Meski RUU HIP ditentang oleh berbagai tokoh dan organisasi Islam, mantan Ketua ICMI Jimly Assidiqie justru mendukungnya.
Din Syamsuddin Minta Presiden Jokowi Hentikan RUU HIP
Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin meminta kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi hentikan RUU HIP.
MUI Nilai RUU HIP Berbau Sekuler dan Ateistis
Sekjen MUI Anwar Abbas menilai RUU HIP berbau sangat sekuler dan ateistis yang justru berlawanan dengan Pancasila.