Rasyid Bancin, Membawa Nuansa Al-Azhar Mesir ke Aceh

Muhammad Rasyid Bancin, lika-liku bisnis sampai jualan tempe saat kuliah di Al-Azhar Kairo, Mesir, hingga ia mengasuh pondok pesantren di Aceh.
Muhammad Rasyid Bancin. (Foto: Dok Pribadi)

Subulussalam, Aceh - Waktu itu sore di penghujung Maret 2020, Muhammad Rasyid Bancin dan Tagar bertemu di sebuah kafe di Subulussalam. Ditemani secangkir kopi dan kue, Rasyid menceritakan lika-liku perjalanan hidupnya. Saat menjadi mahasiswa Al-Azhar di Kairo, Mesir, ia melakukan banyak hal, berjuang mencari uang untuk kuliah dan biaya hidup, termasuk jadi pedagang tempe.

Muhammad Rasyid Bancin akrab disapa Ustaz Rasyid, 34 tahun, seorang pemuda berasal dari Desa Silatong, Kecamatan Simpang Kanan, Kabupaten Aceh Singkil, Aceh. Ia sempat menempuh pendidikan di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, tapi tidak sampai selesai. Dua tahun berhenti. Ia membawa konsep Al-Azhar di kampungnya, diterapkan di pondok pesantren yang ia pimpin.

Rasyid Bancin lahir di Desa Lipat Kajang, 5 April 1986, dari rahim Siti Masura. Ia anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya perempuan bernama Elvianti. Rasyid mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Silatong, Kecamatan Simpang Kanan, Kabupaten Aceh Singkil pada tahun 1999, melanjutkan pendidikan tingkat pertama di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Simpang Kanan, Kabupaten Aceh Singkil pada 2002.

Lulus sekolah menengah pertama, Rasyid dikenalkan dengan dunia pesantren. Ia menjadi santri di Madrasah Aliah Pesantren Darul Muta'allimin, Tanah Merah, Kabupaten Aceh Singkil. Selesai dari pesantren, ia melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Dua tahun saja. Ia berhenti kemudian menempuh pendidikan Dakwah al-Aqidah di Jakarta pada 2008.

Ia kemudian membangun pondok pesantren dengan niat mencetak generasi-generasi Islam di tengah derasnya arus digitalisasi di era global saat ini. "Dunia pesantren adalah sebuah konsep pendidikan yang berpengaruh besar terhadap pembentukan karakter seorang insan," ucapnya.

Darah relegius yang tumbuh di dalam dirinya tidaklah mengalir dari sang ayah, melainkan menurun dari sang kakeknya, Harok Bancin (almarhum).

Ayahnya, Anhar Bancin, seorang pedagang kecil, menjajakan dagangan dari satu pasar ke pasar lain. Profesi sang ayah sebagai seorang pedagang adalah sumber utama perekonomian keluarga.

Jejak ayah berbeda dengan kakek. Sang kakek bekerja sebagai petani dan nelayan. Selebihnya rutinitas sang kakek adalah sebagai peramal sekaligus pemandu dalam kegiatan pengajian tarekat atau di Aceh dikenal dengan istilah persulukan, yakni pusat pengkajian tauhid dan pengamalan zikir.

Saya ingat kali waktu itu ketika Pak Suharsono dengan mata berkaca-kaca mengatakan harapannya tentang hadirnya seorang ustaz di desanya.

Sang kakek pada masa itu ditugasi menjadi pemandu peramalan kegiatan persulukan tarekat Naqsyabandiyah yang ternama di Aceh Singkil di bawah binaan seorang mursyid (guru) Abuya Muhammad Thohar yang merupakan ayah daripada Tengku Baihaqi Berutu atau yang dijuluki dengan sebutan Buya Batu Korong yang merupakan salah seorang deretan ulama kharismatik Aceh.

Harok Bancin mendapat tingkatan gelar khalifah satu yang berperan membantu memandu berlangsungnya ritual praktik peramalan tasawuf jemaah persulukan.

Setelah Abuya Muhammad Thohar wafat, gelar kemursyidan diteruskan sang anak, yaitu Buya Batu Korong. Di era Buya Batu Korong, kakek Harok pun tetap menjalankan tugas sebagai seorang khalifah satu mendampingi Buya Batu Korong selaku mursyid penerus sang ayah.

Pada 1989, bukan hanya mengurusi pengajian tarekat, Buya Batu Korong melebarkan kegiataan di bidang keagamaan dengan mendirikan sebuah pondok pesantren yang ia beri nama Baabussalam. Namun, nama pesantren ini lebih familiar disebut pesantren Batu Korong.

Kakek Harok pun turut berperan mengembangkan pesantren berkonsep salafiyah itu, hingga kakek Harok memutuskan menetap di kompleks pesantren meski sesekali waktu senggang ia pulang ke Desa Silatong.

Rasyid kecil, selalu menanti kepulangan kakeknya dari pesantren. Sosok sang kakek yang nian bersahaja senantiasa ditunggu kehadirannya di rumah berkumpul bersama keluarga.

"Masa-masa yang selalu kurindukan. Rinduku kepada kakek tak dapat aku jelaskan dengan kata-kata. Kalau kakek sudah pulang ke rumah aku sangat senang, sebab kakek selalu bercerita dengan cucunya menceritakan banyak kisah," tutur Rasyid.

Menurut Rasyid, melihat histori sang kakek bahwa kegemaran dirinya di dunia pengembangan pesantren bisa saja menurun dari kakeknya sendiri. Kegigihan sang kakek mengembangkan pesantren tidak diragukan lagi.

"Demi mengurusi pesantren, kakek saya rela mendirikan rumah sendiri di dekat pesantren. Kakek benar-benar mengabdikan hidupnya untuk kemajuan pesantren," ujar Rasyid.

Jualan Tempe di Mesir

Rasyid bukan anak yang tumbuh di tengah keluarga berada. Untuk memenuhi biaya hidup selama kuliah di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, di sela-sela kesibukannya sebagai mahasiswa ia pun harus bekerja paruh waktu dengan membuat usaha rumahan bersama rekan kuliah yang sama-sama berasal dari Indonesia.

Rasyid BancinMuhammad Rasyid Bancin berpidato dalam peringatan Hari Ulang Tahun Pondok Pesantren Daarurrahmah Sepadan (Foto: Dok Pribadi)

Rasyid masuk ke perguruan tinggi ternama di dunia itu tidaklah melalui jalur beasiswa, tetapi ia berkuliah dengan jalur mandiri atau biaya sendiri. Menyadari kondisi perekonomian orang tua yang pas-pasan membuat dirinya harus bekerja keras untuk mencari penghasilan tambahan.

Rasyid memiliki teman, namanya Alimuddin, seorang mahasiswa berasal dari Pulau Jawa. Memanfaatkan pengalaman Alimuddin di bidang usaha tempe, mereka mencoba peruntungan usaha tempe.

Memilih bisnis dengan berjualan tempe dilatarbelakangi dari prospek pasar di Kairo. Permintaan terhadap salah satu varian lauk makan ini cukup tinggi. Konsumennya adalah para pelajar yang berasal dari Indonesia sendiri.

"Alhamdulillah bisnis tempe kami berjalan lancar. Kendati labanya tidak begitu besar tapi untung yang kami dapat bisa mencukupi kebutuhan hidup dan sisanya membayar sewa kontrakan. Pada saat itu aku senang sekali karena sudah mengurangi beban orang tua di kampung," ujarnya.

Beranjak dari bisnis itu, Rasyid mengatakan kepada ayahnya agar tidak lagi mengirim uang. Keyakinannya mencari uang untuk biaya kuliah dan biaya hidup layaknya seorang mahasiswa di negeri orang cukup terbilang nekat. Ia lakukan itu karena rasa iba kepada sang ayah yang pontang-panting mencari biaya kuliahnya.

"Waktu itu saya bilang kepada ayah supaya tidak mengirimi uang lagi. Nah, sejak itu pun aku tidak lagi menerima kiriman biaya dari ayah," ujar Rasyid.

Semangat bisnisnya yang kian tumbuh, lalu Rasyid bersama Alimuddin menambah bisnis tambahan, yaitu membuat jajanan piscok, pisang cokelat.

"Kami membuat usaha tambahan karena kami berpikir bahwa usaha tempe yang sudah dijalankan sulit untuk dikembangkan, sebab peminat tempe di Al-Azhar cukup terbatas. Pembelinya hanya orang-orang Indonesia," ujar Rasyid. Akhirnya mereka fokus di bisnis jajanan piscok, dan memutuskan menutup usaha tempe.

Tidak berhenti di fase itu, di tengah tuntutan biaya kuliah dan biaya hidup yang mendesak, Rasyid mencoba peruntungan lain dengan melamar pekerjaan di Nile Restaurant, restoran dengan ciri khas masakan Thailand di Hay Sab'i, Kairo.

"Aku tak menyangka aku diterima di restoran tersebut. Awalnya aku diterima sebagai asisten koki," katanya.

Seiring waktu berlalu, lebih dari setahun bekerja di restoran itu, Rasyid mendapat kepercayaan, diangkat menjadi koki, dan ia belajar hingga menguasai resep-resep beragam makanan Thailand.

Berkat keuletan mencari pundi-pundi pound, mata uang Mesir, Rasyid memiliki sebuah sepeda motor, sementara banyak pelajar asal Indonesia tidak memilikinya.

Usaha Rental Motor

Menyusul, Rasyid kembali mendapat ajakan dari temannya untuk bergabung di bisnis rental motor, pasarnya sendiri adalah pelajar-pelajar asal Indonesia. Tergiur dengan tawaran itu, Rasyid lantas memutuskan berhenti dari pekerjaannya di restoran Thailand yang sudah bertahun-tahun ia tekuni itu.

Rasyid BancinMuhammad Rasyid Bancin memmimpin pengajian rutin, belajar Kitab Arab Melayu atau Arab Jawi kepada kaum Bapak di Desa Sepadan, Kecamatan Rundeng, Kota Subulussalalam, Aceh, rutin dilakukan setiap Minggu (Foto: Dok Pribadi)

Alhasil, usaha rental sepeda motor berjalan lancar hingga sampai pada akhirnya Rasyid diperkenalkan oleh temannya Romy kepada seorang pria asal Purwokerto bernama Eko Feridanto yang sudah lama menetap di Kairo yang dulunya bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

Dari perkenalan itu, Rasyid bersama Romy dan Eko sepakat merancang bisnis lagi. Kali ini bisnis yang hendak dijajal adalah bisnis restoran. Rasyid tergiur sekali dengan usaha itu, mengingat pengalamannya yang pernah menjadi koki.

Kemudian mereka pun membeli sebuah restoran milik orang Aceh. Restoran itu dijual dengan harga murah karena si pemilik restoran itu ingin kembali ke Tanah Air.

"Dengan patungan kami beli restoran itu, terus namanya kami ganti menjadi Caresto, kepanjangannya Cairo Restaurant," kata Rasyid.

Konsep makanan restoran tersebut mereka ubah dengan memadukan masakan ala Thailand dan khas Minang, masakan Padang. Rasyid sebagai koki masakan Thailand, sementara Romy sebagai koki masakan khas Padang.

Tak disangka Caresto menjelma restoran yang direkomendasikan di Kairo. Perkembangannya begitu pesat sampai mempekerjakan sebanyak 24 karyawan. Pengunjungnya begitu pesat, termasuk sederetan tokoh nasional dan artis sudah makan di restoran mereka.

"Tak disangka restoran kami berkembang pesat. Restoran kami pun sangat di kenal di kota itu terutama orang-orang Indonesia yang berada di Kairo. Menu kami pun banyak mendapat pujian," ujar Rasyid.

Bagi Rasyid, sekian lama menggeluti dunia bisnis di Kairo, bisnis kali ini merupakan bisnis yang terbilang sukses sepanjang ia menjadi usahawan di Kairo. Namun, apa yang ia capai tersebut lantas tidak memuaskan harapannya, sebab semangatnya untuk berkuliah di Al-Azhar menurun drastis.

Setahun lamanya merintis restoran tersebut hingga mencapai pada puncaknya, mereka bertiga akhirnya menjual restoran itu kepada seorang wanita asal Malaysia.

Dijualnya restoran tersebut didasari berbagai latar belakang. Romy mengundurkan diri karena hendak fokus menyelesaikan studi. Sementara Eko beralasan sudah jenuh tinggal di Kairo, ingin pulang ke Indonesia, membuka usaha di kampung halaman di Jawa Tengah.

Meninggalkan Kairo

Kondisi perkuliahan Rasyid pun saat itu tidak berjalan dengan baik di tengah kesibukan berbisnis. Hingga akhirnya Rasyid memutuskan meninggalkan Kairo dan ingin melanjutkan pendidikan ke Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung dengan sistem pindah studi dari Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Rencananya, uang hasil penjualan restoran, ia akan gunakan untuk studi di Bandung.

Selama berkuliah di Kairo, Rasyid mengantongi beberapa sertifikat kursus, di antaranya kursus Bahasa Jepang dari Japan Foundation dan kursus Bahasa dan Sastra Arab di Markaz Nil di bawah Kementerian dan Pengajaran Mesir. Waktu di Kairo, Rasyid juga sempat menunaikan ibadah haji tepatnya pada 2006.

Rasyid BancinMuhammad Rasyid Bancin bersalaman dengan Presiden Joko Widodo saat menghadiri undangan Presiden Joko Widodo kepada Ulama se-Aceh di Hotel Hermes One Banda Aceh, tahun 2019 (Foto: Dok Pribadi)

Rencana pindah ke Bandung tidak terwujud karena Rasyid tidak diterima di UIN Bandung. Ia kemudian memutuskan meneruskan pendidikan ke Institut Agama Islama Al-Aqidah Jakarta. Ia berhasil lulus dengan gelar Sarjana Sosial Islam atau SSI.

Selesai kuliah, ia ingin pulang ke kampung halaman, Aceh, tapi kondisi keuangan sedang sangat sulit. Bahkan ia tidak punya uang hanya untuk membeli tiket bus. "Aku mencoba cari pinjaman dari teman-teman untuk sekadar buat ongkos. Tapi, tak ada satu pun kawan yang dapat memberi pinjaman. Kejadian itu sempat membuatku syok," ujarnya.

Di tengah pemikiran yang berkecamuk saat itu, ia membatalkan rencana pulang ke Aceh. Ia justru ingin kembali ke Kairo untuk bekerja di sana. Ia pun bergegas menawarkan diri ke sebuah perusahaan biro perjalanan haji dan umrah milik seniornya sewaktu di Al-Azhar Kairo. Namun, malang permintaannya bekerja sebagai pemandu haji dan umrah milik seniornya itu tidak dikabulkan.

Kepanikan diri yang dialaminya pada waktu itu kian bertambah berat di tengah himpitan ekonomi yang terus membubuhi suasana hati dan pikiran yang tidak menentu.

Pada Maret 2009, Ustaz Nasir, pemilik travel yang ia lamar waktu itu, memberikan tawaran kepadanya untuk menjadi pemandu pengganti jemaah umrah. Tawaran itu diberikan karena pemandu yang direncanakan mendampingi jemaah umrah, sedang sakit.

"Betapa senangnya saya waktu itu, saya sudah membayangkan uang dari pemandu itu nantinya akan saya ubelikan tiket untuk kembali ke Kairo," ujarnya.

Tugas menjadi pemandu pengganti itu pun ia kerjakan dengan penuh tanggung jawab mendampingi para jemaah umrah sepanjang menjalani kegiatan ibadah umrah. Akan tetapi setelah selesai mendampingi jemaah umrah dan sekembalinya dari tanah suci, apa yang ia pikirkan awalnya bahwa selepas mendampingi jemaah umrah ia akan kembali lagi ke Kairo akhirnya ia urungkan. Tiba-tiba ia pun berubah pikiran, pulang saja ke kampung halaman di Desa Silatong, Kabupaten Aceh Singkil, Aceh.

Karena sebelumnya sewaktu ia di Jakarta ia pun sempat ditawari oleh temannya dari kampung bahwa ada penerimaan Dai Perbatasan di Aceh dan meminta dirinya pulang ke kampung halaman untuk mengabdikan diri.

Tawaran itu pun ia terima. Keinginannya untuk ke Kairo pun ia batalkan. Sesampainya di kampung halaman, Rasyid sudah berpisah selama empat tahun dengan keluarga, mencurahkan segala kerinduannya. 

Tak berselang lama, Rasyid pergi ke Banda Aceh untuk mendaftarkan diri menjadi seorang Dai Perbatasan yang merupakan program keistimewaan Pemerintah Provinsi Aceh tepatnya pada 2009. Di Ibu Kota Provinsi Aceh itu, Rasyid menjalani ujian sebagai tahapan yang dilalui dalam perekrutan calon Dai Perbatasan nantinya.

Singkatnya, Rasyid dinyatakan lulus dan menerima Surat Keterangan Penugasan di Desa Sepadan, Kecamatan Runding, Kota Subulussalam, Aceh. Menjadi seorang Dai tentunya Rasyid harus menetap di desa itu.

Pencerahan di Kampung Halaman

Tepat pada 14 April 2009, Rasyid mulai menjalani penugasan sebagai seorang Dai di Desa Sepadan. Kehadirannya di desa itu memberi warna tersendiri. Banyak kegiatan keagamaan yang digalakkan Rasyid hingga ia dipertemukan dengan Suharsono, Pak Lurah di desa itu.

Bermula dari pertemuan itu, semangat ketulusan Rasyid berkobar untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat di Desa Sepadan seputar ilmu syariat agama Islam.

Desa Sepadan didiami warga pendatang dari Pulau Jawa yang mengikuti program transmigrasi. Tentunya Rasyid harus punya cara tersendiri untuk melakukan pendekatan sosial dengan kultur yang berbeda dari warga Desa Sepadan. Terlebih Rasyid sendiri yang masih berstatus lajang, ia tak mau timbul kesan menggurui para tetua nantinya.

"Saya ingat kali waktu itu ketika Pak Suharsono dengan mata berkaca-kaca mengatakan harapannya tentang hadirnya seorang ustaz di desanya agar bisa membimbing warganya menjalankan syariat agama secara benar. Karena waktu itu ada asumsi negatif dari masyarakat luar kalau warga di Desa Sepadan sesat dan gemar maksiat," tutur Rasyid.

Rasyid yang kala itu masih berstatus lajang sudah mendapat kepercayaan dan gantungan harapan Suharsono untuk mendirikan sebuah pesantren di Desa Sepadan. Demi mewujudkan berdirinya sebuah pesantren, Suharsono menjanjikan menghibahkan tanah yang nantinya untuk dijadikan sebagai lokasi pembangunan pesantren.

Rasyid BancinApel tahunan para santiwan dan santriwati dan segenap pengasuh serta para pengajar Pondok Pesantren Daarurrahmah Sepadan yang digelar di lapangan Pondok Pesantren Daarurrahmah Sepadan (Foto: Dok Pribadi)

Rasyid pun menyanggupi cita-cita Suharsono yang merupakan tokoh masyarakat di desa itu untuk membangun pesantren di Desa Sepadan. Sosok Suharsono adalah teman Rasyid bercerita tentang berbagai keluh kesah perjuangan untuk membangun sebuah pesantren.

Konsep Pondok Pesantren Al-Azhar Mesir

Rasyid mengikrarkan diri untuk mengabdi di dunia dakwah di Desa Sepadan, dan sesekali ia ke luar desa, memenuhi undangan mengisi pengajian. Di sela-sela aktivitas itu Rasyid mencari informasi, menjalin komunikasi dengan relasi tentang rencana mendirikan pesantren berbasis wakaf.

Idenya mendirikan pesantren dengan konsep wakaf, terpikir dari sistem pengelolaan Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir yang merupakan yayasan perguruan tinggi yang bergaya wakaf. Selain itu ia juga terpikir melihat sistem pengelolaan pesantren Gontor yang merupakan pesantren ternama di Indonesia dan di dunia, di mana sistem pengelolaan pesantrennya juga menganut sistem perwakafan.

"Saya terpikir kalau pesantren yang kami dirikan berkonsep seperti Gontor dan Al-Azhar, pasti pesantren ini akan maju dan tumbuh sebab pesantren ini nanti akan menjadi milik umat," ucapnya.

Tak mudah bagi Rasyid sebagai lokomotif yang dipercaya terhadap rencana pembangunan pesantren di Desa Sepadan itu. Dengan tunggang langgang ia lalui semua, segala lini pun ia selami demi mendirikan sebuah pesantren. Mencari donatur kemana-mana pun ia tempuh.

Patah arang semangat kerap menghampiri dirinya. Namun, ia haqqul yakin bahwa ikhtiar dan doanya untuk mendirikan pesantren berbasis wakaf pasti mendapat ridha dari Allah Swt.

Rasa optimisme yang kian memuncak kembali surut, tatkala duka menyelimuti diri Rasyid atas wafatnya sang ayah. Kejadian itu berangsur pada bulan September 2009 karena ayah Rasyid menderita sakit keras.

Kepergian sang ayah otomatis memposisikan Rasyid sebagai tulang punggung bagi ibu dan adik-adiknya. Tak mau larut dalam kedukaan, Rasyid kembali ke tempat tugas di Desa Sepadan untuk menjalani peran sebagai dai.

Sebelum kepergian sang ayah, waktu itu Rasyid sempat mengutarakan keinginannya untuk menikah. Namun, keinginannya untuk menikahi seorang gadis di desanya pada saat itu tidak mendapat restu dari orang tua. Rasyid menyimpan sendiri tentang alasan restu tidak turu tersebut.

Rasyid mencoba memahami Ikhwal itu. Ia mengalah, tidak memaksakan kehendak untuk menikahi gadis yang ia cintai.

Setelah ayah meninggal, Rasyid berniat kembali untuk menikahi gadis yang pernah ia utarakan itu. Namun, kembali niat itu pun terurung, ulitmatum ayah yang kala itu tidak merestuinya menikah dengan sang gadis itu kembali terbesit di dalam hatinya bahwa ia tidak akan mengkhianati pesan sang ayah kendatipun sudah tiada lagi.

Tidak ingin larut dengan kepiluan hati, Rasyid kali ini berniat ingin mengepakkan sayap perekonomiannya. Pada bulan November 2009 ia pun menjadi pemandu di perusahaan biro perjalanan ibadah haji dan umrah milik seniornya di Al-Azhar. Pekerjaan sebagai pemandu haji dan umrah pun ia lakukan hingga akhirnya ia dipercaya sebagai manajer perwakilan perusahaan di kota pembangunan.

Tujuan menyambi sebagai pemandu haji dan umrah adalah sebagai sumber pemasukan pendapatan supaya bisa lebih ringan dalam menjalani kegiatannya sebagai dai dan langkahnya untuk mendirikan pesantren tanpa harus terbebani masalah perekonomian.

Ia beberapa kali mengalami kegagalan mendirikan pesantren bahkan sudah berniat menghentikan upaya untuk mendirikan pesantren. Sampai kemudian ia mendapat momentum, mengisi kegiatan pengajian di acara hajatan perkawinan di Subulussalam. Rasyid bertemu Ustaz Jamhuri yang tak lain adalah Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Runding yang adalah seorang alumnus Pesantren Gontor.

Dalam suasana yang tak direncanakan, perbincangan Rasyid dan Jamhuri mengerucut pada langkah-langkah mendirikan pesantren di Sepadan. Alhasil pada 20 Juni 2011, Ustaz Jamhuri bersama beberapa tokoh kampung, menghadap notaris untuk mengurus legalitas pendirian pesantren dan yayasan. Sejak itu, perancangan dan langkah-langkah mendirikan pesantren secara fisik sudah dimulai meski dalam kondisi terbatas, namun tetap harus dipaksakan.

Dengan bangunan seadanya serta tenaga pengajar yang menim, akan tetapi pesantren sudah beroperasi dengan resmi. Dan santrinya sendiri pun merupakan anak-anak dari warga kampung sekitar. Rasyid dipercaya mengasuh pesantren yang diberi nama Daarurrahmah Sepadan. 

Secercah harapan tentang terbangunnya pesantren di Sepadan membuat para pengurus-pengurus lain berupaya mencari dukungan-dukungan demi kelanjutan pembangunan pesantren.

Rasyid BancinMuhammad Rasyid Bancin berbincang dengan Wali Kota Subulussalam, Affan Alfian Bintang, yang diundang untuk menghadiri perayaan Hari Ulang Tahun Pondok Pesantren Daarurrahmah Sepadan, tahun 2019. (Foto: Tagar/Nukman Suryadi Angkat)

"Berkat semangat bersama melalui perjuangan yang tak ringan, alhamdulillah perjalanan pesantren saat ini sudah berkembang pesat. Sejumlah fasilitas sudah terbangun. Santri yang ada saat ini banyak juga yang berasal dari luar daerah," tutur Rasyid.

Di tengah kesibukan mengurusi pesantren, Rasyid yang waktu itu masih berstatus lajang kembali mendapat kabar duka, dalam suasana bulan Ramadan tepatnya pada Agustus 2011, sang ibunda menyusul sang ayah berpulang ke Rahmatullah. Tinggal dia dan adik ditambah seorang dara yang selama ini tinggal bersama mereka yang merupakan anak sahabat ayahnya dulu yang adalah seorang mualaf.

Dara itu bernama Nida yang sudah dijodohkan dengan Rusdi, adik lelaki Rasyid. Pernikahan Rusdi dan Nida direncanakan digelar setelah Nida tamat SMA atau setahun kemudian.

Seiring waktu berlalu, tepat 40 hari kepergian sang Ibu, Rasyid kembali ke desanya di Silatong untuk melaksanakan kenduri dan doa bersama keluarga dan masyarakat di sana. Namun, naas menimpa, Rusdi sang adik dikabarkan meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan lalu lintas sewaktu di dalam perjalanan dari Singkil hendak kembali ke Silatong untuk mengikuti rangakaian kenduri 40 hari kepergian ibu mereka.

Kabar itu sontak menjadi pukulan berat bagi Rasyid dan Elvianti, adik perempuannya, juga Nida calon istri Rusdi. Acara kenduri 40 hari kepergian ibu pun berselimut duka dan derai air mata yang tak terbendung. Rasyid tak sanggup melihat tangisan mereka. Duka bertubi-tubi dalam keluarga.

Tak mau larut dalam kesedihan tak berujung, Rasyid kembali ke Sepadan untuk merintis pesantren. Raga ayah dan ibu kini tidak dapat ia peluk lagi. Begitu juga Rusdi tidak dapat menunaikan pernikahannya bersama Nida.

Tak lama berselang setelah Rusdi meninggal, Rasyid menderita sakit. Sakit yang diderita Rasyid bukan penyakit biasa, banyak orang mengatakan Rasyid terkena guna-guna, sebab hasil diagnosis dokter tidak menemukan jenis penyakit apa pun dalam tubuh Rasyid.

Di tengah upaya berobat, terlintas di pikiran Rasyid untuk segera menikah. Dalam pikirannya mana kala ia juga dipanggil menyusul kedua orang tua dan adiknya setidaknya ia sudah menikah sebab ia tak mau meninggal dunia kalau belum menikah sebagaimana yang dianjurkan Nabi Muhammad SAW.

Tanpa pertimbangan lama, Rasyid memutuskan menikahi Nida, calon istri Rusdi. Rasyid mengungkapkan keinginannya itu kepada Nida, dan Nida pun bersedia. Begitu juga Rasyid mengutarakan keinginannya untuk menikahi Nida kepada keluarga, dan tanpa hambatan, pernikahan mereka direstui.

Saat ini Rasyid menetap di Sepadan. Ia dikaruniai tiga anak, buah pernikahan dengan Nida. Sedangkan adik bungsu Rasyid, Elvianti menetap di Pesantren Daarurrahmah Sepadan sebagai tenaga pengajar di pesantren.

Apa yang dicita-citakan Rasyid membangun sebuah pesantren berkonsep wakaf telah terwujud. Pesantren Daarurrahmah Sepadan yang ia asuh, mengalami perkembangan pesat. 

Piawai menjadi pengasuh pesantren, Rasyid kembali menginisiasi pembangunan pesantren baru di kampung halamannya di Desa Silatong. Februari 2020 dilakukan peletakan batu pertama pertanda dimulainya pembangunan pesantren di bawah Yayasan Haji Muhammad Rasyid Bancin.

Secara silsilah, di dalam diri Rasyid terdapat darah kerajaan. Rasyid merupakan keturunan dari Raja Hidayo Bancin seorang raja dari Negeri Singkil. []

Baca juga cerita:

Berita terkait
Viral Gadis Pangkep Menikahi Pria Tua
Perempuan 21 tahun rela menikah dengan duda 60 tahun di Pangkep. Ia mengaku menerima pinangan sang duda untuk membantu ekonomi orang tua.
Bahagianya Bisa Salat Jumat Lagi di Era New Normal
Masjid Al Markaz Al Islami Makassar menggelar salat Jumat pertama di era new normal setelah tiga bulan ditiadakan akibat PSBB.
Pantang Mengemis Meski Penghasilan Turun Drastis
Para pengepul sampah di TPST Piyungan, Kabupaten Bantul, DIY terus mengumpulkan sampah plastik agar mendapatkan penghasilan di tengah Covid-19.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.