Pondoh Minuman Keras Ilegal Hidupi Petani Salak

Aroma salak tercium saat memasuki ruangan berukuran sekitar lima kali enam meter, tempat produksi minuman keras atau miras dari bahan salak.
Minuman hasil fermentasi salak, bernama Pondoh, yang sementara dalam proses penjernihan di beberapa kontainer dan toples plastik, Senin, 18 November 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Sleman - Aroma salak tercium saat memasuki ruangan berukuran sekitar lima kali enam meter, tempat produksi minuman beralkohol dari bahan salak, Senin siang, 18 November 2019.

Pada dinding sebelah kanan, berjejer lima unit tong berkapasitas 150 liter. Tong-tong itu sudah dimodifikasi menjadi tempat fermentasi.

Di sekitarnya berjejer kontainer plastik yang juga sudah dimodifikasi menjadi tempat minuman hasil fermentasi salak. Di sudut lain, alat destilasi yang terbuat dari alumunium pun telah disiapkan.

Di sudut dekat pintu belakang, berdiri satu unit mesin cuci yang berfungsi sebagai pemeras salak.

Tempat produksi minuman hasil fermentasi salak itu terletak cukup terpencil. Sehingga cukup aman dari razia atau penggerebekan petugas keamanan.

Untuk mencapai tempat itu, Tagar harus membuat janji bertemu dengan Randu 43 tahun, pemilik usaha. Randu bukan nama sebenarnya. Pertemuan di satu tempat terbuka. Mungkin pemilik ingin memastikan bahwa yang datang bukan petugas keamanan.

Tenaga produksi minuman fermentasi salak itu, Juno (nama sengaja disamarkan untuk keamanannya), menjelaskan proses pembuatan minuman itu, mulai dari pengupasan salak hingga pengepakan.

Untuk memroduksi 150 liter minuman fermentasi, dibutuhkan 60 kilogram salak dan 36 kilogram gula pasir.

Proses awalnya adalah memblender salak yang telah dikupas, kemudian hasilnya diperas menggunakan pengering pada mesin cuci, dan airnya direbus hingga mendidih. Ampas hasil perasan dibuang atau digunakan sebagai pupuk.

"Setelah mendidih, dikasih gula, lalu disaring ke tong pendingin. Setelah sehari, diberi ragi dan dimasukkan dalam tong fermentasi selama 1 bulan, ditutup rapat supaya tidak ada udara yang masuk. Udara bisa keluar lewat airlock. Kalau proses fermentasi, udaranya akan keluar seperti gelembung," ucapnya sambil menunjukkan airlock.

Airlock atau pengunci udara itu terbuat dari botol kaca berisi air dan dihubungkan pada selang menuju dalam tong. Proses penutupan tong fermentasi, menurut Juno, merupakan proses paling sulit, karena harus memastikan tidak ada udara di dalam tong.

Setelah difermentasi selama sebulan, minuman itu dipindahkan ke kontainer atau toples plastik sampai jernih, kurang lebih sekitar sepekan.

Kita ambil dari petani langsung, itu yang kita ambil yang enggak terserap pasar.

PondohAlat produksi minuman beralkohol hasil fermentasi salak, di Sleman, Senin, 18 November 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Dari hasil penjernihan itu akan tersisa endapan yang bisa diproduksi kembali menjadi minuman destilasi. Dari 10 liter endapan akan menghasilkan 3 hingga 3,5 liter minuman destilasi, yang memiliki kadar alkohol lebih tinggi daripada minuman fermentasi awal, yang dinamakan Moon Shine.

"Setelah mengendap di-bottling (masukkan dalam botol)," ujarnya.

Setelah itu, botol disegel, diberi label Pondoh, sesuai nama asal salak yang digunakan sebagai bahan baku, dan siap diedarkan.

Randu pemilik usaha minuman Pondoh mengatakan dirinya sengaja memilih buah salak sebagai bahan baku minuman tersebut, dengan pertimbangan salak merupakan buah yang mudah diperoleh di Yogyakarta, khususnya Sleman.

Dengan melimpahnya salak di Yogyakarta, menurut Randu, secara bisnis sangat strategis. Dengan kata lain, pihaknya tidak khawatir kehabisan stok bahan baku.

Selain mudah diperoleh, alasan Randu memilih salak sebagai bahan baku adalah karena kepeduliannya pada petani salak. Khususnya untuk menyerap buah salak produksi mereka.

Selama ini, kata dia, tidak semua salak hasil produksi petani terserap oleh pasar. Penyebabnya karena biasanya pasar memilih salak dengan kriteria tertentu, misalnya ukuran buah.

"Kita ambil dari petani langsung, itu yang kita ambil yang enggak terserap pasar. Kalau untuk market kan ada spek ukuran, yang besar-besar atau ukuran tertentulah yang bisa diterima gitu, nah yang kecil-kecil kan biasanya enggak terserap, biasanya cuma dibuang, gitu," tuturnya.

Sementara, untuk produksi minuman Pondoh, pihaknya tidak mematok ukuran tertentu. Yang terpenting kata dia, salak itu sudah masak, sehingga bisa diolah atau difermentasi.

"Asal sudah matang buahlah, kita makan sudah manis, gitu. Glukosanya sudah cukup, itu kita pakai," ujarnya.

Randu menuturkan sebelum menggunakan salak sebagai bahan baku, dia sudah mencoba beberapa minuman fermentasi dari buah lain, mulai dari nenas, pepaya, pisang, dan beberapa buah lain. Secara umum, kata dia, rasanya enak.

Minuman hasil fermentasi buah-buahan itu awalnya merupakan buatan seorang rekannya, yang akhirnya bekerja sama dengan Randu untuk memproduksi minuman fermentasi dari salak.

"Waktu itu dia kasih ke saya. Sebetulnya kalau rasanya sih, semua yang dari fermentasi buah itu, enak," ujar Randu.

PondohAlat destilasi yang digunakan untuk membuat minuman beralkohol jenis Moon Shine. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Hanya Jual Minuman Berusia di Atas 3 Bulan

Proses produksi atau fermentasi salak menjadi minuman Pondoh, membutuhkan waktu 21 hari atau tiga pekan.

Tapi minuman hasil fermentasi tersebut baru dijual setelah disimpan selama tiga bulan, karena rasanya akan menjadi lebih nikmat jika dibandingkan dengan sesaat setelah proses fermentasi selesai.

"Tiga bulan baru kita pasarkan. Sebetulnya proses fermentasinya itu 21 hari. Tapi kan kita butuh penuaan. Kalau baru difermentasi terus dikonsumsi itu rasanya masih kasar ya, enggak halus. Jadi kita menunggu tiga bulan," ujarnya.

Bahkan, kata Randu, minuman itu akan menjadi lebih nikmat jika disimpan lebih lama. Hanya saja pihaknya tidak bisa menyimpannya terlalu lama karena hal itu berkaitan dengan modal. Pihaknya harus memasarkan minuman itu agar modalnya terputar dan dapat digunakan untuk kembali memproduksi.

Dimulai dari 1 Galon

Saat ini Randu memproduksi Pondoh sekali dalam dua pekan. Dalam sekali produksi, dia menggunakan salak sebagai bahan baku sebanyak 90 kilogram.

Dari salak sebanyak itu, dia bisa menghasilkan minuman Pondoh sebanyak satu tong besar, dengan kapasitas 150 liter.

Padahal pada awal produksi 2013, ia hanya membuat satu galon atau sekitar 40 liter minuman Pondoh.

"Awalnya kita coba-coba aja kok, modal satu galon air aja. Terus kita jual ke teman-teman. Pada senang, pada beli. Jadi keuntungannya kita investasikan lagi, jadi dua galon, jadi tiga galon," kenangnya.

Minimnya modal yang dimiliki juga menjadi penyebab Randu baru bisa bekerja sama dengan dua hingga tiga petani salak. Padahal masih banyak produksi salak petani, yang terpaksa tidak diserap pasar.

"Sebenarnya, idealnya begitu, menyerap semua produksi petani salak. Tapi kan kapasitas produksi kita kecil. Jadi, kita juga enggak bisa menyerap seluruhnya, masih home industry," tuturnya.

PondohTong feementasi Pondoh diberi label sesuai waktu atau tanggal produksi minuman tersebut,di Sleman, 18 November 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Terkendala Status Minuman Ilegal

Rencana untuk memperbesar produksi dan menyerap lebih banyak salak petani, menurut Randu, mengalami kendala. Selain modal, kendala terbesar adalah status minuman Pondoh yang dicap ilegal, karena belum mengantongi izin.

Padahal produksi minuman Pondoh tersebut diniatkan bukan sekadar untuk bisnis semata, tetapi juga untuk membantu para petani. Salah satu wujudnya adalah membeli salak mereka dengan harga flat, atau tidak tergantung panen.

"Jadi harga dari petani itu, kita enggak ikut banyaknya stok. Misalnya pas panen raya kan harga anjlok, kita tetap harganya, karena kita kan diolah lagi, kita bukan jual kembali dalam bentuk salak buah. Itu yang bikin kita bisa kasih harga flat ke petani, enggak ikut harga pasar," tuturnya.

Tentang perizinan, Randu mengatakan hingga saat ini penerbitan izin untuk produksi minuman beralkohol masih tergantung pemerintah daerah masing-masing.

Untuk wilayah Yogyakarta, Randu mengatakan proses penerbitan izin sangat sulit sehingga pihaknya belum mengurus perizinan.

"Rencana memperbesar juga ada, cuma kita ini kan statusnya masih ilegal. Belum dapat izin. Kita enggak berani jugalah main gedein kalau belum ada izin. Kan nanti risikonya terlalu besar. Kalau skala rumahan saja, kan ibaratnya kita main aman ajalah," katanya.

Kendala lain yang disebabkan belum adanya izin adalah pemasaran. Randu tidak bisa memasarkan minuman fermentasi produksinya ke kafe atau toko.

Yang dikhawatirkan jika dia memasarkan ke kafe adalah kemungkinan adanya razia. Dengan status minuman ilegal, kafe atau toko yang jual juga akan kena masalah.

"Kalau nanti misalnya ada razia, terus mereka ketahuan jual produk kita yang enggak punya izin, nanti mereka kena masalah. Jadi kita enggak masukin ke kafe," ujar Randu sambil menyulut sebatang rokok.

Meski tidak dipasarkan di kafe dan toko, tapi minuman Pondoh miliknya sudah beredar di beberapa kota di Jawa, seperti Surabaya, Malang, dan Semarang. Bahkan sampai di Pulau Bali.

Sistem pemasaran yang dilakukan pun hanya dari mulut ke mulut, dari teman ke teman, serta ke beberapa komunitas. Sistem pemasaran itu cukup efektif. Hal ini dibuktikan dengan masih diproduksinya minuman Pondoh tersebut.

"Kita percaya, konsumen punya selera masing-masing. Jadi, enggak semua orang yang nyoba langsung suka. Tapi yang jelas sekarang kita sudah punya konsumen tetap. Ya, beragamlah kalau selera konsumen itu, tergantung selera," kata Randu.

Randu juga memanfaatkan jasa ojek dalam jaringan (daring) atau online, dalam memasarkan produknya, khususnya dalam memenuhi pesanan dari orang tak dikenal.

"Kalau ada yang mau beli, ya dari teman ke teman. Paling kita pakai go send saja kalau ada yang langsung dan kita enggak kenal," tuturnya.

PondohMinuman hasil fermentasi salak, yang diberi nama Pondoh, telah dikemas dan siap dipasarkan. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Tiga Jenis Minuman Pondoh

Minuman hasil fermentasi dari salak, Pondoh, tersebut, sudah diproduksi sejak 2013, atau sudah sekira enam tahun. Randu dan kawan-kawan konsisten dengan bahan baku salak, meski minuman fermentasi buah sempat booming.

Saat ini ada tiga jenis minuman fermentasi salak yang diproduksi Randu, yakni Pondoh biasa dengan kandungan alkohol 12 persen. Kemudian Pondoh premium dengan kandungan alkohol yang juga di kisaran 12 persen. Berikutnya Pondoh Moon Shine dengan kandungan alkohol di atas 40 persen.

Perbedaan antara Pondoh biasa dan premium, ada pada usia minuman. Pondoh Premium berusia minimal satu tahun. Perbedaan lain, ada pada volume atau isi. Pondoh biasa dijual dalam kemasan satu liter, sedangkan Pondoh premium dijual dalam botol kemasan 750 mililiter. Sementara Moon Shine dijual dalam botol berkapasitas 250 mililiter.

"Terus ada Moon Shine. Moon Shine ini berasal dari Pondoh yang sudah terfermentasi, kemudian kita masak lagi, kita destilasi, jadi 40 persen kandungan alkoholnya," katanya.

Harga masing-masing jenis juga berbeda. Untuk Moon Shine dibanderol seharga Rp 100 ribu. Harga yang sama juga dikenakan untuk Pondoh premium. Sedangkan Pondoh biasa dijual dengan harga Rp 65 ribu.

Perda Miras Larang Peredaran Tanpa Izin

Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol Serta Pelarangan Minuman Oplosan.

Dalam Pasal 7 ayat (2) Perda tersebut dijelaskan bahwa produsen minuman beralkohol dari dalam negeri harus mengantongi izin dari Kementerian Perindustrian.

"Produsen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan perusahaan yang telah memiliki izin usaha industri dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian," demikian tertulis dalam Perda itu.

Perda tersebut juga mengatur tentang peredaran minuman beralkohol, baik produksi dalam negeri maupun impor, yakni pada Lasal 21. Minuman yang diedarkan harus memiliki izin edar dari kepala instansi yang menyelenggarakan pengawasan di bidang obat dan makanan. []

Baca cerita lain:

Berita terkait
Daftar CPNS Karena Keinginan Orang Tua
Di halaman belakang kantor BKPP Sleman, berderet-deret kursi kosong di bawah tenda putih, menanti pendaftar calon pegawai negeri sipil (CPNS).
Empu Sungkowo di Sleman Trah Pembuat Keris Majapahit
Empu Sungkowo di Sleman, keturunan Empu Supa, pembuat keris Kerajaan Majapahit. Tagar menemuinya untuk mengetahui ritual membuat sebilah keris.
Keris Yogyakarta Senjata dengan Filosofi Luhur
Keris Yogyakarta bukan hanya merupakan senjata, tapi juga memiliki makna filosofi yang luhur, serta harapan empu pembuat sesuai pesanan pemiliknya.
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.