Keris Yogyakarta Senjata dengan Filosofi Luhur

Keris Yogyakarta bukan hanya merupakan senjata, tapi juga memiliki makna filosofi yang luhur, serta harapan empu pembuat sesuai pesanan pemiliknya.
Jejeran keris yang dimaharkan atau diperjualbelikan di Pasar Kliwon Tosan Aji, di kompleks makam Raja-raja Mataram, Kotagede, Yogyakarta, Kamis, 31 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Yogyakarta - Keris bukan hanya merupakan senjata, tapi juga memiliki makna filosofi yang luhur, serta harapan-harapan yang dituangkan oleh empu pembuatnya, sesuai dengan pesanan pemiliknya.

Malam itu, Kamis, 31 Oktober 2019, yang merupakan malam Jumat Kliwon, sekitar 20 orang berkumpul di pendopo di pelataran parkir kompleks makam Raja-raja Mataram di Kotagede, Yogyakarta. Mereka berniat berziarah di makam tersebut.

Hanya beberapa meter dari puluhan orang itu, beberapa orang lain yang merupakan anggota komunitas Pasar Kliwon Tosan Aji, duduk santai di pendopo lain. Di hadapan mereka terdapat belasan keris beserta perlengkapannya.

Keris yang ada di situ cukup beragam, mulai dari ukuran keris hingga pamornya. Ada yang panjangnya hanya sejengkal, tapi ada juga yang mencapai sekira 40 sentimeter.

Meski terletak di kompleks pemakaman, dengan pohon beringin besar di sebelah kiri lokasi jual beli keris, tapi suasana malam itu jauh dari kata menyeramkan. Meski di dalam area makam, suasana magis sangat terasa.

Sulur pohon beringin yang menjuntai, seperti rambut besar berwarna cokelat yang terurai. Kadang bergoyang jika angin bertiup cukup kencang.

Cahaya lampu berwarna putih, menerangi lokasi Pasar Kliwon Tosan Aji tersebut, yang baru terbentuk sekira enam bulan.

Kegiatan para pedagang dan pembeli memaharkan tosan aji atau pusaka di tempat itu, hanya dilakukan setiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon.

Manusia itu tidak pernah genap dan selalu berkekurangan dari hal apa pun. Makanya keris selalu luk ganjil.

Keris YogyakartaAnggota komunitas pecinta tosan aji atau senjata pusaka di kompleks makam Raja-raja Mataram, Kotagede, Yogyakarta, Kamis, 31 Oktober 2019. Mereka menjual tosan aji setiap malam Selasa Kliwon dan malam Jumat Kliwon. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Luk Selalu Ganjil

Satu unit keris berluk lima, dengan pamor indah, tampak anggun di atas meja panjang yang digunakan sebagai tempat pajangan.

Yogi Yuwono 40 tahun, seorang pengurus komunitas yang juga kolektor tosan aji, sekaligus penjual senjata-senjata pusaka, menjelaskan luk atau lengkungan pada keris selalu berjumlah ganjil, mulai dari 3, 5, 7, 9 dan seterusnya.

Jumlah luk yang ganjil itu, merupakan simbol dari kehidupan manusia sebagai pemegang atau pemilik keris. Manusia tidak akan pernah bisa genap atau sempurna, karena selalu memiliki kekurangan.

"Manusia itu tidak pernah genap dan selalu berkekurangan dari hal apa pun. Makanya keris selalu luk ganjil, jadi selalu berusaha untuk menggenapi. Tapi, sebagai manusia yang tentunya jauh dari sempurna, itu tidak pernah bisa tergenapi untuk mencapai kesempurnaan," tuturnya saat ditemui di lokasi itu.

Jangankan jumlah luk, cara mencabut bilah keris dari warangkanya pun, memiliki arti filosofi yang berbeda. Saat mengeluarkan bilah dari warangkanya dengan menarik warangka, itu menyimbolkan penghormatan kepada empu pembuat keris.

Sedangkan mengeluarkan bilah dengan cara menarik gagang keris ke belakang, menunjukkan bahwa keris itu akan digunakan untuk menikam. Sementara, mencabut keris kemudian menyarungkan kembali sebelum seluruh bilah keluar, merupakan ejekan pada pemilik keris.

Yogi juga menjelaskan, pecinta keris terbagi atas dua kalangan, yakni eksoteri dan isoteri. Kalangan eksoteri lebih mengedepankan sisi fisik atau tampilan atau bentuk utuh sebuah keris.

Sementara, pecinta keris kalangan isoteri, melihat keris lebih dalam lagi, yakni dari sisi kajian secara makna, filosofi dan sisi spiritualnya. Termasuk pengharapan-pengharapan yang dituangkan dalam sebilah keris.

Biasanya seorang empu atau pembuat keris, memasukkan harapan-harapan, serta makna dan tujuan tertentu pada keris yang dibuatnya, yakni sebagai sarana untuk sifat kandel, atau dijadikan pegangan.

"Maka ada pemahaman bahwa keris itu singkatan dari kekering aris atau sebuah kebijaksanaan dalam menghadapi segala hal," lanjut Yogi.

Orang-orang zaman dulu, kata dia, menganggap bahwa orang yang pantas kedunungan atau memiliki keris hanya orang yang berusia 40 tahun ke atas. Pertimbangannya adalah, orang berusia 40 merupakan sosok yang sudah matang dan bijaksana dalam menyikapi berbagai hal.

Namun untuk saat ini sudah tidak seperti itu lagi. Sekarang banyak kalangan muda yang mulai mengumpulkan hingga memaharkan dan melestarikan keris. Salah satu alasannya, karena keris merupakan investasi yang baik selain tanah dan emas.

Keris YogyakartaKolektor sekaligus penjual tosan aji, Yogi Yuwono, memamerkan salah satu keris pusaka koleksinya, di kompleks makam Raja-raja Mataram, Kotagede, Yogyakarta, Kamis, 31 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Bagian-bagian Keris

Sebilah keris baru bisa disebut keris,utuh jika seluruh bagiannya sudah lengkap, mulai dari warangka atau sarung keris hingga bilah dan deder atau pegangan keris.

Keris kata Yogi memiliki sesuatu yang tersirat san tersurat. Yang tersirat, salah satunya dari tampilan, misalnya dari ricikan, pamor, dapur, bilah, warangka, dan segala hal yang berhubungan dengan fisik keris itu.

Sedangkan yang tersirat, lebih pada makna dan filosofi terhadap dapur dan pamor. Dari dapur dan pamor, kita bisa melihat dan menilai filosofi keris itu.

Warangka keris ada dua jenis, yakni Branggah dan Gayaman untuk keris Yogyakarta dan Ladrang dan Gayaman untuk keris Solo atau Surakarta.

Warangka Ladrang lebih untuk acara seremonial resmi, seperti pisowanan atau perhelatan resmi. Sedangkan gayaman, untuk kegiatan sehari-hari.

"Keseluruhan keris itu dibagi menjadi, deder yakni handel, danganan atau mendak yakni cincin pada pangkal bilah, kemudian bilah, serta warangka. Seluruh bagian keris memiliki makna tertentu," jelasnya tanpa merinci.

Keris YogyakartaSebilah keris berukuran kecil yang digunakan sebagai ajimat, dijual di Pasar Kliwon Tosan Aji, kompleks makam Raja-raja Mataram, Kotagede, Yogyakarta, Kamis, 31 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Pamor dan Tuahnya

Pamor adalah semacam lukisan atau semacam tanda yang ada pada bilah keris. Pamor terbuat dari nikel atau logam yang ada pada batu meteor. Bentuk pamor pada keris mencapai ratusan. Sebagian sudah diberi nama, tapi sebagian lamanya belum bernama.

"Pamor itu jenisnya juga sampai ratusan, saat ini juga banyak pamor yang belum terbukukan, jadi dibilang pamor aneh, karena tidak ada dalam literatur," ucap Yogi.

Berdasarkan kecocokan pada kasta pemiliknya, pamor pada keris dibagi menjadi dua, yakni pamor pemilih dan pamor tidak pemilih. Pamor pemilih adalah pamor yang hanya cocok untuk beberapa orang atau kalangan tertentu saja. Sedangkan pamor yang tidak pemilih, bisa digunakan oleh siapa pun.

Yang termasuk dalam pamor tidak pemilih adalah pamor beras wutah, pedaringan kebak, serta kulit semongko.

Sedangkan pamor pemilih, salah satunya adalah pamor blarak, yang memang digunakan untuk pamong projo atau abdi negara.

Jika keris dengan pamor pemilih, digunakan oleh yang bukan peruntukannya, fungsi keris secara spiritual akan pasif, artinya tidak akan berpengaruh apa-apa.

Dengan kata lain, jika daya saran yang diberikan oleh empu pada bilah keris itu tidak satu frekuensi dengan pemiliknya, maka keris itu hanya akan menjadi keris simpanan biasa.

"Dari kajian spiritual, pastinya akan ada sedikit kendala, namun sebagai pelestari, di komunitas kami ini sebenarnya tidak mengenal itu, meskipun ada beberapa yang mendalami atau ngugemi atau memang memakai pedoman itu, bahwa harus sesuai pamornya, dapurnya sebagai pusaka pribadi," paparnya.

Pamor juga dibedakan dari proses terbentuknya, yakni pamor tiban dan pamor rekan. Pamor tiban adalah pamor yang terbentuk tanpa rekaan empu pembuatnya, atau tanpa dirancang. Yang termasuk dalam pamor tiban ini di antaranya adalah pamor beras wutah, kulit semongko, dan pedaringan kebak.

Sedangkan pamor rekan, adalah pamor yang sengaja dibentuk sesuai keinginan si pemesan untuk tujuan tertentu, misalnya untuk pamor kerezekian ada pamir banyu mambeg, yang penataan pamornya dibentuk seperti air yang tergenang.

Pamor juga berkaitan erat dengan dapur keris, atau bentuk keseluruhan. Saat ini dapur keris yang sudah teridentifikasi dan diberi nama, cukup banyak. Misalnya dapur Pasopati.

Tapi, seperti juga pamor, masih banyak juga dapur keris yang belum teridentifikasi dan tidak masuk literatur.

Bentuk dapur keris ini, tutur Yogi, sebenarnya sesuai dengan pesanan dari pemesan pada empu pembuat. Misalnya untuk pedagang, si empu sudah paham bahwa pamor yang harus dibuat berbentuk jalak sangu tumpeng atau brojol dengan pamor udan mas, pamor pedaringan kebak, yang filosofinya adalah tidak kekurangan sandang langan, dimudahkan dalam mencari rejeki.

"Dapur brojol, harapannya segala sesuatu tansah mbrojolaken atau selalu diberi kemudahan," tuturnya.

Keris YogyakartaSalah satu koleksi keris berdapur Pasopati, milik seorang anggota komunitas Pasar Kliwon Tosan Aji, di kompleks makam Raja-raja Mataram, Kotagede, Yogyakarta, Kamis, 31 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Harga Tosan Aji

Harga atau mahar yang harus dikeluarkan untuk mendapat tosan aji atau pusaka, khususnya keris, sangat bervariasi. Tapi, secara umum, tidak ada standar pasti dalam menentukan harga mahar keris.

Sebagian orang, khususnya yang fanatik terhadap pamor, akan menilai mahar keris dari pamornya. Hal itu tentunya memengaruhi nilai jual dan beli seseorang pada keris tersebut.

Tapi ada juga yang menyukai keris dari material serta kualitas pembuatannya. Sehingga bisa dikatakan bahwa harga keris tergantung pada kesepakatan penjual dan pembeli.

"Tidak ada atandar pastinya, karena juga merupakan benda seni. Tergantung kesepakatan dua belah pihak. Yang pernah saya maharkan, tertinggi Rp225 juta. Itu jenis keris Nomnoman atau Tangguh Pakubuwono. Jadi, Tangguh Surakarta," lanjut Yogi.

Keris YogyakartaWijayanto, pengurus komunitas Pasar Kliwon Tosan Aji, Wijayanto bersama keris koleksinya, di kompleks makam Raja-raja Mataram, Kotagede, Yogyakarta, Kamis, 31 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Melestarikan Budaya Leluhur

Proses jual beli atau memaharkan keris dan tosan aji atau senjata pusaka lainnya, bukan semata untuk meraup keuntungan, tetapi juga untuk nguri-uri atau melestarikan budaya.

Seorang pengurus komunitas Pasar Kliwon Tosan Aji, Wijayanto, 36 tahun, yang ditemui di sekitar kompleks pemakaman tersebut, mengatakan, komunitas itu terbentuk dari kumpul-kumpul sesama pecinta keris.

Saat itu pembicaraan bergeser pada pembuatan pasar tosan aji secara khusus, yang notabene belum ada di wilayah Yogyakarta.

Terlebih, keris merupakan warisan dari jaman kerajaan-kerajaan, atau sudah ada sejak zaman dulu. Bukan hanya digunakan sebagai senjata, tapi juga untuk beberapa kegiatan lain, misalnya ritual, tarian, dan pelengkap dalam berpakaian.

Jika keris itu tidak dilestarikan, dikhawatirkan nantinya anak cucu serta generasi ke depan, cuma bisa melihat gambar keris.

"Beberapa kali saya nemuin pas hunting, dapat keris yang tidak dirawat. Keris itu didibiarkan begitu saja, dia akan musnah dan rusak. Dengan media jual beli ini, ada orang yang mau merawat, jadi nanti anak cucu kita masih bisa melihat," jelasnya.

Saat melakukan perburuan keris di kampung-kampung, dan menemukan keris tak terawat, biasanya pihaknya akan membeli dan memperbaikinya, agar tampilannya menjadi lebih cantik. Kemudian dijual atau dimaharkan kembali pada yang bersedia memelihara.

Proses perbaikan sebilah keris, menurut Wijayanto, membutuhkan waktu antara sepekan hingga 10 hari. Juga tergantung kemudahan atau kesulitan dalam mendapatkn aksesoris keris tersebut.

Keris yang dijual di tempat itu, bukan hanya keris berusia tua, tapi juga keris baru. Karena ada juga penyuka keris, yang suka pada keris baru. "Pengen koleksi yang nggak aneh-aneh, pengen yang baru. Kan kepercayaan keris itu beda-beda, ada yang pemahamannya dia ada 'isinya'," imbuhnya.

Mengenai harga keris yang dimaharkan di pasar tersebut, kata dia mulai dari Rp350 ribu hingga puluhan juta rupiah.

Hampir sama dengan penjelasan Yogi, Wijayanto mengatakan, penentuan harga keris dilihat dari beragam faktor, misalnya dari usia keris, kualitas atau hasil garapan, dan lain-lain.

"Misalnya, dari tangguh zaman Majapahit tapi dia mempunyai keutuhan yang masih 90 persen, padahal sudah ratusan tahun," ujarnya.

Untuk membedakana keris lama dan baru bisa, kata Wijayanto, dapat dilihat dari materialnya, seperti besinya serta tempaan, dan gaya keris. []

Baca cerita lain:

Berita terkait
Sedotan Bambu Yogyakarta Tembus 4 Negara
Lembaran daun bambu berserak di halaman sebuah rumah di Dusun Gesik, Kasongan Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Legenda Genderuwo Ki Poleng dan Nyi Poleng di Sleman
Gunung Gamping yang angker di Sleman, dijaga dua genderuwo yaitu Ki Poleng dan Nyi Poleng. Mereka yang menyebabkan kematian Kyai dan Nyai Wirosuto.
YouTuber Modal Kartu Memori Punya 265 Ribu Subscriber
Willy Isnan YouTuber asal Yogyakarta tidak menyangka bisa menjadi makmur hanya dengan main-main bikin video. Ini lika-liku perjuangannya.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.